Rabu, 23 Mei 2012

NILAI NILAI KEHIDUPAN DALAM LONTAR TUTUR PARAKRIYA


NILAI KEHIDUPAN DALAM LONTAR  TUTUR PARAKRIYA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah  
            Masyarakat Bali khususnya yang beragama Hindu dikenal sebagai masyarakat yang taat dan patuh melaksanakan ajaran agamanya, segala aktivitas dalam berbagai corak dan ragam selalu dilandasi oleh ajaran Agama Hindu, sehingga  dikenal sebagai masyarakat yang religius. Hal ini terlihat jelas dalam segala aktivitas atau kegiatan dan usahanya untuk mencapai kesejahteraan jasmani dan rokhani serta mencapai kebahagiaan yang abadi. Tujuan hidup umat  Hindu adalah mendapatkan kebahagiaan lahir dan bathin, Moksartham Jagadhita (Punyatmadja, 1984: 83). Kebahagiaan bathin yang terdalam adalah bersatunya Ātman dengan Brahman, yang  disebut moksa artinya:  kebebasan, kemerdekaan. Merdeka atau terlepas dari ikatan karma, kelahiran, kematian dan belenggu maya/ penderitaan duniawi. Untuk mencapai tujuan tersebut manusia tidak lepas dari dua hal yang saling bertentangan, yaitu rwabhineda: baik-buruk, siang-malam, benar-salah, selalu terjadi tiada kuasa manusia melawannya (Netra, 1994:  37).
Demikian pula halnya dalam setiap perbuatan, selalu ada perbuatan baik dan perbuatan buruk, yang dapat membedakan perbuatan ini hanya manusia, sebab manusia adalah makhluk tertinggi ciptaan Tuhan. Tuhan memberikan pedoman hidup kepada umat-Nya melalui ajaran agama, agar manusia dapat membedakan perbuatan yang baik dan perbuatan yang buruk. Agama Hindu adalah agama yang tertua di dunia hingga kini masih berkembang serta mempunyai pengaruh yang amat luas pada seluruh aspek kehidupan manusia. Ini disebabkan karena ajaran Agama Hindu yang tertuang dalam kitab sucinya mempunyai keluwesan dan dapat menyesuaikan dengan perkembangan jaman.
            Pada garis besarnya sumber ajaran Agama Hindu dapat dibagi menjadi dua yaitu sumber ajaran tertulis dan tidak tertulis. Sumber ajaran yang tidak tertulis meliputi sila atau etika yang telah diterima secara umum oleh orang bijaksana. Sistacara adalah tradisi setempat yang dijalankan sebagai bagian dari kepercayaan Agama Hindu, dan atmanastuti merupakan suatu perbuatan  yang dapat memberi kebahagiaan dan dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan dharma.
            Sedangkan sumber ajaran Agama Hindu yang tertulis bersumber dari Veda. Veda merupakan pengetahuan suci yang maha sempurna, kekal abadi. Ada dua jenis dalam Veda yaitu Veda Śruti dan Smrti. Kaitannya antara Śruti dan Smrti, Veda  Śruti  yang paling dulu ada barulah Smrti. Veda yang menjadi sumber yang paling utama untuk mengatur tingkah laku umat Hindu baik sebagai makhluk individu maupun sebagai anggota masyarakat.
Sesuai dengan namanya, Veda adalah wahyu Tuhan, bukan buatan manusia. Walaupun Smrti merupakan hasil ingatan para maha Rsi, namun isinya tidak bisa diragukan. Baik Śruti dan Smrti keduanya menjadi pegangan bagi Agama Hindu.
            Sloka berikut ini akan mempertegas pernyataan di atas, yaitu :
Śrutistu vedo vijneyo
dharmaśastram tu vai smrtih
te sarvarthesvanamasye
tabhyam dhamohi nirbabhau. (Manava Dharmaśastra II.10).

Terjemahan :

Yang dimaksud dengan Śruti, ialah Veda dan dengan Smrti adalah dharmasastra, kedua macam pustaka ini tidak boleh diragu-ragukan kebenarannya mengenai apapun juga karena dari keduanya itu hukum. (Pudja dan Sudharta, 2003: 63).

            Memahami Veda bagi orang kebanyakan adalah sangat sulit disebabkan karena ajarannya yang amat dalam, luas, bahasa, dan sifatnya yang sangat rahasia. Untuk itu  diperlukan suatu cara tertentu untuk menerapkan pada masyarakat. Veda itu disalurkan kepada masyarakat melalui pustaka suci yaitu Itihasa dan Purana yang sekaligus sebagai alat bantu untuk mempelajari dan memahami isi Veda. Sarasamuscaya menyebutkan, antara lain :
Ndan Sanghyang Weda, paripūrnakena sira makasādhana sanghyang Itihasa, sanghyang Purana, apan atakut sanghyang Weda ring akedik ajinya, ling nira, kamung hyang, haywa tiki umara ri kami, ling nira mangkana rakwa atakut. (Sarasamuscaya, 39).

Terjemahan:

Adapun Veda itu untuk menjadi sempurnanya melalui jalan (mempelajari) Itihasa, Purana, sebab merasa takut Veda itu kepada yang sedikit ilmunya, sabdanya, ”Engkau, tuan, jangan engkau ini mendekati kami” sabdanya demikian sebab rasa takut. (Pudja, 1980: 27).

            Sloka di atas menjelaskan bahwa Veda dapat dipelajari dengan Itihasa dan Purana. Itihasa itu memuat cerita-cerita sejarah kepahlawanan dengan lakon yang menarik, dan melalui cerita ini dimasukkan ajaran-ajaran suci yang terdapat dalam Śruti dan Smrti. Sedangkan dalam Purana adalah pustaka-pustaka yang memuat ajaran-ajaran suci dalam bentuk dongeng dan cerita-cerita sehingga sangat menarik perhatian pembaca. Walaupun demikian Itihasa dan Purana serta kitab-kitab lainnya tetap bersumber pada Veda sebagai penyebarluasan ajaran yang penuh rahasia dapat dimengerti, dihayati oleh umat Hindu yang pemikirannya masih sangat sederhana.
            Selain Veda sebagai sumber ajaran Agama Hindu, juga terdapat dalam sastra-satra agama seperti lontar-lontar yang merupakan sumber ajaran agama Hindu khususnya yang berkembang di Bali, jumlahnya tersebar di perpustakaan formal maupun koleksi pribadi. Ada kalanya lontar-lontar yang masih terpendam  dimasyarakat yang mungkin pemiliknya meninggal dan lontar tersebut diwariskan kepada anaknya yang tidak berminat untuk mendalami isinya, sehingga lontar tersebut tidak mendapat perhatian.
Bilamana diamati secara seksama bahwa sastra agama yang berbentuk lontar, merupakan hasil karya sastra yang mengandung ajaran Agama Hindu. Oleh karenanya,  sastra-sastra tersebut memerlukan pemeliharaan yang baik agar tidak cepat rusak, lapuk atau mungkin terjual kepada orang-orang yang tidak berminat mendalami ajaran agama. Oleh karena itu pentingnya keberadaan lontar dikalangan masyarakat Hindu dalam mempelajari dan mendalami ajaran agama,  maka perlu digalakkan dan dikembangkan penggalian lontar yang masih terpendam.
Salah satu lontar yang dikaji untuk dijadikan karya ilmiah adalah Lontar Tutur Parakriya, menguraikan tentang terjadinya Alam Semesta, Panca Aksara, Tri Aksara, Eka Aksara, Kamoksaan, Catur Pāramitha, Tri Guna, mengenai Utpti, Sthiti, Pralina, yaitu bahwa semua yang ada di alam Nirbana. Nirbana dilukiskan suatu alam yang tidak jauh, tidak dekat, tidak di atas, tidak di bawah, tidak diluar dan juga tidak di dalam. Selain itu  juga menjelaskan tentang Sapta Loka, Sapta Patala, Sapta Dwipa, Panca Bayu dan dewa-dewa yang ada dalam tubuh manusia.
            Demikianlah lontar mempunyai peranan penting dalam kehidupan beragama, maka perlu untuk dilestarikan dengan jalan menggali isi dari lontar tersebut untuk segera disampaikan kepada umat yang sesuai dengan perkembangan jaman dewasa ini. Selanjutnya sebagai generasi penerus harus mampu mempertahankan apa yang telah diwariskan oleh nenek moyang, agar tidak mengalami kepunahan dan agar ajeg sepanjang jaman.

1.2 Rumusan Masalah

            Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan diatas tentang Lontar Tutur Parakriya, maka rumusan permasalahan dapat dikemukakan sebagai berikut :
1.2.1  Bagaimanakah ajaran tattwa dalam Lontar Tutur Parakriya?
1.2.2  Bagaimanakah ajaran etika dalam Lontar Tutur Parakriya?


1.3 Tujuan Penelitian

Setiap tindakan yang dilakukan oleh manusia sudah tentu mempunyai maksud dan tujuan-tujuan tertentu dengan harapan dapat terwujud sesuai dengan rencana. Berkaitan dengan hal tersebut, maka dalam penelitian ini tujuan yang ingin dicapai penulis adalah sebagai berikut:


1.3.1 Tujuan Umum
            Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menggali, melestarikan, mengembangkan dan mengkaji tentang ajaran tattwa dan etika dalam Lontar Tutur Parakriya. Dengan demikian hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan bagi pengembangan ilmu sastra yang ada kaitannya dengan Lontar Tutur Parakriya ini.

1.3.2 Tujuan Khusus
            Secara khusus, tujuan yang ingin dicapai adalah untuk meningkatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang ajaran tattwa dan etika dalam Lontar Tutur Parakriya, yaitu :
1.3.2.1 Untuk mengetahui  ajaran tattwa dalam Lontar Tutur Parakriya.
1.3.2.2 Untuk mengetahui  ajaran etika dalam Lontar Tutur Parakriya.

1.4 Manfaat Penelitian
Pentingnya penelitian merupakan suatu harapan-harapan yang nantinya dapat berguna. Setelah diadakan penelitian ini, diharapkan agar hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat baik untuk peneliti itu sendiri maupun untuk orang lain. Sehubungan dengan hal tersebut, manfaat penelitian menyangkut dua hal yaitu manfaat teoretis dan manfaat praktis.



1.4.1 Manfaat Teoretis
            Manfaat teoretis, memberikan sumbangan pemikiran yang positif dalam upaya pembangunan ilmu pendidikan khususnya pada pemahaman Lontar Tutur Parakriya.

1.4.2 Manfaat Praktis
            Manfaat praktis dari penelitian ini dapat bermanfaat bagi peneliti lain yang berminat terhadap masalah yang sama maka hasil penelitian dapat dijadikan salah satu referensi demi ketuntasan penelitian selanjutnya.

1.5 Metode Penelitian
Kata metode berasal dari bahasa Yunani metodos atau bahasa latin methodus, yang selanjunya dapat diuraikan menjadi kata Meta dan Hodos. Kata Meta berarti menuju, melalui, sesudah, mengikuti, dan Hodos berarti jalan, cara atau arah (Sudarto, 1997: 41 dalam Redana, 2004: 1). Dengan demikian kata metode dapat didefinisikan sebagai cara atau jalan untuk mencapai tujuan tertentu. Cara untuk mencapai tujuan tersebut tentu saja dilakukan dengan cara-cara yang bersifat ilmiah menurut sistem tertentu. Metode penelitian merupakan suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan. Dengan demikian metode penelitian adalah alat untuk mengambil kesimpulan, menjelaskan dan menganalisa masalah yang sekaligus merupakan alat untuk memecahkan masalah tersebut atau dengan kata lain merupakan formulasi atau perwujudan dari metode berpikir. Buku lain menyebutkan metode penelitian adalah strategi umum yang dianut dalam pengumpulan dan analisis data yang diperlukan, guna menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi. Ini adalah rencana pemecahan bagi persoalan yang sedang diselidiki. (Arief Furchan, 1982: 50 dalam Redana, 2004: 88). Sehubungan dengan hal tersebut di atas metode yang digunakan dalam Lontar Tutur Parakriya, sebagai berikut:

1.5.1 Jenis Penelitian
            Penelitian yang berjudul: Ajaran Tattwa dan Etika dalam Lontar Tutur Parakriya termasuk jenis penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif berusaha mengungkapkan gejala secara menyeluruh dan sesuai dengan konteks (holistik-kontekstual) melalui pengumpulan data dari latar alami dengan pemanfaatan diri peneliti sebagai instrumen kunci (Redana, 2006: 249). Kirk dan Miller dalam Moleong (2001: 3) memberi definisi bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial, yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya.          
            Berdasarkan pengertian di atas, maka dalam penelitian ini pengkajian terhadap Lontar Tutur Parakriya sebagai sasaran (obyek) penelitian dilakukan dengan menganalisis ajaran tattwa dan etika secara mendalam sehingga diperoleh hasil yang memadai.



1.5.2 Data dan Sumber Data
            Menurut Bungin (2001: 123) data adalah bahan keterangan tentang sesuatu obyek. Apabila penelitian menggunakan wawancara dalam pengumpulan datanya, maka sumber data tersebut informan yaitu orang yang merespon atau menjawab pertanyaan-pertanyaan peneliti, baik pertanyaan lisan maupun tertulis. Penelitian kualitatif data penelitian bersifat langsung karena peneliti senantiasa melakukan proses pengamatan dalam menggali dan menangkap makna yang terkandung dalam data penelitian. Adapun data yang digunakan dalam kegiatan penelitian, secara umum dikenal ada dua jenis data, yaitu :

1.5.2.1 Data Primer
            Data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan langsung dilapangan oleh orang yang melakukan penelitian atau yang bersangkutan yang memerlukannya (Iqbal, 2002: 82). Data primer juga disebut data asli. Penelitian ini  yang diteliti adalah Lontar Tutur Parakriya yang telah ditranskrip ke dalam naskah/ teks oleh pihak terkait untuk menghindari kerusakan lontar tersebut, dan inilah yang  digunakan peneliti  sebagai sumber data primer.

1.5.2.2 Data Sekunder
            Data sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh orang yang melakukan penelitian dari sumber-sumber yang telah ada. Data ini, biasanya diperoleh dari perpustakaan atau dari laporan-laporan peneliti terdahulu (Iqbal, 2002: 82). Data sekunder ini disebut juga data tersedia. Sehubungan dengan hal ini data sekunder dari penelitian ini adalah data-data yang diperoleh  melalui buku-buku penunjang yang isinya relevan dengan ajaran tattwa dan etika.

1.5.3 Metode Penentuan Informan
Metode penentuan subjek penelitian (informan) merupakan metode yang  dipergunakan untuk menentukan subjek atau individu yang kiranya dapat memberikan informasi/ keterangan terkait dengan permasalahan yang akan diteliti. Penentuan subjek penelitian dipilih dengan teknik bola salju (snowball sampling), yaitu teknik yang menggunakan informan kunci tokoh masyarakat (Sugiyono, 2005: 56). Caranya, pertama-tama peneliti meminta bantuan kepada tokoh masyarakat untuk menentukan siapa sebaiknya yang dapat dimintai keterangan berkaitan dengan penelitian ini, setelah didapatkan beberapa informan, selanjutnya para informan ini secara berangkai dimintai pertimbangan untuk menentukan informan yang lainnya. Begitu seterusnya sampai diperoleh sejumlah yang dianggap cukup  yaitu ditandai dengan informasi yang didapat dirasa telah memadai.

1.5.4 Metode Pengumpulan Data
            Penggunaan metode pengumpulan data adalah usaha pertama yang dilakukan oleh seorang peneliti untuk mengumpulkan data-data yang ada sangkut pautnya dengan permasalahan yang akan dibahas. Untuk mendukung jalannya penelitian, ada beberapa hal yang dipersiapkan yaitu dengan menyiapkan instrumen penelitian yang diartikan sebagai ”alat bantu” merupakan sarana yang dapat diwujudkan dalam benda. Misal berupa pedoman wawancara, lembar pengamatan, mempersiapkan sumber-sumber data seperti buku-buku.  Menurut Iqbal (2002: 83), pengumpulan data adalah pencatatan peristiwa-peristiwa atau hal-hal atau keterangan-keterangan atau karakteristik-karakteristik sebagian atau seluruh elemen populasi yang akan menunjang atau mendukung penelitian. Jenis-jenis metode pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.5.4.1 Metode Studi  Kepustakaan.
            Metode Studi Kepustakaan adalah suatu cara untuk memperoleh data, dengan jalan mengadakan penelitian kepustakaan, seperti melalui membaca, menulis, mengutip materi yang berhubungan dengan masalah dalam penulisan ini (Muhadjir, 1990: 64). Tujuan dari metode kepustakaan ini adalah untuk mengetahui secara detail dan memberikan kerangka berpikir, khususnya referensi yang relevan mengenai teori-teori, memberikan gambaran secara lengkap dengan menggunakan sumber atau penelusuran kepustakaan untuk mendapatkan informasi secara lengkap untuk menentukan tindak lanjut dalam mengambil langkah penting kegiatan ilmiah, diantaranya adalah buku utama dan buku penunjang.
            Metode studi kepustakaan dilakukan dengan membaca dan mempelajari hasil-hasil yang telah dipublikasikan menjadi buku-buku dengan cara membuat catatan, menyusun dan memformulasikan dengan masalah dalam penelitian ini. Metode ini penulis gunakan untuk membantu mendapatkan informasi tentang hal-hal yang berhubungan dengan Ajaran Tattwa dan Etika dalam Lontar Tutur Parakriya.

1.5.4.2 Metode Wawancara.
            Wawancara adalah bentuk komunikasi langsung antara peneliti dan responden. Komunikasi berlangsung dalam bentuk tanya-jawab dalam hubungan tatap muka, sehinga gerak dan mimik responden merupakan pola media yang melengkapi kata-kata secara verbal. Karena itu, wawancara tidak hanya menangkap pemahaman atau ide, tetapi juga dapat menangkap perasaan, pengalaman, emosi, motif, yang dimiliki oleh responden yang bersangkutan (Gulö, 2002: 119). Pengertian wawancara juga dikemukakan oleh Moleong (2001: 135) yaitu percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Sedangkan menurut Iqbal (2002: 85), wawancara adalah teknik pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan langsung oleh pewawancara kepada responden, dan jawaban-jawaban responden tersebut dicatat atau direkam. Wawancara merupakan suatu cara untuk mengumpulkan data dengan jalan tanya jawab sepihak yang dikerjakan dengan sistematik dan berlandaskan kepada tujuan penelitian. Kegiatan ini adalah suatu proses interaksi dan komunikasi.
            Jadi pengertian wawancara dapat disimpulkan sebagai suatu metode pengumpulan data yang dilakukan untuk mendapatkan informasi secara langsung atau lisan dengan mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan pada para responden. Metode ini penulis gunakan untuk mendapatkan informasi Ajaran Tattwa dan Etika dalam Lontar Tutur Parakriya.

1.5.5 Metode Pengolahan Data.
Data yang dikumpulkan dari penelitian harus diolah sehingga diperoleh keterangan yang berguna. Selanjutnya data yang diolah tersebut, dianalisis dan disajikan. Dengan demikian dapat digunakan oleh siapa saja terutama dalam mengambil keputusan dan simpulan. Apabila data sudah dikumpulkan dan diolah kemudian dibuat analisis-analisis, maka dapat ditarik simpulan yang berguna bagi peneliti sebagai dasar untuk membuat keputusan.
 Sedangkan proses analisis data yang berguna untuk menarik kesimpulan secara sederhana dapat dijelaskan, bahwa data yang telah terkumpul, dikomparasikan dengan konsep atau teori yang ada, kemudian disajikan di dalam bentuk karya ilmiah (Ndraha, 1987: 131). Dengan demikian dapat diketahui, bahwa peneliti mengkaji gejala-gejala umum dari variabel penelitian, untuk diteliti kemudian ditarik kesimpulan yang disajikan dalam karya ilmiah.
Sedangkan dalam melakukan analisis data, peneliti menggunakan metode deskriptif kualitatif. ”Deskriptif” artinya suatu metode pengolahan data secara sistematis (Djarwanto, 1984: 22). Sedangkan kualitatif adalah data yang tidak berupa angka. Dengan demikian metode analisis data deskriptif adalah suatu cara pengolahan data yang bertujuan untuk memberikan deskripsi mengenai subjek penelitian berdasarkan data variabel yang diperoleh dari sekelompok subjek yang diteliti dan tidak dimaksudkan untuk pengujian hipotesis (Syaifudin, 1998: 126).
Metode pengolahan data analisis deskriptif ini, dilakukan dengan cara menguraikan, menggambarkan atau melukiskan keadaan penelitian melalui keterangan-keterangan yang didapat dari informan. Setelah data keseluruhan diolah, maka kegiatan selanjutnya adalah menganalisis data lebih lanjut dan hasil analisis tersebut disusun berdasarkan sistematika secara terperinci, sehingga pada akhirnya diperoleh kesimpulan yang bersifat umum.
Setelah mencari dan mengumpulkan data, maka langkah selanjutnya adalah menganalisis data atau mengolah data yang telah terkumpul itu. Metode pengolahan data atau analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode deskriptif adalah suatu cara pengolahan data yang dilakukan dengan cara menyusun secara sistematis sehingga diperoleh suatu kesimpulan umum. Metode ini dilakukan dengan cara mengolah data yang telah terkumpul, menguraikan secara sistematis sesuai dengan gambaran data yang diperoleh dalam penelitian terhadap naskah, sehingga maksud dan artinya dapat dipahami dengan jelas. Mendeskripsikan secara sistematis berarti menyusun dengan menggunakan aturan-aturan tertentu. Sehubungan dengan penelitian ini, penulis berusaha untuk mencari informasi yang sebanyak-banyaknya dan menjelaskan mengenai Ajaran Tatwa dan Etika dalam Lontar Tutur Parakriya.





BAB II
LANDASAN KONSEP DAN LANDASAN TEORI

2.1 Landasan Konsep
            Konsep: 1. rancangan atau buram (surat dan sebagainya); 2. ide atau pengertian yang diabstrakkan dariperistiwa konkret; 3. gambaran mental dari objek, proses atau apapun di luar bahasa, yang digunakan akal budi untuk memahami hal-hal lain (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2001: 520). Konsep adalah: suatu kata atau lambang yang luar biasa pentingnya, menggambarkan kesamaan-kesamaan dalam berbagai gejala yang berbeda, (Sulaeman,1995: 11). Konsep adalah suatu abstraksi yang dipergunakan oleh peneliti sebagai building block,  untuk membangun proposisi dan proposisi yang kelak diharapkan dapat menerangkan dan memprediksi suatu fenomena. Sebuah konsep merupakan satu kesatuan pengertian yang saling berkaitan (Sunyoto Usman, t.t: 3  dalam Redana, 2004: 44). Menurut Nan Lin merumuskan  konsep sebagai : … a term which has been assigned some specific semantic meaning … Konsep adalah istilah atau simbol yang menunjuk pada suatu pengertian tertentu. rambu-rambu lalu lintas adalah simbol,  dan simbol itu  menunjuk pada suatu pengertian  tertentu yang perlu dipahami dan dipatuhi  sebagai suatu peraturan. “sekolah” adalah istilah, dan istilah ini mengingatkan pada suatu yang konkret seperti gedung, guru, murid, pelajaran, dan sebagainya (Gulö, 2002: 8).
            Berdasarkan konsep-konsep di atas, maka dapat disimpulkan landasan konsep yang dimaksud dalam penelitian ini adalah untuk memecahkan masalah penelitian. Di samping itu juga memuat uraian sistematis tentang pemikiran yang  ada hubungan dengan penelitian yang dilakukan. Peneliti mencari pengertian-pengertian yang relevan dengan  variabel-variabel yang menjadi topik penelitian ini sehingga diperoleh pemahaman terhadap permasalahan yang dikemukakan secara jelas.
      
2.1.1 Ajaran
            Ajaran adalah: segala sesuatu yang diajarkan; nasehat; petuah; petunjuk (Departemen Dan Kebudayaan, 2001: 15). Kamus bahasa Bali, ajaran adalah: pengajah (Simpen, 1985: 9). Sedangkan Kamus Kawi (Jawa-Kuno)-Indonesia, ajaran adalah: yang diajari (Mardiwarsito, 1981: 17).
            Bertitik tolak dari konsep-konsep di atas, dapat disimpulkan bahwa ajaran dalam penelitian ini adalah suatu petuah, nasehat, petunjuk sehingga nantinya ajaran-ajaran tersebut dapat dilaksanakan  dalam kehidupan sehari-hari.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          
2.1.2 Tattwa   
            Buku Tattwa Darsana, istilah tattwa adalah berasal dari bahasa Sansekerta yang dalam statusnya sebagai noun-masculine mengandung maksud “azas-azas atau intisari kebenaran sejati (essence/principle-truth)” (Pudja, dkk, 1983: 14). Sedangkan dalam Kamus Kawi (Jawa-Kuno)-Indonesia, bahwa tattwa  diartikan kebenaran, hakekat, riwayat, ceritra (Wojowasito, 1977: 265).
            Berdasarkan konsep-konsep di atas, dapat disimpulkan bahwa tattwa adalah intisari atau hakekat kebenaran sejati, dalam hubungan dengan penelitian ini yaitu tentang bagaimana mendapatkan kesempurnaan lahir dan bathin sehingga akan dapat  membantu, mendidik, membangun diri sendiri agar dapat berpikir secara mendalam, meningkatkan kewaspadaan, kecerdasan untuk memecahkan suatu permasalahan dalam kehidupan sehari-hari.

2.1.3 Etika
            Etika dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 2001: 123). Pengertian Etika dalam  buku Agama Hindu Sebuah Pengantar adalah pengetahuan tentang kesusilaan. Kesusilaan berbentuk kaidah-kaidah yang berisi larangan-larangan atau suruhan-suruhan untuk berbuat sesuatu. Dengan demikian dalam etika kita akan dapati ajaran tentang perbuatan baik yang harus dilaksanakan dan perbuatan buruk yang harus dihindari  (Sura, dkk, 1994: 32). Sedangkan dalam buku Pengendalian Diri dan Etika dalam Ajaran Agama Hindu, Etika adalah bentuk pengendalian diri dalam pergaulan hidup bersama. Manusia adalah homo socius makhluk berteman. Ia tidak dapat hidup sendirian, ia selalu bersama-sama dengan orang lain (Sura, 2001: 38).
            Berdasarkan konsep-konsep di atas, etika ini merupakan ajaran tentang perbuatan baik yang harus dijalankan dan perbuatan buruk yang harus dihindari. Sehubungan dengan penelitian ini etika yang dimaksudkan adalah tentang perbuatan yang baik, mulia dan berbudi luhur yang harus dilaksanakan sehingga nantinya terjadi keharmonisan, keselarasan dan keseimbangan dalam kehidupan sehari-hari.

2.1.4 Lontar
            Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, Lontar: 1. pohon palem yang daunnya dapat ditulisi; Borassus flabellifer; 2. daun pohon lontar yang digunakan orang untuk menulis cerita dsb; 3. naskah kuno yang tertulis pada daun lontar (Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 2001: 45). Sedangkan dalam Kamus Jawa Kuno-Indonesia, lontar adalah daun palem yang disiapkan untuk ditulis (Zoetmulder, 1995: 608). Kamus Bahasa Bali, lontar berasal dari kata ”rol-tal artinya don-ental” (Simpen, 1985: 140). Sedangkan dalam Kalangwan, kata lontar mengalami metathesis, adalah rontal, yaitu ron ”daun”, tal ”pohon”. Dengan demikian istilah palma lontar berarti palm daun tal (palma), tetapi kata Jawa Kuno tersebut tidak dipakai lagi (mungkin berasal dari bahasa Sansekerta ”tala”).
            Pada jaman dahulu di Indonesia khususnya di Bali belum ada kertas, maka daun rontal inilah yang digunakan sebagai alat tulis-menulis. Umumnya rontal biasanya digunakan dalam menulis kekawin, parwa, tutur, kidung, geguritan dan sebagainya. Alat yang digunakan untuk menulis di atas lontar disebut pengutik atau pengrupak, yang dibuat dari besi baja, pada bagiannya yang runcing harus berbentuk segitiga agar dapat membuat tebal tipisnya tulisan (goresan). Pengrupak lebarnya kurang lebih 1,5 cm dan panjangnya sampai 15 cm.
            Sehubungan dengan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan lontar adalah naskah kuno dari daun lontar yang bertuliskan huruf Bali yang memuat ajaran agama.
           
2.1.5 Tutur
            Kamus Jawa Kuno-Indonesia menyebutkan bahwa kata tutur itu adalah: (daya) ingatan, kesadaran, lubuk jiwa makhluk yang paling dalam ”budi yang dalam” (tempat persatuan dengan Yang Mutlak), tradisi suci, smrti (sebagai lawan śruti), teks berisi doktrin religi, doktrin religi (Zoetmulder, 1995: 1307). Sedangkan menurut Wojowasito (1977: 280), tutur adalah pikiran, ingatan, nasehat, tuntunan, adat.
            Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, maka dapat disimpulkan  tutur adalah pelajaran dogmatis yang diteruskan kepada murid atau seseorang yang memenuhi syarat. Bila dipandang demikian maka sastra yang dinamakan tutur perlu dipahami dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
            Di Bali tutur tersebut dapat digolongkan menjadi dua golongan yaitu sekala dan niskala. Tutur yang bersifat sekala yaitu menyangkut petuah dan nasehat yang wajar dilaksanakan, agar manusia mendapatkan kesuksesan dalam menjalani kehidupan. Sedangkan tutur yang bersifat niskala adalah nasehat yang menyangkut hal-hal yang tidak nyata, seperti: ketaatan dalam bersembahyang, tentang penolak gaib dan lain sebagainya.


2.1.6 Para
            Menurut Kamus Sansekerta-Indonesia, kata Para adalah merupakan adjective atau kata sifat yang berarti lebih giat, kemudian, masa lalu, amat, tertinggi, mulia (Astra, dkk, 2001: 244). Sedangkan dalam Kamus Kawi-Indonesia, kata Para adalah datang, pergi, tujuan ( Wojowasito, 1977: 191).          Selanjutnya kata Para, berarti pembagian yang umum, misalnya Para Ksatriya, Para Sujana dan lain-lainnya. Sehubungan dengan penelitian ini, kata Para berarti mulia.         

2.1.7 Kriya
            Kata Kriya berarti buatan, pertunjukkan, usaha, pekerjaan, perbuatan, upacara (Astra, dkk, 2001: 13; Wojowasito, 1977: 141). Jadi dengan demikian kata Kriya dalam hubungannya dengan penelitian ini adalah menyangkut tentang kelepasan atau moksa.
            Bertitik tolak dari konsep-konsep di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Lontar Tutur Parakriya adalah lontar yang berisikan tentang petuah-petuah, nasehat-nasehat yang mulia tentang kelepasan. Kelepasan (moksa) menurut Tutur Parakriya dapat dicapai dengan melaksanakan yoga, untuk menghubungakan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa. Bagi seorang yogiswara pemahaman tentang konsep aksara dan mantra pemujaan merupakan suatu keharusan, karena aksara merupakan perwujudan dari para dewa, yang  dihubungkan antara makrokosmos dengan mikrokosmos sebagai sarana mencapai kesadaran diri dalam kelepasan.
            Oleh karena itu  hidup jangan sia-siakan dalam mencari bekal, baik sekala dan niskala, bisa juga dikatakan bahwa petuah-petuah dan nasehat yang utama patut dimuliakan. Adapun petuah-petuah adalah mengenai usaha peningkatan kesucian lahir dan bathin. Pada hakekatnya pitutur atau tutur mengenai kesucian itu adalah dharma. Dengan tutur seseorang akan dapat memahami cara atau jalan agar manusia dapat berbudi luhur sesuai dengan ajaran agama.

2.2 Landasan Teori
            Landasan teori adalah merupakan bagian dari penelitian yang memuat teori-teori yang berasal dari studi kepustakaan yang berfungsi sebagai kerangka teori dalam menyelesaikan suatu penelitian. Landasan teori paling tidak berisi deskripsi teori, yaitu uraian sistematis mengenai teori-teori dan hasil penelitian yang relevan dengan variabel-variabel yang sedang diteliti (Redana, 2004: 49-50). Snelbecker (1974: 31 dalam Moleong, 2001: 34) mendefinisikan teori sebagai seperangkat proposisi yang berintegrasi secara sintaksis (yaitu yang mengikuti aturan tertentu yang dapat dihubungkan  secara logis satu dengan yang lainnya dengan data dasar yang dapat diamati) dan berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena yang diamati. Definisi berikutnya dikemukakan oleh Marx dan Goodson (1976:  235 dalam Moleong, 2001: 35) yang menyatakan bahwa teori adalah aturan menjelaskan proposisi atau seperangkat proposisi yang berkaitan dengan beberapa fenomena alamiah dan terdiri atas representasi simbolik  dari 1) hubungan-hubungan yang dapat diamati diantara kejadian-kejadian (yang diukur), 2) mekanisme atau struktur yang diduga mendasari hubungan-hubungan demikian, dan 3) hubungan-hubungan yang disimpulkan serta mekanisme dasar yang dimaksudkan untuk data dan yang diamati tanpa adanya manifestasi hubungan empiris apapun secara langsung. Teori adalah prinsip-prinsip dasar yang terwujud dalam bentuk rumus atau aturan yang berlaku umum, menjelaskan hakikat suatu gejala, hakikat suatu hubungan antara dua gejala atau lebih, relevan dengan kenyataan yang ada dan operasional, alat untuk penjelasan dan pemahaman, dapat diverifikasi berguna dalam meramalkan suatu kejadian (Parsudi Suparlan, 1982 dalam Soelaeman, 1995: 14).
            Landasan  teori merupakan arah atau pijakan bagi peneliti dalam menelaah suatu masalah. Adapun teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

2.2.1 Teori Makna
            Menurut Blumer (dalam Triguna, 2000: 261) merumuskan tiga premis tentang makna, yaitu: 1) manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna yang ada sesuatu itu bagi mereka, 2) makna timbul dari interaksi sosial sesorang dengan orang lain, 3) makna disempurnakan pada proses interaksi sosial berlangsung.       
            Makna biasanya dianggap sebagai sesuatu yang berhubungan dengan kebudayaan atau secara lebih khusus dengan dunia simbolik, dalam kebudayaan dunia simbolik adalah dunia yang menjadi tempat diproduksi, disimpan muatan mental dan muatan kognitif (pengetahuan) kebudayaan baik berupa pengetahuan dan kepercayaan, makna dan simbul-simbul maupun nilai-nilai dan norma yang ada dalam suatu kebudayaan (Kleden, 1996: 5-6).
            Jadi dalam penelitian ini, teori makna digunakan sebagai pisau bedah untuk mengungkap makna yang terkandung dalam Lontar Tutur Parakriya.

2.2.2 Teori Hermeneutik
            Kata Hermeneutik secara harfiah berasal dari kata hermeneuein dalam bahasa Yunani kuno yang berarti ”seni menerangkan makna”, seni memberikan interpretasi” ( the art of interpretation). Asal-usul istilah ”hermeneutika” pada masa sekarang lazim dikaitkan dengan kata ”hermes”, nama seorang tokoh mitologi bangsa Yunani yang menurut sumber-sumber tertulis kuno, ia berperan sebagai pesuruh dewa-dewa utama yang mempunyai tugas menyampaikan pesan-pesannya kepada manusia (Wuisman, 1996: 52 dalam Redana, 2004: 158). Memahami sebuah teks perlu memahami apa sesungguhnya penulis atau pengarang ingin dikomunikasikan kepada pembacanya. Seorang ahli sejarah misalnya, harus benar-benar paham makna yang dikomunikasikan menurut perspektif waktu dan ruang yang berbeda. Dilthey menggunakan istilah ”emphatic understanding” dalam proses memahami makna yang sebenarnya dan makna kontekstual (Rickman, 1967 dalam Redana, 2004: 38). Sedangkan menurut Keller (1984 dalam Redana, 2004: 348) mengemukakan tema dasar dari filsafat hermeneutika, sebagai berikut :
a.  Pemahaman perilaku manusia atau produk secara interpretatif seperti dalam   menginterpretasi sebuah teks;
b.   Semua interpretasi itu hanya berlaku dalam waktu perspektif waktu dan ruang;
c.   Interpretasi melibatkan pembukaan diri terhadap teks melalui atau dengan cara selalu mempertanyakannya;
d.   Interpretasi dilakukan dan dibatasi hanya menurut situasi diri, sehingga hasil interpretasinya tidak mesti dapat digeneralisasikan secara umum.
            Teori Hermeneutika ini penulis gunakan untuk mengetahui/ membedah Ajaran Tattwa dan Etika dalam Lontar Tutur Parakriya.















BAB III
TINJAUAN UMUM LONTAR TUTUR PARAKRIYA

3.1 Deskripsi Lontar Tutur Parakriya
            Lontar Tutur Parakriya adalah karya sastra klasik turunan lontar asli Ida Pedanda Keniten dari Tampaksiring (Gianyar), dan disalin ke dalam lontar sesuai aslinya oleh I Ketut Kaler dari Br. Paketan, Singaraja serta dikoleksi oleh Museum Gedong Kirtya, Singaraja pada tanggal 14 Mei 1929 dengan jumlah lampiran terdiri dari duapuluh lembar, panjang 50 cm dan lebar 3,5 cm dengan No. III B. 601/1, dimana III B merupakan kode tempat, 601 adalah jenis lontar dan 1 dalah nomor keropak. Keadaan lontar ini terpelihara dengan baik karena di Museum Gedong Kirtya Singaraja ada pegawai khusus yang dipekerjakan untuk merawat lontar agar warisan budaya tidak punah dimakan zaman. Tempat penyimpanan lontar disimpan pada rak kaca agar ada sinar matahari sehingga lontar tidak lembab dan tidak cepat rusak. Lontar Tutur Parakriya terdiri dua bahasa yaitu Sloka Sansekerta yang diterjemahkan ke dalam bahasa  Kawi (Jawa Kuno). Lontar Tutur Parakriya kemudian ditranskrip ke dalam naskah/ teks yang berjumlah tigabelas halaman oleh I Gde Sudira pada tanggal 25 November 1941 dan diperiksa kembali oleh I Gusti Bagus Jlantik. Keadaan naskah inilah yang tidak begitu baik yaitu kertas sudah mulai agak rusak dan hanya diketik memakai kertas yang tipis. Selain itu, hal ini juga dimungkinkan karena seringnya naskah tersebut dipinjam untuk disalin atau difotocopi. Lontar Tutur Parakriya ditulis mulai angka 1b sampai 20a. Untuk 1a biasanya tidak ditulis karena ditinjau dari segi filosofis mempunyai makna bahwa manusia berangkat dari kekosongan, kemudian isi dan akhirnya kembali ke kosong, sehingga pada akhir lontar selalu diberi lembaran kosong. Tetapi jika lontar itu berakhir dengan huruf a maka tidak perlu lagi diberikan lembaran kosong dibelakangnya (Wawancara, Gautama: 23 April 2008). Lontar Tutur Parakriya dimulai dengan kalimat Ong Nama Siwaya, Parakriya sastrakayajnyah, nistayoga nilasini, winayo mohayopresni, saputra Siwa mangrawit dan diakhiri dengan kalimat Sumahur Dukuh Wisesa: “Wenten kuda ngerap neki ring panedengan mangko”, Ana kayu atita punika, gumuling ta sira ring pritiwi, dadi maletik ikang kaywan, ikang kayu neki aji Dukuh iku maletik ta mangko ikang kayu matemahan magerit dadi geni. Iti arsa timbangan. Ong astutiya namah swaha.
 Telas.

3.2 Isi Ringkas Lontar Tutur Parakriya
Lontar Tutur Parakriya  menguraikan tentang percakapan antara Bhatara Iswara kepada Sang Hyang Kumara. Diawali permintaan dari Bhatari Uma agar Sang Hyang Kumara berkenan menanyakan kepada Bhatara Iswara tentang ajaran yang mengantarkan sesorang menuju moksa. Selanjutnya Sang Hyang Kumara bertanya mengenai asal mula kejadian yang dinyatakan bahwa segala sesuatu yang ada berasal dari Ida Sang Hyang Widhi/ Tuhan Yang Maha Esa yang diistilahkan dengan  niskala. Dari keadaan niskala kemudian timbul sesuatu yang berwujud namun tanpa ukuran sehingga disebut matra. Dari matra tersebut kemudian menyusul berturut-turut nadha, windu dan ardhacandra yang kemudian menimbulkan pusat keadaan yang disebut dengan wiswa. Selanjutnya dari wiswa muncul aksara yang meliputi konsep-konsep Triaksara, Pancabrahma dan Pancaksara. Aksara bersangkutan meliputi suara dan wyanjana yang merupakan perwujudan dari para dewata. Dengan perwujudan dewata seperti itu, maka kepada para pendeta dianjurkan agar dalam pemujaan senantiasa dilengkapi dengan sarana kesucian yang terdiri dari bunga, biji, beras, dupa, lampu dan air cendana. Penggunaan perlengkapan tersebut sejalan dengan pengertian tentang kesucian wujud Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa yang dinyatakan dalam berbagai media diantaranya adalah dalam ongkara. Perwujudan Tuhan dalam hubungan lain terdapat dalam hubungan antara dewa dengan arah mata angin.
Dikatakan bahwa sesungguhnya jalan menuju kebebasan abadi yang disebut dengan “marganing anemu kamoksan” adalah pemutaran aksara yang utama sebagai sasaran yoga dalam wujud Ongkara. Yang dapat dijabarkan kedalam Triaksara, selanjutnya kepada Pancaksara dan segala macam aksara keramat. Dengan bagian keramatnya pada nadha, windhu, dan ardhacandra sebagai tujuan dari pemusatan pikiran. Pemusatan pikiran akan tercapai dengan sempurna melalui tehnik pemejaman mata, karena dengan demikian akan tampak sinar yang sangat suci dan kesunyian. Di samping itu disebutkan pula mantra-mantra seperti mantra Pancawara, Sadwara, Saptawara.  Hidup ini tidak kekal, lahir dan tumbuh di tanah yang kembali kepada air, kemudian kepada sinar, selanjutnya kepada angin, yang akhirnya kepada angkasa. Pernyataan tersebut dilandasi dengan pengertian tentang adanya persatuan antara tubuh dengan dewa sebagai lambang persatuan kosmos, antara lain: Saptaloka, Sapta Patala, Sapta Dwipa (bhumi), Saptaparwata, Sapta Tirtha. Selanjutnya dalam rumusan tenaga kehidupan disebutkan: pada pangkal jantung berada Dewa Isa yang menimbulkan  sifat toleransi, pada bagian tengah jantung berada Dewa Dharma yang menimbulka sifat suka bersahabat, pada mulut berada Dewa Iswara yang menimbulkan sifat kasih sayang, bahan makanan Dewa Brahma yang menimbulkan semangat hidup, pada bahan rasa berada Dewa Wisnu yang menimbulkan sifat prilaku, pada bahan tenaga berada Dewa Mahadewa yang menimbulkan sifat simpati. Mengenai Panca Maha Bhuta yang dihubungkan dengan tubuh manusia disebutkan: Pertiwi menjadi daging, Apah menjadi darah, Teja menjadi sinar, Bayu menjadi nafas, Akasa menjadi dwara. Ada juga rumusan Panca Bayu yaitu Bayu Prana, Bayu Apana, Bayu Udana, Bayu Biana,  tentang Sapta Pada, Tri Anta Karana, Tri Loka. Dewanya Tri Guna disebutkan: Dewa Rudra sebagai rajah, Dewa Sangkara sebagai tamah, Mahadewa sebagai sattwam. Bagian Bhuana Sangsipta disebutkan bahwa itulah merupakan jalan menuju kelepasan bagi seorang Yogiswara. Jika sudah memahami tentang isi dan sifatnya maka setidak-tidaknya tentu akan mencapai sorga. Ditegaskan sekali bahwa seorang Yogiswara hendaknya memahami kesadaran diri melalui ajaran falsafah karena ia merupakan jalan untuk mencapai sorga.
            Naskah Tutur Parakriya ditutup dengan  sebuah mantra pamandiswara yang mana Bhatara Siwa adalah sarinya dunia semua, sebagai penguasa dunia dan sebuah percakapan tentang kewajiban seorang pendeta yang sejati, yang senantiasa mengusahakan kesadaran diri. Jika tidak demikian maka tidak berbeda halnya dengan Dukuh Dekih. Demikian ajaran tentang Arsa Timbangan dituangkan dalam perakapan antara Dukuh Alon dengan Dukuh Wisesa.

3.3 Isi Pokok Lontar Tutur Parakriya
            Veda adalah sumber ajaran Agama Hindu sebab dari Vedalah mengalir ajaran yang merupakan kebenaran Agama Hindu. Karena Veda merupaka wahyu  Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, sudah tentu ajaran-ajaran yang terkandung di dalamnya mengandung kebenaran sehingga dapat dijalankan sebagai pedoman, landasan norma dan berbuat, berkata, maupun berpikir. Seorang yang dapat melaksanakan ajaran agama dengan baik, akan bebas dari keterikatan dan dapat mencapai kelepasan. Terlepas atau bebas dari keterikatan duniawi sesuai dengan tujuan Agama Hindu yaitu moksa, bersatunya Ātman dengan Brahman.
            Sehubungan dengan hal ini ada beberapa isi pokok yang terdapat dalam Lontar Tutur Parakriya, antara lain:

3.3.1 Ajaran Ketuhanan
Mengenai ajaran Ketuhanan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) merupakan hal yang amat penting bagi umat beragama, karena berdasarkan kepercayaan yang dimiliki segala yang ada beserta isinya ini adalah diciptakan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang maha Esa. Segala yang ada, yang pernah lahir, pernah hidup itu sebenarnya akan kembali keasalnya yaitu kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan merupakan penyebab pertama serta sebagai tempat kembalinya dari segala yang ada. Di samping itu Tuhan bersifat maha gaib dan bersifat abstrak, yang tidak dapat dicerna oleh pikiran manusia namun beliau tetap kekal abadi.
Sehubungan dengan kemahakuasaan Tuhan sebagai pencipta segala yang ada, Lontar Tutur Parakriya menyebutkan sebagai berikut :
tan ana lemah, tan anangjala, tan anang teja muwah angin lawan candra, ditya muwah akasa, tan ana wintang, tan ana kabeh, tan ana sabda, tan anang mega, tan anang dina ratri, tan angin, tan udan, tan ana kilap, tan ana kabeh, yatika sunya nga. Nitya tan kahilangan. Ngkana ta sangkaning mami purwa, nihan sangkaning dadi. (Transkripsi Lontar Tutur Parakriya, lampiran 2a-2b).

Terjemahan:

Tidak ada tanah, tidak ada air, tidak ada sinar dan angin, bulan, matahari, langitpun tidak terbentang, bintang, planet, semuanya tidak ada, tidak ada suara, tidak ada mendung, tidak ada siang dan malam, tidak ada angin, tidak ada hujan, tidak ada tatit, keadaan seperti itu disebut sunya (kosong), itu yang abadi tidak pernah hilang, dari sanalah asal mula-Ku dahulu kala dan dari sana asal kelahiranku.

Berdasarkan kutipan di atas pada dasarnya adalah memberikan suatu penjelasan bahwa alam semesta beserta isinya adalah ciptaan dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa yang merupakan asal mula kelahiran. Tuhan itu tidak pernah lahir dan juga tidak pernah mati, beliau adalah langgeng, abstrak wujudnya sukar dibayangkan dan sangat mengagumkan. Dalam ilmu filsafat dikaitkan sebagai keadaan dalam alam transendental artinya diluar dari lingkaran kemampuan pikir. Kalau diibaratkan pikiran itu mempunyai batas seperti lingkaran kemampuan manusia. Istilah ini digunakan untuk membedakan antara Transenden dengan Imanen. (Pudja, 1985:  46).
Segala sesuatu yang ada dalam wilayah Imanen dapat diketahui. Mengetahui artinya dapat membedakan, dan membedakan dapat dilakukan melalui pengenalan sifat-sifatnya. Mengenal alam Imanen berarti mengenal secara nyata (riil). Arti pengenalan Tuhan Alam Imanen artinya mengenal Tuhan dalam keadaan sifat dan fungsinya atau prabhawanya, seperti Sang Hyang Jagatkarana, Sang Hyang Acintya, Sang Hyang Tunggal, Sang Hyang Guru, Sang Hyang Sangkan Paran dan lain sebagainya, yang sesuai dengan alam pikiran manusia (Sura, dkk, 1981: 63).
Tuhan dalam alam Transendental adalah Tuhan wujud Paramasiwa yang disebut dengan Cetana (Purusa) yang dalam istilah umum disebut Cetana, keadaan tanpa aktivitas, kekal abadi, tak berawal, tidak berakhir, ada dimana-mana, maka diberi gelar Nirguna Brahma (Sunya). Sedangkan Tuhan dalam alam Imanen adalah Tuhan berwujud Sadasiwa, yang berkrida, sudah kena imbas dari Prakerti Acetana, sehingga mempunyai sifat dan aktivitas, maka diberi gelar Saguna Brahma. Sadasiwalah yang banyak mendapat perhatian yang disebut dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, dengan bermacam-macam manifestasinya, sebab dengan mempunyai sifat, fungsi, aktivitas beliau dapat mengatur Utpeti, Sthiti dan Pralina dari alam semesta beserta isinya (Bhuana  Agung dan Bhuana Alit).
Adapun sifat kemahakuasaan Tuhan Sadasiwa meliputi guna, sifat dan swabhawa, guna meliputi tiga sifat yang mulia dari Tuhan yaitu Dūradarsana adalah berpengelihatan/ berpandangan serba jauh, Durwasarwajña yaitu berpengetahuan serba sempurna dan Dūrasrawāna yaitu berpendengaran serba jauh (Pudja, dkk, 1983: 21).
Sifat-sifat keagungan atau kemahakuasaan itulah Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) berwujud Sadasiwa melakukan kridanya dalam mengatur keharmonisan alam semesta dengan segala isinya menurut ketentuan waktu Utpeti, Sthiti dan Pralina. Secara simbolis beliau dianggap bersinggasana di tempat bunga teratai yang disebut dengan Padmasana artinya bunga teratai yang berdaun delapan, ini dipergunakan sebagai simbol atau lambang Asta Aiswaria yang menguasai delapan penjuru mata angin. Jadi bunga teratai adalah bunga yang bersifat magis yang yang dikaitkan dengan lingga, dewa-dewa atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, maka bunga teratai dapat diumpamakan sebagai gambar Padma Angglayang atau Pangider-ider Bhuana.
Pangider-ider Bhuana merupakan arah kiblat mata angin yang terdapat di alam semesta ini. Adapun pangider-ider Bhuana tersebut menunjukkan arah yaitu: timur, tenggara, selatan, barat daya, barat, barat laut, utara, timur laut dan juga di tengah, yang setiap arah dikuasai oleh para dewa yang merupakan manifestasi dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Sehubungan dengan uraian tersebut di atas, Lontar Tutur Parakriya menyebutkan sebagai berikut:
Ika ta magawe idep ring ati, Iswara ring purwa, Maheswara agneya, Brahma daksina, Rudra neriti, Mahadewa pascima, Sangkara wayabia, Wisnu utara, Sambhu airsania, Siwatma ring arda, sadasiwa ring madia, Paramasiwa ring urda, Dharma Hiang karuning purwa lawan gneya, Kala wiantaraning agneya lawan daksina, Mretiyu wiantaraning daksina lawan neriti, Krodha wiantaraning neriti lawan pascima, Wisma wiantaraning pascima lawan wayabia, kama wiantaraning wayabia lawan utara, Pasupati wiantaraning utara lawan airsania, Satia wiantaraning airsania lawan purwa. (Transkripsi Lontar Tutur Parakriya, lampiran 4b).

Terjemahan:
Ini yang dilaksanakan di dalam hati, Iswara di timur, Dewa Brahma tempatnya di selatan, Dewa Rudra menguasai di Barat daya, Dewa Mahadewa tempatnya di Barat, Dewa Sangkara tempatnya di Barat laut, Dewa Wisnu tempatnya di Utara, Dewa Sambhu tempatnya di Timur laut, Dewa Siwatma tempatnya di tengah bagian bawah, Dewa Sadasiwa tempatnya ditengah bagian madya, Dewa Parama Siwa tempatnya di tengah bagian atas, Sang Hyang Dharma diantara timur dengan tenggara, Sang Hyang Kala diantara tenggara dengan selatan, Sang Hyang Mretiyu diantara selatan dengan barat daya, kroda diantara barat dengan barat, Wisma diantara diantara barat dengan barat laut, Kama diantara barat lautdengan utara, Sang Hyang Pasupati diantara Utara dengan timur laut, Satia diantara timur laut dengan timur.

 Berdasarkan kutipan di atas menjelaskan mengenai tempat-tempat para dewata yang menguasai Alam Semesta, ini dapat mengatur keharmonisan serta ketentraman dari  pada dunia yaitu ditentukan menurut waktu, lahir, hidup dan mati.
Bertitik tolak dari uraian di atas, bahwa Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa bersifat abstrak dan kekal abadi yang tidak dapat dijangkau oleh pikiran manusia yang serba terbatas. Namun tidak sedikit orangpun sering tersesat dalam hidupnya karena sangat ambisi mengenal Tuhan dengan segala daya upayanya tanpa berdasarkan pada pikiran yang rasional. Dikaji secara mendalam bahwa Tuhan yang bersifat suci, hendaknya di dalam mengenalnya diimbangi dengan kesejahteraan pikiran, yang tentu mulai dari mengendalikan tindakan-tindakan lahiriah terlebih dahulu. Salah satu jalan diantaranya dengan melaksanakan jalan bhakti yaitu sujud bhakti dan taqwa serta dengan penyerahan diri secara bulat kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa. Penyerahan diri seperti itu benar-benar diwujudkan oleh adanya perasaan cinta yang mendalam dan terus-menerus.
Menyadari ketidaksempurnaan manusia sebagai mahluk yang utama, maka sejak dini perlu ditumbuhkan rasa keimanan dengan diiringi sujud bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa tanpa mendangkalkan ajaran religius yang dikandungnya. Dengan usaha itu manusia akan mampu menangani tentang filsafat Tuhan itu dengan baik dan benar.

3.3.2  Ajaran Yoga
Kata Yoga berasal dari akar kata “Yuj” yang artinya menghubungkan, Yoga merupakan pengendalian aktivitas pikiran dan merupakan penyatuan roh pribadi dengan roh tertinggi. (Śivānanda, 2003: 204). Sumber lain dapat pula diketemukan mengenai kata yoga yang berasal dari kata “Yug” yang berarti persatuan, bersatu dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa.
Makna yoga tersebut di atas, bila dikaitkan dengan Lontar Tutur Parakriya, maka di bawah ini dapat dikemukakan sebagai berikut ;
Batari Uma mawuwus: Pradana sastra kabeh tan ana mungguh nira ring aji. Ndan dana tan nistayoga nga. Wenang tamtamana mangdadiaken kamoksan; ya tika tapwan awruhnira tinakwan anaknira Bhatara Iswara. Rowangnira atakwan  Sang Hyang Kumara, ndan sahopancopacarasara, ikang lingnira patakwan ring Batara. (Transkripsi Lontar Tutur Parakriya, lampiran 1b).

Terjemahan:
Bhatari Uma telah waspada dengan ilmu pengetahuan semua, tidak ada kekurangannya di dalam ilmu sastra, tetapi ada kekurangannya, yaitu yoga namanya yang dapat menuju kemoksaan. Hal ini tidak diketahuinya itu yang ditanyakan kepada Bhatara Iswara, yang menyertai bertanya adalah sang kumara lengkap dengan upacara untuk menanyakan, katanya bertanya kepada Bhatara.

Berdasarkan kutipan di atas, dapat disimak maknanya terutama terdapat dalam kalimat yaitu yoga namanya yang dapat menuju alam kebahagiaan akhirat atau moksa. Yoga mempunyai arti yang sangat luas, hal ini tergantung pada konteks kalimatnya. Sehubungan dengan hal ini dapatlah diberikan suatu contoh yaitu bahwa dikenalnya suatu ajaran yang disebut dengan Catur Marga Yoga yang terdiri dari: Bhakti Marga Yoga, Karma Marga Yoga, Jnana Marga Yoga dan Raja Marga Yoga. Keempat yoga itu merupakan jalan atau cara untuk mencapai kesempurnaan yaitu moksa, dengan menghubungkan diri dan pemusatan pikiran kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa dengan berbagai manifestasinya. Keempat yoga tersebut di dalam pelaksaannya erat sekali hubungannya dengan sifat, bakat, watak serta kemampuan masing-masing orang dalam usahanya untuk menghubungkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa dengan berbagai manifestasinya dan juga mempunyai tujuan yang sama, hanya berbeda dalam tata pelaksanaannya. (Sudirga, dkk, 2007: 8).
Bertitik tolak dari penjelasan di atas, Lontar Tutur Parakriya menyebutkan sebagai berikut :
Ikang Ongkara Rudra dewatanya, Ardhacandra Mahadewa Dewatanya, mantra Dewa Guru dewatanya, nahan Sang Yogiswara magawe yoga, ya marganing pada Moksa ika. ( Transkripsi Lontar Tutur Parakriya, lampiran 9a).


Terjemahan:
Yang disebut Ongkara Rudra dewatanya, Ardhacandra Mahadewa dewatanya, Mantra Dewa Guru dewatanya. Demikian olehnya Sang Yogiswara melaksanakan yoga, untuk jalan mencapai moksa.

Berdasarkan kutipan di atas menjelaskan, bahwa jalan menuju kebebasan abadi atau marganing anemu kamoksaan adalah pemutaran aksara utama, sebagai sasaran pemusatan pikiran dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, yaitu dalam wujud Ongkara yang dapat dijabarkan ke dalam Tri Aksara, selanjutnya kepada Pancaksara dan segala macam aksara keramat. Dengan keramatnya pada Nadha, Windhu, Ardhacandra merupakan tujuan sebagai pemusatan pikiran untuk dapat menghubungkan diri dengan Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa).
Sesuai dengan penjelasan di atas, selanjutnya Lontar Tutur Parakriya,  menyebutkan sebagai berikut  :
Yeki Bhuana sang sipta nga. ika ta kabeh margan Sang Yogiswara manemwakan kamoksan mwang swarga lewih. Yan sampun wruh ring tatwania mwang ring sang gaweyah. (Transkripsi Lontar Tutur Para Kriya,18a)

Terjemahan:

Ini yang disebut Bhuana Sang Sipta. Itu semua jalannya Sang Yogiswara mencapai sorga dan moksa yang utama. Jika telah mengetahui dengan segala isi dan makna serta maksud sebabnya dibuat.

Kutipan di atas menjelaskan tentang Bhuana Sang Sipta yang merupakan jalan atau cara Sang Yogiswara menghubungkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa yaitu untuk mendapatkan moksa atau sorga yang utama.
Bertitik tolak dari uraian di atas, ajaran yoga adalah ajaran pemusatan pikiran yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dan tulus ikhlas, ketekunan, keteguhan dan segala usahanya itu didasarkan atas ajaran agama dan dharma. Selain itu juga sebagai penuntun dalam suatu kehidupan untuk mencapai kesejahteraan dunia akhirat yang abadi berupa sukha tan mawali duhka atau moksa dan juga mencapai jagadhita yaitu kesejahteraan masyarakat dan semua makhluk.

3.3.3 Ajaran Tri Guna
Agama Hindu selalu memberi saran dan pedoman, agar orang selalu mengarahkan hidupnya dengan berbagai persoalannya menuju kebahagiaan melalui jalan baik dan benar. Tentunya harus dengan menguasai diri sendiri sehingga dalam penampilan yang baik dan membahagiakan orang lain atau semua orang. Selain itu sastra-sastra agama ada yang mengatakan bahwa prilaku seseorang dapat terbentuk oleh lingkungan, tetapi sastra-sastra tersebut sebagian besar memandang prilaku orang itu ditentukan oleh faktor jiwa orang itu yang merupakan pembawaan dari sejak lahir.
Mengatur diri dalam bertingkah laku merupakan faktor dalam yang harus diperhatikan. Sifatnya yang garang harus dijinakkan dengan jalan yang ditunjukkan oleh sastra-sastra agama itu. Sastra-sastra adalah jalan agama, maka itupun harus ditunjukkan dengan jalan agama yang cendrung bersifat filosofis. Di dunia ini ada bermacam-macam kecendrungan sifat manusia. Orang yang berpenampilan lemah-lembut, kasar, rajin, dan ada pula yang malas. Kecendrungan-kecendrungan seperti itu ada dalam diri setiap manusia, pembawaan sejak lahir yang disebut Tri Guna. Tri Guna adalah tiga sifat yang mempengaruhi kehidupan manusia. Antara sifat yang satu dan yang lainnya saling mempengaruhi dan membentuk watak sesorang.
Apabila diantara ketiga sifat ini terjalin hubungan yang harmonis, sesorang akan dapat mengendalikan pikirannya dengan baik. Ketiga unsur sifat-sifat itu adalah: Satwam atau Sattwa adalah sifat tenang, Rajas atau Rajah adalah sifat dinamis dan Tamas atau Tamah adalah sifat lamban. (Sudirga, dkk, 2004: 106).
Sehubungan dengan hal tersebut, Lontar Tutur Parakriya menyebutkan mengenai dewa-dewa yang menguasai Tri Guna, adalah sebagai berikut :
Rudra pinakarajah, Sangkara pinakatamah, Mahadewa pinakasatwa. Nahan ta Dewataning Triguna.
(Transkripsi Lontar Tutur Parakriya, lampiran 17b ).

Terjemahan:

Rudra sebagai rajah, Sangkara sebagai Tamah, Mahadewa sebagai Satwa. Itulah di sebut dengan dewanya Triguna (Satwa, Rajah dan Tamah).

Berdasarkan kutipan di atas menjelaskan, bahwa Dewa Rudra adalah menguasai sifat Rajah, Dewa Sangkara adalah menguasai sifat Tamah dan Dewa Mahadewa adalah menguasai sifat Satwa. Tidak seorangpun yang luput dari sifat-sifat Tri Guna itu, dan tidak seorangpun dalam penampilan dirinya dalam hidup ini yang tidak diwarnai oleh ketiga sifat itu. Ketiganya adalah bekerja sama dalam diri manusia, namun dalam intensitas yang berbeda-beda. Orang yang lebih banyak dipengaruhi oleh guna sattwam maka menjadi orang yang bijaksana, berpikiran terang dan tenang. Sifat kasih sayang, lemah lembut, tutur katanya sopan, menarik, lurus hati. Sedangkan jika guna rajas lebih banyak mempengaruhi seseorang maka orang tersebut menjadi tangkas, keras, rajin, dan penuh usaha. Sifat congkak, dan iri bengis merupakan sifat-sifat rajah. Namun bila guna tamas lebih banyak berpengaruh pada diri seseorang maka orang tersebut menjadi lamban, malas dan bodoh, sering berbohong, biasanya tanpa arah, pikiran buntu, takut tanpa alasan. Sifat-sifat doyan makan, mengumbar hawa nafsu, juga termasuk sifat tamas. Ketiga guna tersebut merupakan satu kesatuan yang bekerja sama dalam kekuatan yang berbeda-beda. Perpisahan diantara ketiga guna itu tidak terjadi, karena dengan demikian tidak akan ada suatu gerak apapun pada manusia. Pengaruh-pengaruh Tri Guna tersebutlah sifat-sifat manusia ada yang digolongkan sifat-sifat yang baik dan ada yang buruk. Bilamana sebagai manusia menjalankan sifat-sifat di atas, baik itu Satwam, Rajas dan  Tamas, maka sujud bhaktilah kepada ketiga dewa tersebut sebagai manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, maka akan dilindungi oleh ketiga dewa itu.
Berdasarkan uraian di atas, makna mengenai ajaran Tri Guna yaitu bahwa suatu ajaran yang mengajarkan umat Hindu mengenai tiga sifat hakikat manusia agar dikuasai oleh sifat satwam yang menguasai  dua sifat yang lainnya yaitu sifat rajas dan tamas. Sebab seseorang yang menetap dalam satwa, maka seseorang cendrung kepada dharma, menemui sifat-sifat kedewataan. Dalam hubungan ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Bhagawadgita, sebagai berikut :
ūrdhvam gacchanti sattva-sthā
madhye tisthanti rājasāh
jaghanya-guna-vrtti-sthā
         adho gacchanti tāmasāh. (Bhagawadgita XIV. 18)

Terjemahan:
Ke atas perginya yang sāttvika, ditengah-tengah bersemayamnya yang rājasika sedangkan yang tāmasika kebawah perginya diantar sifat keadaan yang paling rendah. (Pudja, 2005: 351).

Berdasarkan kutipan di atas, menjelaskan ketiga unsur tersebut selalu mendasari setiap prilaku manusia. Prilaku yang susila merupakan pancaran dan sebagai akibat pengaruh sifat satwa. Sebaliknya setiap prilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari yang mencerminkan prilaku adharma merupakan pancaran dan pengaruh dari sifat rajas dan tamas. Sifat-sifat dari pengaruh rajas dan tamas inilah merupakan musuh yang ada pada diri pribadi serta sekaligus merupakan musuh yang paling berbahaya jika dibandingkan dengan musuh yang datang dari luar. Musuh yang dari dalam seperti pemalas, iri hati dan lain sebagainya, sikap ini dapat menjerumuskan seseorang kelembah penderitaan dan kesengsaraan. Menyadari musuh-musuh tersebut sangat berbahaya, maka perlu dikendalikan sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan taraf kehidupan yang lebih baik. Apabila kekuatan satwam mengungguli rajah dan tamas, maka Ātman mencapai moksa, bila satwa dan rajas sama kuatnya, maka Ātma mencapai sorga. Jika satwam, rajas dan tamas kekuatannya berimbang, maka menjelmalah Ātman sebagai manusia. Jika sifat rajas yang lebih unggul dari satwam dan tamas menyebabkan Ātman jatuh ke alam neraka. Apabila sifat tamas yang lebih unggul dari satwam dan rajas, maka Ātman menjelma menjadi binatang dan tumbuh-tumbuhan.
Ketiga sifat tersebut ada gunanya dalam diri manusia, oleh karena itu, Tri Guna sangat penting untuk dibina dan dikendalikan. Kerjasama Tri Guna dalam diri manusia sangat diperlukan, ibarat seperti kereta dengan penumpangnya. Badan manusia (sthula sarira) sebagai kereta,  Ātman sebagai penumpangnya, dan citta adalah saisnya. Ātman memerintahkan saisnya bergerak ketempat tujuan, namun gerak si sais akan dipengaruhi oleh Tri Guna. Jika guna tamas yang dominan menguasai si sais akan mengendalikan lari keretanya, kereta akan lamban dan akan setiap saat berhenti. Jika guna rajas yang lebih banyak menguasai si sais maka kereta akan dilarikan kencang, kasar, kadang-kadang tidak tentu arah. Jika si sais lebih banyak dikuasai oleh satwam, maka si sais akan mengendalikan lari keretanya dengan tenang, hati-hati, sabar, dan bisa ditempat tujuan dengan baik.
Namun perlu diingat, agar kereta bisa melaksanakan tugasnya dengan baik, maka perlu adanya kerja sama diantara ketiga guna itu. Satwamlah yang seharusnya sebagai pengendali, geraknya dibantu oleh rajas, dan tamas sebagai pengerem. Jika tidak adanya kerja sama diantara ketiga guna tersebut maka banyak akan menghadapi rintangan, bahkan tidak akan bisa sampai tempat tujuan dengan baik.
       
3.3.4 Hubungan Bhuana Agung dengan Bhuana Alit dalam Lontar Tutur              Parakriya
Kata Bhuana Agung adalah istilah dalam Agama Hindu untuk menyebutkan alam semesta  atau alam raya. Bhuana Agung juga disebut Makrokosmos, jagat raya, alam besar, dan Brahmanda. (Sudirga, 2004: 12). Sedangkan Bhuana Alit sering disebut Mikrokosmos adalah alam kecil atau dunia kecil (isi dari alam semesta), seperti manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan. (Sudirga, 2004: 18).
Hubungan antara Bhuana Agung dengan Bhuana Alit dalam Lontar Tutur Parakriya adalah sangat erat sekali, yaitu terlihat dari jasmani mahluk dan manusia tidaklah dapat dipisahkan dengan alam, karena zat pembentuknya sama yaitu dari unsur-unsur Panca Maha Bhuta, ataupun boleh kiranya disebutkan bahwa tubuh mahluk atau manusia ini adalah bagian dari Alam Semesta sehingga dalam ajaran Agama Hindu kita dapatkan adanya istilah Bhuana Alit yaitu tubuh mahkluk atau manusia (Mikrokosmos) dan Bhuana Agung yaitu Alam Semesta (Makrokosmos).
Sesuai dengan penjelasan tersebut di atas, Bhuana Agung adalah alam semesta (dunia) sedangkan Bhuana Alit adalah manusia itu sendiri. Jadi mengenai hubungan antara kedua bhuana itu, Lontar Tutur Parakriya, 14a-14b, menyebutkan sebagai berikut :
Buh loka nga. Nabi. Manusa loka nga. Bwah.loka nga. weteng, ya candra ditya nga. Swah loka nga. Ati Wisnuloka ya. Mahaloka nga. mulakanti ya Brahmaloka. Janaloka nga. Cangkem; Rudraloka, tampoloka nga. irung, ya Mahadewaloka. Satyaloka nga. sirah, ya Siwaloka nga.  Nihan sinangguh
saptaloka ring sarira nga. kamung  Kumara. (Transkripsi Lontar Tutur Parakriya, lampiran 14a).

Terjemahan:

Yang disebut Buhloka adalah nabi. Yang disebut manusa loka dan Bwahloka adalah weteng atau perut juga disebut bulan matahari. Yang disebut Swahloka adalah hati atau disebut Wisnuloka. Yang disebut Mahaloka adalah mulakanta/ leher juga disebut  Brahmaloka. Yang disebut Janaloka adalah mulut juga disebut Rudraloka, yang disebut Tampoloka yaitu hidung juga disebut Mahadewaloka. Yang disebut dengan Satyaloka adalah kepala juga disebut Siwaloka. Demikianlah yang disebut dengan Saptaloka di dalam tubuh manusia, Kumara.
Tala nga. tlapakaning suku, ya Mahaniraya nga. sultala nga. walakang tlapakaning suku; ya Niraya nga. pogeloganing tlapakaning suku; ya ta aweci nga. santala nga. wisia maharorawa ngarania atala nga. jejengku, ya rorawa arania. Wetala nga. pupu ya, Yamaloka ngarania; tala-tala nga. let, ya kumbaka ngarania. Nahan ta Saptapatala ring sarira kramania. (Transkripsi Lontar Tutur Parakriya, lampiran 14b).

Terjemahan:
Yang disebut Tala, adalah telapakan kaki,  itu Mahaniraya namanya, sultala yaitu bagian belakang telapakan kaki Niraya namanya, pada pergelangan kaki, Aweci namanya, yang disebut Santala yaitu: wisia Maharorawa namanya, Atala yaitu jejengku, itu rorawa namanya. Wetala yaitu paha, itu namanya Yamaloka, Tala-tala yaitu tempatnya pada pangkal paha, kumbaka namanya. Itu disebut dengan Saptapatala dalam tubuh manusia.

Berdasarkan kutipan di atas, menjelaskan bahwa itulah yang dinamakan tingkatan-tingkatan Sorga dan Neraka, yaitu tujuh ke atas (Saptaloka) dan tujuh ke bawah (Saptapatala) yang ada dalam tubuh manusia, ini mengingatkan sesorang pada Bhuana Agung dengan Bhuana Alit yang tidak bisa dilepaskan dari Ātma dengan Sang Pencipta (Ida Sang Hyang Widhi Wasa).
Selanjutnya mengenai hubungan Bhuana Agung dan Bhuana Alit dapat juga disebutkan dalam Lontar Tutur Parakriya, adalah sebagai berikut :
Kuruparwata nga. lambung, Satia Hiangnia. Rasiaparwata nga. susu Sambu Hiangnia. Iraniaparwata, susukiwa, Pasupati Hiangnia. Ndalaparwata nga. bahu tengen, Kala Hiangnia. Ariparwata nga. bahu kiwa, Mretiyu Hiangnia. Kiranaparwata nga. irung, Kama hilangnia. Bhataraparwata nga. ulu, Siwa Hiangnia. Nahan tang Saptaparwata aneng sarira. (Transkripsi Lontar Tutur Parakriya, lampiran 15a).

Terjemahan:

Yang disebut dengan Gunung kuru adalah lambung, Satya dewanya, Gunung Rasya pada susu Sambhu dewanya, Gunung Eraniya pada susu kiri Pasupati dewanya, Gunung Ndala pada tangan kanan Kala dewanya, Gunung Ari pada tangan kiri Mretiyu dewanya, yang disebut Gunung Kirana pada hidung Hiang Smara dewanya, Gunung Bhatara pada kepala, Hiang Siwa dewanya. Demikianlah tujuh gunung yang ada pada tubuh manusia.

Berdasarkan kutipan di atas menjelaskan bahwa ketujuh gunung itu dapat mengingatkan sesorang dalam hubungan antara Bhuana Agung dengan Bhuana Alit, dimana Tuhan sebagai pencipta tidak lepas dari apa yang diciptakannya di dunia fana ini. Tubuh manusia merupakan dari alam semesta. Tuhan adalah penguasa, kekuasaan beliau itu dapat mempengaruhi dunia secara tidak langsung, seperti dalam tubuh manusia bahwa letak Gunung Kuru pada lambung, dewa penguasanya adalah Dewa Satya. Tentunya dewa-dewa penguasa itu merupakan sinar-sinar dari pada Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa.
Sesuai penjelasan di atas bahwa Alam Semesta merupakan linggih dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa yang sebenarnya dilambangkan dengan gunung. Di India, Gunung Mahameru dianggap simbul alam semesta, sehingga puncaknya disimboliskan sebagai tempat bersemayamnya Ida Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa beserta segala manifestasinya.
Selanjutnya hubungan antara Bhuana Agung dan Bhuana Alit, Lontar Tutur Parakriya menyebutkan sebagai berikut :
Narmada tirta nga. manah: Sindhu tirta nga. budi; Gangga tirta ngaran kanta mula; Saraswati tirta nga. jiwa. Ndarawati tirta  nga. talinga; Siwanadi tirta nga. wunwunan; Siwaprasta nadi nga. tungtunging rambut. Nahan ta Sapta tirta aneng sarira kamung Kumara. (Transkripsi Lontar Tutur Parakriya, lampiran 15b).

Terjemahan:
Narmada tirta itu adalah pikiran, sindhu tirta adalah budhi, Gangga tirta  adalah pangkal leher, Saraswati tirta adalah jiwa, Ndarawati tirta adalah telinga, Siwanadi tirta adalah ubun-ubun, Siwaprasta nadi adalah ujung rambut. Itulah yang disebut dengan Sapta Tirta yang ada di dalam badan kamu Kumara.

Berkenaan dengan kutipan tersebut di atas, menyebutkan bahwa hubungan Bhuana Agung atau alam semesta yang ada di dalam tubuh manusia seperti di dalam wujud tirta (air suci) antara lain Narmada tempatnya pada pikiran, Sindhu tirta pada budhi, Saraswati pada jiwa, Gangga tirta pada pangkal leher, Ndarawati pada telinga, Siwanaditirta pada ubun-ubun dan Siwaprasta nadi tempatnya pada ujung rambut.
Sesuai dengan terjemahan di atas bahwa Bhuana Agung yang terdapat dalam Lontar Tutut Parakriya, yaitu menjelaskan tentang hal-hal yang menyangkut tubuh manusia yang memegang peranan  penting adalah sebagai berikut :
Pinakasumsum, Siwa. Pinakakatawulan, Iswara. Pinakadaging, Brahma; pinakarah, Rudra; pinaka otot, Basukih; pinakasandi, naga; pinakalamad-lamad, Sambu; pinakawaduk, Mahadewa; pinakakulit, Wisnu; pinakasuku ro, Nandiswara Mahakala; pinakasiku rwa, Candraditia. Nahan ta dewata ring sarira kamung Kumara. (Transkripsi Lontar Tutur Parakriya, lampiran 16b-17a).

Terjemahan:
Sumsum adalah Dewa Siwa, tulang Dewa Iswara. Daging, Dewa Brahma; darah, Dewa Rudra; urat, Dewa Basukih;  persendian, Dewa Naga; lendir, Dewa Sambhu; lemak Dewa Mahadewa; kulit, Dewa Wisnu; kedua kaki, Dewa Nadiswara dan Mahakala; kedua siku, Dewa Candraditia. Demikianlah para dewata ada pada tubuh, kamu Kumara.

Berdasarkan kutipan di atas menjelaskan tentang dewa-dewa yang ada dalam tubuh manusia, seperti Dewa Siwa pada sumsum, Dewa Iswara pada tulang, Dewa Brahma pada daging, Dewa Rudra tempatnya pada darah, Dewa Basukih pada otot, Dewa Naga pada persendian, Dewa Sambhu pada lendir, Dewa Mahadewa pada lemak, Dewa Wisnu pada kulit, Dewa Nadiswara dan Mahakala pada kedua kaki dan Dewa Candradinata pada kedua siku.
Selain dewa-dewa yang bersemayam pada tubuh manusia, juga tentang zat pembentukan dari pada manusia, bahwa manusia itu berasal dari unsur-unsur Panca Maha Butha, Lontar Tutur Parakriya menyebutkan sebagai berikut :
Pertiwi pinaka daging, apah pinakarah, teja pinaka rasmi, bayu pinakaprana, akasa pinakadwara, saptawara ring sadwara pinaka rambut mwang ulu. (Transkripsi Lontar Tutur Parakriya, lampiran 17a).

Terjemahan:

Pertiwi menjadi daging, Apah menjadi darah, Teja menjadi sinar, Bayu adalah prana, Akasa menjadi dwara, Saptawara dan Sadwara adalah rambut dan kepala.

Berdasarkan kutipan di atas menjelaskan tentang unsur-unsur Panca Maha Bhuta, yaitu mengingatkan pada hubungan Bhuana Agung dan Bhuana Alit, dimana pertiwi menjadi serba padat, seperti misalnya kulit, daging, otot dan lemak. Apah menjadi serba cair, seperti darah dan keringat. Teja menjadi serba bercahaya atau bersinar, seperti misalnya: sebagai mata dan panas badan. Bayu menjadi serba bergerak, seperti nafas atau prana, Akasa menjadi dwara atau serba berlubang, seperti lubang hidung, telinga dan lain sebagainya. Dan disebutkan tentang Sadwara dan Saptawara yaitu pada rambut dan kepala. Kedua alam ini yaitu Bhuana Agung dan Bhuana Alit. Alam semesta dan alam tubuh makhluk mempunyai sifat-sifat dan keadaan bersamaan. Segala yang kental, padat dan keras  pada  alam maupun pada tubuh mahluk disebabkan oleh pertiwi. Segala yang cair di dunia maupun di badan disebabkan oleh unsur apah. Segala yang bercahaya panas pada mahluk disebabkan oleh unsur bayu, adapun kekosongan yang ada pada alam maupun pada mahluk disebabkan oleh unsur akasa.





















BAB IV
AJARAN TATTWA DAN ETIKA
DALAM LONTAR TUTUR PARAKRIYA

4.1 Ajaran Tattwa dalam Lontar Tutur Parakriya
Agama Hindu memiliki kerangka dasar yang dapat dipergunakan oleh umatnya sebagai landasan untuk memahami, mendalami, dan mengamalkan ajaran-ajarannya dalam kehidupan sehari-hari. Kerangka dasar tersebut terdiri dari tiga unsur yaitu: tattwa /filsafat, etika /susila dan upacara/ ritual. (Sudirga, 2007: 36). Tattwa atau filsafat merupakan inti ajaran Agama Hindu, sedangkan susila atau etika merupakan pelaksanaan ajaran agama dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Upacara atau ritual merupakan yajña, persembahan atau pengorbanan suci yang tulus ikhlas kepada Ida Sang Hyang Widhi/ Tuhan Yang Maha Esa.
Ketiga aspek di atas merupakan satu kesatuan  yang utuh dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Karena itu ketiga kerangka dasar agama tersebut harus dipahami benar, mengingat ketiganya saling berkaitan.
Melalui tattwa atau filsafat akan dapat membantu, mendidik, membangun diri sendiri agar dapat berpikir secara mendalam, meningkatkan kewaspadaan, kecerdasan untuk memecahkan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari dan memberikan pandangan yang luas dalam latihan berpikir pribadi.
            Manusia dalam bertindak atau berbuat dimana segala tingkah lakunya tampak dari sikap dan pembawaan sehari-hari, ini berarti tattwa itu berperan dalam membentuk kepribadian manusia itu sendiri dan pandangan hidupnya akan mewarnai seluruh aspek kehidupannya yang akhirnya akan menjadi pedoman, pegangan, dan tujuan hidupnya.
Salah satu ajaran tattwa atau filsafat Agama Hindu yang dipaparkan dalam Lontar Tutur Parakriya menekankan pada ajaran Moksa, yang merupakan salah satu dari sradha atau keyakinan. Kebahagiaan yang sejati akan tercapai oleh sesorang, apabila telah dapat menyatukan jiwanya dengan Ida Sang Hyang Widhi/ Tuhan Yang Maha Esa. Penyatuan dengan Tuhan itu baru akan didapat  apabila telah melepaskan semua bentuk ikatan pada dirinya.
Kata Moksa berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu dari akar kata Muc yang berarti membebaskan atau melepaskan. Dengan demikian, kata Moksa berarti kelepasan dan kebebasan. Dari segi istilah, Moksa disamakan dengan nirwana dan nisreyasa atau keparamarthan (Sudirga, 2007: 2).
Adapun ajaran tattwa dalam Lontar Tutur Parakriya, adalah sebagai berikut :
Batari Uma mawuwus; Pradana sastra kabeh tan ana mungguh nira ring aji. Ndan dana tang nistayoga nga. Wenang tamtamana mangdadiaken kamoksan; ya tika tapwan awruhnira tinakwan anaknira Bhatara Iswara. Rowangnira atekwan Sang Hyang Kumara, ndan sahapancopacarasara, ikang ling nira patakwan ring Batara.(Transkripsi Lontar Tutur Parakriya, lampiran 1b).

Terjemahan:
Bhatari Uma berkata; yang disebut pradana sastra semua itu tidak terdapat di dalam ajaran (agama). Yang ada hanya Nista Yoga namanya, itu patut dipelajari untuk menuju kemoksaan. Hal itu tidak di ketahuinya itu yang ditanyakan kepada Bhatara Iswara. Yang menyertai bertanya adalah Sang Kumara, lengkap dengan tatacara/ upacara untuk menanyakan. Katanya bertanya kehadapan Bhatara.

Berdasarkan kutipan di atas menjelaskan bahwa yang disebut dengan Predana Sastra tidak terdapat dalam ajaran (agama), yang ada hanya Nista Yoga yang patut dipelajari sebagai jalan atau cara untuk menuju pada kebenaran yang hakiki, yaitu moksa. Dengan mengetahui ajaran-ajaran sebagai jalan untuk menuju moksa, maka pikiran dipusatkan pada kesucian, agar nantinya dapat tercapai tujuan yang hendak diinginkan. Sehubungan dengan hal tersebut, Lontar Tutur Parakriya menyebutkan sebagai berikut :
ikang jnyana kabeh lawan tatwa, Bhatara majaraken ndia ikanang nirbana-pada wekasning jnyana, suksmaning suksma ya, acin titing, tan kaucap dening ulun. (Transkripsi Lontar Tutur Parakriya, lampiran 12a).

Terjemahan:
Itu jnyana dan tattwa, paduka Bhatara menyebutkan yang mana disebut nirbanapada, terakhirnya jnyana, yang sangat gaib dan suci nirmala tak terpikirkan oleh hamba

Maksud kutipan di atas menjelaskan tentang pengetahuan yang benar dan sejati yang sangat suci untuk menuju kepada kenirbanaan, apabila tidak memiliki pengetahuan yang mulia, tentunya tidak akan menemui tujuan yang disebut nirwana.
Agar moksa dan nirwana itu dapat tercapai maka harus terlebih dahulu lahir menjadi manusia, dengan lahir menjadi manusia adalah merupakan pintu gerbangnya moksa, karena dewapun akan lahir menjadi manusia untuk dapat meningkatkan diri agar bisa mencapai moksa. Moksa berarti kebebasan atau kelepasan, maksudnya suatu kebahagiaan dimana atma dapat lepas dari pengaruh maya dan ikatan Śubhāśubhakarma serta bersatu kembali dengan asalnya yaitu Brahman (Tuhan). Ātma (roh) tidak mengulangi kelahiran kembali, artinya bebas dari reinkarnasi dan mencapai kebahagiaan sejati dan abadi, sukha tan pawali dukha. (Titib, 1994: 73). Sebenarnya manusia dengan ātmanya itu pernah bersatu dengan Brahman dan pernah merasakan kenikmatan dari sukha tan pawali duhka. Dengan kridanya Brahman, maka manusia itu terlempar lagi kegelombangnya maya. Di dalam maya segala kebahagiaan dan kesukaan itu selalu disertai dengan kedukaan atau dimana ada kesukaan tentu ada penderitaan yang mengikutinya. Jadi ātma itu selalu rindu dan ingin kembali pada asalnya yaitu Tuhan, seperti halnya titik-titik air laut yang menjadi embun kemudian jatuh menjadi hujan serta mengalir ke sungai melaju dengan derasnya karena rindu bertemu lagi dengan sumbernya.
Adapun disebutkan dalam Lontar Tutur Parakriya, mengenai pikiran-pikiran yang mengarah pada kesucian (kesadaran berpikir) disebutkan  sebagai berikut: Kalingania ikang cita tania cetana ika, sadanitia karma, ya ta adnyana sunia nga (Lontar Tutur Parakriya, lampiran 12b). Artinya: sebenarnya pikiran tania cetana itu, selalu bekerja, itu yang disebut dengan adnyana sunia.
Berdasarkan kutipan Lontar Tutur Parakriya lampiran 12b tersebut, menjelaskan pengetahuan atau kesadaran pikiran itu selalu bekerja atau melakukan sesuatu untuk mengosongkan pikiran untuk menuju pada kebenaran yang sejati (Moksa). Sehubungan dengan uraian tersebut, Sarasamuscaya menyebutkan sebagai berikut :
Apa ika sang telas tumemung kaprajñān, hilang kalanganing jñānanira, niskalangka pwa jñānanira, katemu tang sattwaguna denira, sattwa kewala, tan karaketan, rajah tamah, sattwa ngaraning satah bhāwah, si uttamajñāna, citta zat swabhāwa, tar kakenan, trsnadi, katemu pwang sattwaguna denira, prasannātmakata sira, tan karaket ring sarīra, luput ring karmaphala. (Sarasamuscaya, 507).

Terjemahan:

Karena orang yang telah mendapatkan kebijaksanaan, lenyap segala noda pikirannya, tanpa noda ilmunya, maka sifat ”sattwa” diprolehnya, sifat sattwa saja, tidak dak dipengaruhi oleh sifat ”rajah tamah”, sattwa artinya sifat baik, yaitu ilmu yang utama. Hakekat pikiran yang baik, tidak terpengaruh oleh trsna dan sejenisnya; didapati sifat sattwa olehnya, maka ia berjiwa suci bersih, tidak terikat pada badannya, bebas dari karmaphala. (Pudja, 1980: 280).

Kutipan di atas menjelaskan orang yang telah mendapat kebijaksanaan atau kesadaran dalam berpikir, lenyaplah akan segala noda pikirannya, tanpa noda ilmunya, maka sifat sattwa diperolehnya mereka itu diperolehnya yang merupakan hakekat pikiran yang baik dan tidak berpengaruh oleh keterikatan maya, maka ia berjiwa suci dan bebas dari karmaphala.
Moksa dapat dicapai di dunia ini (ketika masih hidup) dan dapat pula dicapai setelah hidup ini berakhir. Orang yang dapat membebaskan dirinya (pikiran dan indera/ kama) dari ikatan keduniawian dan pengaruh suka duka yang muncul dari Tri Guna akan dapat mencapai kelepasan itu, sebagaimana Bhagawadgita menjelaskan sebagai berikut:
Sattvam sukhe sañjayati
rajah karmani bhārata,
jñānam āvrtya tu tamah
pramāde sañjayaty uta. (Bhagawadgita XIV.9)

Terjemahan:

Sattva mengikat sesorang pada kebahagiaan, rajah pada kegiatan kerja, wahai Bharata, sementara tamah menyelubungi pengetahuan dan mengikat kita pada kekurangwaspadaan (Pudja, 2005: 346).

Yadā sattve pravrddhe tu
Pralayam yāti deha-bhrt,
Tadottama-vidām lokān
Amalān pratipadyate. (Bhagawadgita XIV.14).

Terjemahan:

Tetapi bila sattva bertambah pada saat menemui ajal, para arif mengetahui perginya ke alam tertinggi yang tanpa cela (Pudja, 2005: 349).

            Pembebasan diri dari pengaruh Tri Guna adalah usaha yang berat, tetapi pasti dapat dilakukan dengan mendasarkan diri pada disiplin. Renungkan sloka di atas bila seseorang ingin mencapai moksa.
Secara filosofis kebebasan itu tidak pernah hilang tetapi oleh karena manusia hanyut oleh gelombangnya maya, dan dari kecil sudah dibius oleh kenyataan illusi sehingga terikat oleh khayalan. Padahal kalau dia sadar pada waktu itu sudah bebas. Adapun ketidaksadaran itu adalah karena kurang tahunya (absence of knowledge). Kalau seorang sudah sadar, dia akan tahu yang mana riil (nyata dan benar) dan yang mana bersifat maya/ illusi. (Cudamani,1993: 99).
Berdasarkan penjelasan di atas, manusia mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Dengan kemampuannya manusia itu dapat meningkatkan taraf hidup dan kehidupannya baik lahir maupun bathin, Lontar Tutur Parakriya menyebutkan sebagai berikut :
Ika Sang Rsi winarah de Batara irikang jnyanasti, ya ta matangian kapangguh ikang kamoksan denira, mari masarira. Wenang yan tininggalaken boga kabeh, dumeh nihan mangkana, sangkania asih Bhatara. (Transkripsi Lontar Tutur Parakriya, lampiran 13a).

Terjemahan:

Itu sang pendeta diajar oleh bhatara tentang jnyanasti, itu makanya beliau mencapai kemoksan, tidak masih berbadan, bisa beliau meninggalkan kehidupan semua, apa sebabnya demikian, memang dari karunia Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa kepadanya yang menyebabkan.

Kutipan di atas menjelaskan khususnya bagi para Rsi atau yang mempunyai pengetahuan akan kesucian atau kebenaran yang tinggi tentunya untuk menghubungkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa yaitu melalui jalan pemusatan pikiran atau melalui samadhi yang dapat meninggalkan kehidupan semua untuk tercapainya suatu kemanunggalan.
Mencapai kemanunggalan ini orang harus selalu berbuat baik sesuai dengan ajaran agamanya. Kitab suci telah menyediakan bagaimana caranya orang melaksanakan  pelepasan dirinya dari ikatan maya dan akhirnya Ātman dapat  bersatu dengan Brahman, sehingga penderitaan dapat dikikis habis dan tidak lagi menjelma ke dunia sebagai hukuman, tetapi sebagai penolong sesama manusia.
Ajaran Agama Hindu terdapat jalan untuk mencapai kesempurnaan, yaitu Moksa, dengan menghubungkan diri dan pemusatan pikiran kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang disebut Catur Marga Yoga, yaitu: 1) Bhakti Marga Yoga, yaitu proses atau cara mempersatukan Ātman dengan Brahman dengan berlandaskan atas dasar cinta kasih yang mendalam kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, 2) Karma Marga Yoga adalah jalan atau usaha untuk mencapai kesempurnaan atau moksa dengan perbuatan atau kebajikan tanpa pamrih, 3) Jnana Marga Yoga mempersatukan jiwatman dengan paramatman yang dicapai  dengan jalan mempelajari ilmu pengetahuan dan filsafat pembebasan diri dari  ikatan-ikatan  keduniawian, 4) Raja Marga Yoga adalah suatu jalan mistik (rohani) untuk mencapai kelepasan atau moksa dengan tiga jalan pelaksanaan yaitu Tapa Brata, Yoga, Samadhi. Tapa dan Brata merupakan suatu latihan untuk mengendalikan emosi atau nafsu yang ada dalam diri ke arah yang positif sesuai dengan petunjuk kitab suci sedangkan Yoga dan Samadhi adalah latihan untuk dapat menyatukan Ātman dengan Brahman dengan melakukan meditasi atau pemusatan pikiran.
Berdasarkan penjelasan di atas, bahwa pemusatan pikiran itu memang penting untuk menghubungkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, Lontar Tutur Parakriya menyebutkan sebagai berikut :
Wruh pwa Sang Yogiswara  ring jnyana tatwa, ya marganing anemuwaken kamoksan. Mangkana palaning pangwruhaken ring swa tatwa, wenang mangdadiaken swarga kamoksanan. (Transkripsi Lontar Tutur Parakriya, lampiran 18a).

Terjemahan:

Sang Yogiswara patut mengetahui tentang keadaan dan isi dari jnyana tattwa sebab itu satu-satunya jalan untuk mencapai moksa. Demikianlah phalanya jika telah mengetahui dengan segala tattwa (ilmu) untuk mencapai kemoksan

Berdasarkan kutipan di atas menjelaskan bahwa Sang Yogiswara harus mengetahui tentang keadaan dan isi tattwa atau pengetahuan-pengetahuan, dengan mengetahui pengetahuan-pengetahuan (tattwa) itu merupakan satu-satunya jalan untuk tercapainya suatu tujuan yang paling hakiki (kenirwanaan) yang merupakan kemanunggalan Ātma dengan Brahman.
Geguritan Pandawa Seda melalui bait-baitnya mengingatkan kepada umat Hindu agar meningkatkan keyakinan (sradha) terhadap moksa, seperti tersurat dalam kutipan di bawah ini:
Wantah moksa malih asiki
Ne meartos kelepasan
Anggen muput punarbhawa
Nanging meweh kapangguhang
Yening nora sida pascad
Ngresepang asrama catur
Mangda jati kemargiang (Geguritan Pandawa Seda, bait 2 halaman 26)

Terjemahan:

Yang pertama moksa, yang artinya kelepasan, agar tidak adanya punarbhawa (kelahiran kembali), tetapi sangat sulit untuk dicapai, bilamana tidak dilaksanakan tidak baik, mengerti Catur Asrama, supaya dilaksanakan dengan sungguh-sungguh.

Uduh dewa atiti  sami:
Titiang sampun menguningang
Sang Pandawa putun titang
Swadharmane sampun pragat
Ngertiyang jagat astina
Mangguh trepti gemuh landuh
Pascad nyakra Catur Asrama (Geguritan Pandawa Seda, bait 3 hal 26).

Terjemahan:

Para tamu semuanya kami menyampaikan, Sang Pandawa cucuku, kewajiban sudah selesai, mendoakan Negara Astina, menemukan kemakmuran aman, dalam melaksanakan Catur Asrama.

Ngelar brata luhur siki
Yukti dahat sengka pisan
Mapan ida pacang memarga
Ngelintangin pangkung jurang
Tukad linggah miwah alas
Sarwa buron pasti pangguh
Ngaresresin dahat galak (Geguritan Pandawa Seda, bait 5 halaman 26).

Terjemahan:

Melaksanakan brata yang baik, memang sangat sulit, oleh karena itu beliau akan pergi, melewati sungai yang lebar dan hutan, berbagai jenis binatang pasti ditemui, menakutkan dan galak.

Manuju Sumeru giri
Linggan Ida Sang Hyang Siwa
Tan pesangu ida memargi
Maka bekel pageh manah
Teleb ring tapa brata
Tresna asih tan kantun
Manuhut Catur Asrama (Geguritan Pandawa Seda, bait 4 halaman 26).

Terjemahan:

Menuju Gunung Semeru, Dewa Siwa berstana, tanpa bekal beliau berjalan, hanya berbekalkan pikiran dan keikhlasan hati, senang melaksanakan tapa brata,  kasih sayang atau keterikatan tidak ada, mengikuti ajaran Catur Asrama.

Penghayatan dan pengamalan semua bentuk ajaran agama dalam hidup ini merupakan pelaksanaan kongkrit dari sabda Tuhan yang ada dalam pustaka suci. Lakukan pemujaan dan kerja sebagaimana mestinya sebagai bhakti kita kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa. Tanamkan keyakinan pada diri bahwa segala sesuatu berawal dan berakhir pada Tuhan. Segala sesuatu tidak mungkin akan terjadi tanpa Tuhan ikut di dalamnya. Semua makhluk akan dapat mencapai moksa, hanya jalan atau prosesnya berbeda, ada yang cepat dan ada yang pula yang lambat.
Bila sesorang dapat mengurangi sifat egoisnya terhadap sesuatu dan mengarahkan pikiran dan perasaannya pada Tuhan, maka secara perlahan-lahan tetapi pasti akan dapat menyatu dengan Brahman. Tujuan utama hidup manusia adalah untuk menyadari dirinya yang sejati. Setelah orang menyadari dirinya yang sejati barulah dapat menyadari Tuhan yang meresap dan berada pada semua yang ada di alam semesta ini.
Di dunia ini sangatlah sedikit jumlah orang yang menginginkan kebahagiaan rohani berupa moksa, kebanyakan mereka hanyut oleh kenikmatan duniawi yang penuh dengan gelombang suka dan duka. Kiranya perlu disadari oleh setiap orang, bahwa tubuh ini adalah suatu alat untuk mendapatkan moksa. Moksanam sarira sadhanam yang berarti tubuh itu adalah sebagai alat untuk mencapai moksa (Sudirga, 2007: 4). Demikian yang dikatakan oleh Brahma Purana (228: 45), maka itu peliharalah tubuh ini sebaik-baiknya.
Menurut Gautama wawancara tanggal 23 April 2008, bahwa ajaran tattwa yaitu moksa lebih mengacu kepada pengendalian diri. Dengan pengendalian diri sehingga tidak akan ada keterikatan di dunia ini. Sebagai manusia hendaknya jangan diperbudak oleh nafsu tetapi semuanya itu harus dikendalikan sehingga lepas dari keterikatan. Dan bilamana ingin mendapatkan moksa, di samping pengendalian diri juga harus sesuai dengan ajaran Catur Asrama yaitu: Brahmacari, Grhastha, Wanaprastha dan Bhiksuka, sebab sudah ada tingkatan-tingkatan hidup dalam kehidupan ini.
Menurut Sideyadnya wawancara tanggal 22 April 2008), bahwa sebagai manusia yang punya kelebihan berupa akal dari makhluk ciptaan Tuhan lainnya harus selalu mendekatkan diri dengan Tuhan, selalu mempelajari ilmu pengetahuan dan melakukan tapa, brata.
Bertitik tolak dari uraian-uraian di atas, bahwa ajaran Tattwa yaitu Moksa dalam Lontar Tutur Parakriya dikaitkan dengan sumber-sumber lain dan hasil wawancara adalah merupakan petuah-petuah atau nasehat-nasehat untuk mengajarkan umatnya agar bisa mendapatkan kesempurnaan lahir maupun bathin yang kekal abadi (Moksa atau Kenirwanaan).


4.2  Ajaran Etika dalam Lontar Tutur Parakriya
Etika itu dinamakan ”susila”. Kata susila berasal dari dua suku kata yakni su dan sila. Su artinya baik dan sila berarti kebiasaan atau tingkah laku perbuatan manusia yang baik (Suhardana, 2007: 2). Karena itu dalam Agama Hindu, etika dikatakan sebagai ilmu yang mempelajari  tata nilai, tentang baik dan buruk suatu perbuatan, apa yang harus dikerjakan atau harus dihindari, sehingga tercipta suatu hubungan baik diantara sesama manusia. Etika itu sendiri adalah tata laku  atau perbuatan yang baik yang biasanya disebut sila. Ilmunya dinamakan ilmu tentang sila atau tata susila. Salah satu aspek dalam ilmu etika adalah membahas aspek moral dan arti dari apa yang dikatakan baik dan tidak baik. Etika adalah rasa cinta, rasa kasih sayang, dimana seseorang yang menerima etika itu adalah karena ia mencintai dirinya sendiri dan menghargai orang lain. Jadi tidak egoistis melainkan humanistis (Pudja, 1984: 57-58 dalam Suhardana, 2007: 2-3). Hal seperti itu rasa kebersamaan, rasa harga diri,  ikut menentukan penyebarluasan dan pendalaman ajaran etika itu. Apa yang dipelajari dari Etika Hindu, ajaran etikanya pada dasarnya bertujuan  meningkatkan derajat manusia dari tingkat yang lebih rendah, ketingkat yang lebih tinggi. Proses peningkatan itu tidak dapat terjadi tanpa mengalami proses pentahapan sehingga tampak adanya satu proses-proses peningkatan bertahap atau berjenjang sampai mencapai tingkat tujuan yang tertinggi, yaitu Moksa.
Oleh karena proses itu tidak hanya bersifat rasional, tetapi Etika Hindu mengandung arti kata bersifat mistik dan moral keagamaan dengan meningkatkan arti moral dari tingkat yang bersifat profan dan rasional ketingkat bentuk kemutlakan dengan latar belakang sentimen atau perasaan-perasaan keagamaan, formal dan fungsional.
Berkenaan dengan uraian di atas, salah satu prinsip dasar dalam ajaran sila itu menurut Agama Hindu adalah agar Sang Hyang Ātma dapat mencapai moksa. Jadi pada pokoknya adalah sebagai ajaran dalam menuntun Ātma mencapai tingkat Paramatma/ moksa, sesuai dengan tujuan ajaran Agama Hindu yang tertinggi. Etik Agama Hindu bertolak dari norma agama maka ia tidak sekedar etika penampilan luar sebagai etiket saja, namun ia menuntun orang untuk berbudi kerti yang luhur dan mulia sehingga tercapainya hidup yang berbahagia aman serta sentosa serta hubungan yang harmonis lahir bathin antara manusia dengan sesama makhluk lingkungannya, hubungan serasi antara manusia dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa.
Etika selalu menghendaki keharmonisan dan kebahagiaan lahir bathin yang diperoleh berdasarkan perbuatan yang baik serta budi yang mulia, Sarasamuscaya menyebutkan sebagai berikut :
Ri sakwehning sarwa bhūta, iking janma wwang juga wenang gumayakenikang śubhāśubhakarma, kuneng panentas akena ring śubhakarma juga ikang aśubharama phalaning dadi wwang. (Sarasamuscaya, 2).

Terjemahan:

Dari demikian banyaknya makhluk yang hidupnya dilahirkan sebagai manusia itu saja yang dapat berbuat perbuatan baik buruk itu; adapun untuk peleburan buruk ke dalam perbuatan yang baik juga manfaatnya jadi manusia. (Pudja, 1980: 10-11).

Berdasarkan kutipan di atas menjelaskan bahwa, hidup dilahirkan menjadi manusia, mampu berbuat baik, dan melebur perbuatan-perbuatan yang buruk ke dalam perbuatan yang baik berdasarkan dharma, sehingga manusia dengan kehidupannya mampu membina perhubungan yang selaras, harmonis dan serasi dengan mahluk hidup disekitarnya.
Telah menjadi kenyataan bahwa hubungan yang selaras atau rukun antara seseorang dengan makhluk sesamanya, antara anggota-anggota suatu masyarakat, suatu bangsa manusia dan sebagainya, menyebabkan hidup yang aman dan sentosa. Suatu keluarga, masyarakat, bangsa atau manusia, yang anggota-anggotanya hidup tidak rukun atau tidak selaras pasti akan runtuh dan ambruk. Hubungan yang selaras berarti kebahagiaan dan perhubungan yang kacau atau tidak rukun berarti mala petaka. (Mantra,  1997: 1).
 Susila atau Etika membina watak manusia untuk menjadi anggota keluarga, anggota masyarakat yang baik, menjadi putra bangsa dan menjadi manusia yang berpribadi mulia dan luhur, serta  membimbing mereka mencapai kebahagiaan. (Mantra, 1997: 2). Kitab Upadeca mengatakan bahwa dasar ajaran susila atau etika ini adalah Tat Twam Asi. Tat artinya Itu (Ia), Twam artinya Kamu dan Asi artinya Adalah. Tat Twam Asi adalah kata-kata dalam filsafat Hindu yang mengajarkan kesosialan yang tanpa batas, karena diketahui bahwa ”ia adalah kamu”, saya adalah kamu, dan segala mahluk adalah sama, sehingga menolong  orang lain berarti menolong diri sendiri. Jiwa sosial ini juga diresapi oleh sinar-sinar tuntunan kesucian Tuhan dan tidak oleh jiwa kebendaan. (1988: 54).
Tat Twam Asi merupakan dasar dari ajaran susila atau etika yang berbentuk tingkah laku yang baik dan mulia. Dari hal tersebut, timbul apa yang disebut dengan Tri Kaya Parisudha, yang menjadi landasan tata laksana dalam melaksanakan prilaku kehidupan demi keselamatan dunia hidup di masyarakat.
Suhardana (2007: 19) dalam Tri Kaya Parisudha menjelaskan pada hakekatnya, etika atau susila Agama Hindu dapat dibagi menjadi tiga kelompok besar, yaitu :
1.   Samaniya Dharmaśāstra atau Nitya Dharmaśāstra, merupakan etika yang berlaku universal, artinya berlaku bagi semua orang, berlaku bagi siapa saja dan ini biasanya dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam praktek sehari-hari ternyata ada tata laku atau etika yang harus diikuti dan ada pula yang harus dihindari. Yang harus diikuti tentulah berbagai tata laku yang baik dan patut ditiru, sedang yang harus dihindari adalah etika yang tidak baik atau bertentangan dengan ajaran agama. Yang termasuk dalam etika atau tata laku yang baik dan patut diikuti oleh umat Hindu adalah: Catur Marga atau Catur Yoga, Tri Kaya Parisudha, Yama Niyama Brata, Daśa Dharma, Catur Purusārtha, Catur Pāramitha, Tri Hita Karana, Asta Brata, Sad Mitra, Sad Guna, Asada Brata, Daśa Indria, Catur Aiswarya, Sad Pāramitha, Asta Siddhi, Daśa Paramārtha, Tri Brata, Tri Karana/ Tri Sādhana, Daśa Sila, Tri Parārtha. Sedangkan etika atau tata laku yang tidak baik dan karena itu patut dihindarkan adalah: Tri Mala, Tri Mala Paksa, Sapta Timira, Sad Atatayi, Sad Ripu, Daśa Mala, Catur Pataka, Pañca Bahya Tusti, Asta Dusta, Asta Cora.
2.   Naimitika Dharmaśāstra, merupakan etika yang berlaku untuk hal-hal yang sifatnya khusus dan berlaku dalam lingkungan terbatas. Naimitika Dharmaśāstra  ini ada karena manusia satu dengan yang lain mempunyai berbagai macam perbedaan, seperti jenis kelamin, umur, pekerjaan, kesenangan atau hobi dan lain sebagainya. Karena itulah setiap kelompok masyarakat mempunyai tata susilanya tersendiri, yang tidak dapat diberlakukan bagi kelompok lainnya. Dalam hal ini dapat diberiakan contoh bahwa setiap arsitek atau undagi mempunyai aturannya sendiri, demikian juga tata laku pengelolaan sawah bagi setiap desa mempunyai ketentuan tersendiri dan sebagainya.
3.   Kamya Dharmaśāsastra adalah ketentuan tata laku yang bersifat wajib. Hal ini baiasanya berlaku untuk kegiatan yang bersifat yajña, meliputi upacara maupun upakaranya. Pengertian wajib disini adalah bahwa apa yang sudah ditentukan itu mutlak harus diikuti, artinya tidak mungkin ditawar-tawar lagi, antara lain seperti waktu atau pedewasaan upacara, tempat upacara, jenis banten  atau upakara dan lain-lain. Contoh dari Kamya Dharmaśāsastra ini antara lain adalah Pañca Yajña yang mencakup Dewa Yajña, Resi Yajña, Pitra Yajña, Manusa Yajña, dan Bhūta Yajña. Termasuk dalam Kamya Dharmaśāsastra adalah persembahyangan (sembah bhakti), Brata Penyepian, Brata Sāraswatī dan lain-lain.

Salah satu ajaran etika atau susila Agama Hindu yang mendasar dipaparkan dalam Lontar Tutur Parakriya menekankan pada ajaran Catur Pāramitha sebagaimana dijelaskan pada kutipan sebagai berikut:
Mulaning pusuh-pusuh, Isa Hiangnia; Mudita wetunia; ring tengah,  Dharma Hiangnia; Metri wetunia; ring tutuk, Iswara Hiangnia; Karuna wetunia. Iti ana wahanadi, Brahma Hiangnia, panasning ambek wetunia. Ikang rasa wahanadi, Wisnu Hiangnia, ing ambek wetunia. Ikang prana wahanadi,  Mahadewa Hiangnia, Upeksa wetunia. Nahan Dewatania kamung Kumara. (Transkripsi Lontar Tutur Parakriya, lampiran 15b-16a).

Terjemahan:

Pertamanya atau puncaknya pepusuh, Hyang Isa dewatanya melahirkan Mudita; di tengah-tengah Hyang Dharma dewatanya menimbulkan Maitri. Penghabisannya Hyang Iswara, dewatanya menimbulkan Karuna. Ini ada disebut Wahanadi atau kendaraan utama, Brahma dewatanya, menimbulkan panas pikiran. Yang disebut rasa wahanadi, Wisnu dewatanya menimbulkan pemikiran. Yang disebut dengan prana wahanadi, Mahadewa dewatanya menimbulkan Upeksa (waspada) kamu Kumara.

Kutipan di atas menjelaskan bahwa jantung Hyang Isa dewanya menimbulkan Mudita, di tengah Hyang Darma dewatanya menimbulkan Maitri, terakhir Hyang Iswara dewatanya menimbulkan panas pikiran, rasa Wahana dan Wisnu dewanya menimbulkan pemikiran, Prana Wahanadi Mahadewa dewanya menimbulakan Upeksā. Dengan pemikiran cinta kasihlah yang menyebabkan dunia ini bergerak menuju kedamaian dan ketenangan. Tuhan adalah sumber cinta kasih, Bhagawadgita menyebutkan sebagai berikut:
Balam balavatām asmi
Kamā-rāga-vivarjitam
Dharmāviruddho bhūtesu
Kāmo ’smi bharatarsabha. (Bhagawadgita VII.11).



Terjemahan:

Aku adalah kekuatan dari orang kuat,
Bebas dari keinginan dari nafsu birahi
Aku adalah keinginan pada  semua makhluk
Yang tidak bertentangan dengan dharma, wahai Arjuna (Pudja, 2005: 190).

Kutipan  di atas menjelaskan bahwa Tuhan adalah wujud cinta kasih yang tinggi, cinta yang memasuki isi alam, ini mulai dari yang terendah sampai makhluk yang termulia, meskipun pada hakekatnya itu bebas dari nafsu birahi dan kepentingan diri sendiri, tetapi karena pengaruh maya, maka wujud cinta itu berbeda-beda tergantung dari tingkatan mahkluk-mahkluk itu. Walaupun cinta kasih berbeda-beda perwujudannya namun semua cinta kasih itu melahirkan dorongan gerak yang menyebabkan manusia mau bergerak.
Catur Pāramitha adalah termasuk Samaniya Dharmaśāstra atau Nitya Dharmaśāstra, yaitu Etika Agama Hindu yang berlaku umum atau universal dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Catur Pāramitha berasal dari kata ”Catur” yang berarti empat dan ”Pāramitha” yang berarti perbuatan luhur. Catur Pāramitha dengan demikian berarti empat perbuatan luhur, yang harus dilaksanakan oleh umat Hindu. Keempat perbuatan luhur dimaksud adalah: bersahabat/ Maitri, cinta kasih/ Karuna, bersimpati/ Mudhita, toleransi/ Upeksā (Suhardana, 2007: 71).

4.2.1        Maitri/ Bersahabat
            Lontar Tutur Parakriya tidak menyebutkan tentang Maitri ini secara detail tetapi hanya menyebutkan seperti kutipan berikut:
....ring tengah Dharma Hiangnia; Metri wetunya... (Transkripsi Lontar Tutur Parakriya, lampiran 15b).

Terjemahan:

.....di tengah-tengah Hyang Dharma dewatanya menimbulkan Maitri....

            Maksud kutipan di atas, segala sesuatunya adalah tunggal yaitu Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa yang menciptakan segala Alam Semesta ini. Sang Hyang Dharma adalah manifestasi beliau, dalam hal ini adalah sebagai pengendali atau yang menjiwai sifat Maitri ini sehingga manusia yang serba terbatas memuja Sang Hyang Dharma sebagai wujud sifat-sifat Maitri (Wawancara, Sudiasta: 21 April 2008).
            Menurut Gautama wawancara tanggal 23 April 2008, bahwa pada dasarnya Tuhan sebagai pencipta alam semesta ini meresapi segala yang ada, Tuhan ada dimana-mana, dan punya banyak sebutan sesuai dengan sifat dan prabawanya. Sehubungan dengan hal ini Metri adalah letaknya di tengah, dewanya adalah Sang Hyang Dharma. Inilah salah satu sebutan Tuhan yang mempunyai sifat suka bersahabat. Apa yang dipuja, itu yang akan  melindungi. Karena Sang Hyang Dharma adalah simbolnya persahabatan seharusnya sebagai umat yang serba keterbatasan harus memuja beliau sebagai salah satu manifestasi-Nya.
Mitra” adalah asal kata Maitri, yang berarti teman atau sahabat. Maitri artinya bersahabat. Maksudnya adalah bahwa manusia harus mempunyai sifat-sifat yang bersahabat terhadap sesamanya. Manusia adalah ciptaan Tuahan Yang Maha Esa, mempunyai Ātman yang merupakan sinar suci kebesaran Tuhan. Jadi manusia berasal dari satu sumber, yaitu Tuhan Yang Maha Esa dan karena itu sesungguhnyalah manusia itu semuanya bersaudara, bersahabat. Oleh karenanya mereka harus hidup rukun, hidup saling membantu, hidup saling mengasihi dan tidak bermusuhan. Manusia harus menghindarkan rasa balas dendam. Dengan berpegang kepada perbuatan yang luhur itu, maka manusia akan hidup tenang, hidup tentram lahir maupun bathin.
Hendaknya dalam pergaulan berjalan dengan baik, maka sebagai manusia harus bisa memilih sahabat yang bisa diajak dalam suka dan duka. Kalau orang bergaul dengan orang susila kelak orang tersebut akan menjadi susila, berbudi pakerti yang luhur. Kalau orang bergaul dengan orang pandai maka kelak orang tersebut akan menjadi pandai. Sloka Nitisastra menjelaskan sebagai berikut:
Tan mitran tikanang duratmaka, sirang sujana juga minitra sewaken, tan lupteng yasa dharma punya gawayen ra hina wengi taman helen-helen, ewehning pati tan kena natkung  uripta sukha wibawa nora  saśwata, yatma sewaka ring mahamuni sifa  siku-siku patitis anakena. (Nitisastra VIII, 6).

Terjemahan:
Jangan hendaknya bersahabat dengan orang-orang jahat, bersahabat bergaullah dengan orang-orang baik  saja. Janganlah abaikan pekerjaan baik. Kerjakanlah keutamaan dan berilah derma siang malam, jangan sekali-kali hal itu kau pertangguhkan, yang menyesalkan kita tentang hal kematian ialah karena kita tidak tahu kapan datangnya. Hidupmu bisa penuh dengan kesenangan dan kekayaan, tetapi hidup ini tidak kekal. Oleh karena itu, berguru dengan rajin kepada pendeta yang utama. Tanyakan jalan mana yang baik dan jalan mana yang tidak, supaya dapat mencapai tempat tujuanmu. ( Oka, 1992: 73-74).

            Maksud kutipan  sloka di atas adalah pentingnya sahabat itu. Namun hendaknya dalam mencari sahabat supaya berhati-hati jangan sampai bersahabat dengan orang jahat. Kalau bersahabat dengan orang jahat maka akan ketularan menjadi penjahat. Maka dari itu, menurut sastra diharapkan supaya  bergaul dengan orang baik-baik. Pernyataan ini Sarasamuscaya menyebutkan sebagai berikut:
Kunang ulaha, yan pasahāya kita, sang sadu juga sahaāyanta, yan ta gawaya pakadangan, sang sādhu juga kadanganta, yadyapin patukara tuwi, nguniweh yan samitra lawan sang sādhu juga, apan pisaningun hanā kayogyaning tan sadhu. (Sarasamuscaya, 305).

Terjemahan:

Adapun yang harus dilakukan, kalau engkau hendak mencari persaudaraan usahakanlah orang yang berbudi luhur saja; kalau  engkau berbantah, berbantahlah dengan orang  yang sadhu, apalagi jika bersahabat, hendaklah dengan orang yang baik budi itu; sebab mustahil tidak akan kelimpahan  budi luhur itu. (Pudja, 1980: 170).

Kuneng laksana sang sādhu, tan agirang yan inalem, tan alara yan inindā, tan kataman krodha, pisaningun ujarakenang parusawacana, langgeng dhīrāhning manah nira. (Sarasamuscaya, 306).

Terjemahan:

Adapun prilaku orang yang sadhu, tidak gembira jika dipuji, jika dicela tidak sedih pun tidak marah, tidak akan mengucapkan kata-kata kasar; sebaliknya selalu tetap teguh pikirannya. Pudja, 1980: 170).

   Hendaknya dalam pergaulan harus pandai memilih sahabat. Salah memilih sahabat maka akan celaka, akan masuk neraka, akan disiksa oleh Bhatara Yama. Maka dari itu usahakan bergaul dengan orang-orang  yang baik supaya kita mendapat sorga. Kalau sudah mendapat sorga maka akan menikmati kesenangan yang tidak terhingga. Seperti anak-anak muda jaman sekarang banyak yang bergaul seperti minum-minuman keras, merokok dan lain sebagainya. Tentunya segala sesuatunya perlu dipikirkan sehingga tidak menyengsarakan diri sendiri. (Wawancara, Sideyadnya: 22 April 2008).
   Geguritan Dharma Prawretti  menjelaskan tentang Metri sebagai berikut:
Sang ngamong jiwa Metria, tan kungguhan sigug brangti, jeg naros mengardi ledang, pengrasane jati nunggal, mamring I sarwa maurip, patuh ento ya kadulu, atep ya tan kawaranan, ne bedha wantah di sisi, kulit palsu, ya tan tatas ngawe sagsag.

Keto jani Sang Metria,  patut tiru sareng sami, jadi paragayan dharma, tekek ngamong budi hening, abaya dana tan mari, kanggen sadana pakukuh, ngawe adung kula-gotra, ajak ngalih ne sujati, sinah pangguh, yan jemet ngemit dimanah.
Becik bapa  manyatuang, sang abhayadana jani, yening manut Samuscaya, kardin wararuci nguni, Sang Abayadana jati, twara nahan ngawe rusuh,wantah asih kemargiang, sahi ngeledangin, matetulung, ento kanggen masedana.

Sang ngamong Abhyadana, yan bandingang banget luwih, ring sang ngamong drewya-dana, keto kasinahang cening, sangkan kawitine jani, abhyadanane duluh, ento garap ya pastika, yadyan tiwas jroning urip, ede buwung, ngarap ane madan dharma.

Wireh suba kasinahang, sang dursila jroning hurip, jati pawakan sengkala,tan pendah kadi sang sakit, nuju ke desane gerit, sinah tambane tan pangguh, ne panggih wantah kalaran, sakit atine matindih, keto bagus, sang nyalanang kadursilan. (Geguritan Dharma Prawretti, 22).

            Berdasarkan kutipan di atas, menjelaskan kepada manusia bahwa Metri adalah senang mencari kawan, yakni tahu menempatkan diri dalam masyarakat, tidak pemarah, ramah tamah membuat orang senang menarik hati segala prilakunya sehingga hal itu harus ditauladani/ dilaksanakan  oleh yang hendak berbuat kebajikan, pikiran yang hening, membuat keluarga bahagia dan sebagainya. Yang jelas semua itu harus berlandaskan dharma.

4.2.2  Karuna/ Cinta Kasih
            Lontar Tutur Parakriya tidak menyebutkan tentang Karuna ini secara detail tetapi hanya menyebutkan seperti kutipan berikut:
...ring tutuk, Iswara Hiangnia; Karuna wetunya...(Transkripsi Lontar Tutur Parakriya, lampiran 15a).
Terjemahan:
.....Penghabisannya Hyang Iswara, dewatanya menimbulkan Karuna....
            Berdasarkan kutipan di atas, bahwa Sang Hyang Iswara adalah manifestasi beliau, dalam hal ini adalah sebagai pengendali atau yang menjiwai sifat Karuna ini sehingga manusia yang serba keterbatasan memuja Sang Hyang Iswara  sebagai wujud sifat-sifat Karuna (Wawancara, Sudiasta: 21 April 2008).
            Tuhan sebagai pencipta alam semesta ini meresapi segala yang ada, Tuhan ada dimana-mana, dan punya banyak sebutan sesuai dengan sifat dan prabawanya. Dalam hal ini Karuna adalah letaknya diakhir, dewanya adalah Sang Hyang Iswara. Iswara sendiri adalah sebutan Tuhan yang dalam Catur Pāramitha mempunyai sifat cinta kasih atau belas kasihan sehingga bilamana memuja beliau akan dilindungi atau mendapatkan kasih sayang dari Sang Hyang Iswara. (Wawancara, Gautama: 23 April 2008).
Karuna adalah perbuatan luhur atau cinta kasih atau belas kasihan terhadap orang yang menderita. Sebagai manusia yang berasal dari satu sumber, yakni Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, maka manusia harus hidup saling tolong menolong, bahkan harus bersedia berkorban demi untuk menolong orang yang sedang kesusahan, bersedia berkorban demi kebahagiaan orang lain. Manusia dipandang sebagai berbudi luhur apabila mau merasakan kesusahan atau penderitaan  orang lain  sebagai kesusahan atau penderitaannya sendiri. Dengan berpikiran demikian mereka akan cepat tanggap menolong sesamanya yang menderita.
Di samping bhakti kepada Tuhan orang harus memperhatikan orang lain. Orang harus kasih-mengasihi satu sama lain. Orang harus hidup damai, hidup dalam suasana persahabatan. Kutipan berikut mencerminkan hal ini:
Mitrasya mā caksusā sarvāni bhūtāni
samīksantām,
mitrasyāham caksusā sarvāni bhūtāni samīkse,
mitrasya caksusā samīksāmahe. (Yajur Veda, 26.2).

Terjemahan:

Semoga semua makhluk memandang kami dengan pandangan mata seorang sahabat,
Semoga saya memandang semua makhluk dengan pandangan  mata seorang sahabat,
Semoga kami pandang memandang dengan pandangan seorang sahabat. (Sura, dkk, 1994: 38).

Hidup bersahabat berarti orang harus kasih sayang kepada orang lain; hormat kepada orang tua, menjauhi kebencian mendambakan kesatuan dan persatuan. Hal ini tercermin  dari kutipan berikut:
Sahrdayam sāmmanasyam avidvesam krnomi vah, anyo anyam abhi haryata vatsam jātam ivāghnyā.
Anuvratah pituh putro mātrā bhavatu sammanāh, jāyā patye madhu matim vācam vadatu santivām.
Mā bhrātā bhrātaram dveksan mā svasāram uta svasā samyancah savratā bhūtvā vācam vadata bhadrayā. (Atharva Veda, 3.30).

Terjemahan:

Aku jadikan engkau sehati, satu pikiran, bebas dari kebencian.
Kasihlah satu sama lain seperti sapi mengasihi anaknya yang ia lahirkan.
Biarlah anak setia kepada ayah dan satu hati dengan ibunya.
Biarlah istri bercakap dengan manis dan dengan kata-kata yang bagus pada suami.
Janganlah saudara laki benci pada saudara laki, saudara perempuan dengan saudara perempuan .
Rukunlah, bersatulah dalam tujuan, berkatalah dengan kata-kata persahabatan. (Sura, dkk, 1994: 39).

Kakawin Arjunawiwāha juga menjelaskan bahwa di samping bhakti kepada Tuhan, sanak saudara, leluhur, Arjuna sangat mengasihi rakyatnya. Demi cinta kasih dan bhaktinya Sang Arjuna bertapa di Gunung Indrakila dengan berbagai godaan dan cobaan. Diantaranya tujuh bidadari yang sangat cantik-cantik, menggoda Sang Arjuna namun tidak goyah sedikitpun. Kemudian diujicoba oleh Dewa Indra sendiri yang menyamar sebagai pertapa tua, dan saat itulah terjadi dialog dan Sang Arjuna mengatakan bahwa  karena rasa cinta kasih dan bhakti kepada kakaknya, Yudistira atau Sang Dharaputra ikhlas untuk bertapa. Tidak lain ingin mendapatkan anugerah Bhatara Siwa agar cita-citanya jaya dan kuasa di dunia dan juga ingin berbuat jasa memelihara seluruh dunia sehingga dunia ini tentram, aman jauh dari angkara murka. Tujuan Dewa Indra adalah ingin mendapatkan manusia sakti untuk melawan Sang Niwatakawaca (raja danawa sakti yang tersohor, kuat, tidak mati oleh dewa, yaksa, dan asura, tetapi hanya manusia sakti perlu diwaspadai). Kakawin Arjunawiwāha menyebutkan sebagai berikut:
Sahur ira tan apañjang singgih śabda muniwara
Nghulun tiki katalyan de ning bhakti lawan asih
Ana pinaka kakangkwan śrī Dharmātmaja karĕngö
Sira ta pinatapākĕn mahyun digjaya wijaya. (Arjunawiwāha VI.4).

Terjemahan:

Jawabannya tidak panjang” Benar sabda Sang Pertapa”
Aku terikat bhakti serta kasih
Aku mempunyai kakak, Sang Dharmaputra namanya
Bagi dialah aku bertapa dengan cita-cita jaya dan kuasa di dunia. (Wiryamartana, 1990: 135).

Geguritan Dharma Prawretti juga menjelaskan  tentang Karuna, sebagai berikut:
Ne jani jalan lanturang, solah karuna pedasin, welas asih keartiang, asih teken sarwa prani, sang katunan minakadi, kirang pangan miwah kinum, yadin sang katunan manah, katulung ya kakantinin, antuk tutur, manut sastra agama.

Sang nyalanang asih sayang,  luput saking sedih kingking, loba perih nya meninggal, duk manulung saking aris, twara netang untung rugi,  nekaperih wantah ayu,  taler tan mari ngastawa, nunas ica ring Hyang Widhi, kancan idup, mangdane kertha raharja.

Keto solah sang karuna, peteng lemah ya ngastiti,  karaharjaning nagara, kalih wadwan sang bupati, ring dewa butha tan lali, minekadi ring leluhur, mangdennya asung nugraha, manyundarang budi hening, ngawe adung, bebas saking  papa klesa. (Geguritan Dharma Prawretti, 23).

            Karuna sesuai dengan Geguritan Dharma Prawretti, menjelaskan kasih sayang  sesama manusia, dan sesama makhluk  lebih-lebih kasih sayang terhadap orang yang memerlukan seperti orang yang kekurangan minum dan makan, dan yang kurang akan pengetahuan. Di samping kasih sayang tersebut, adalah bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi/ Tuhan Yang Maha Esa, leluhur dan orang tua. Manusia diharuskan untuk selalu memupuk rasa kasih sayang terhadap sesama makhluk.

4.2.3  Mudhita/ Bersimpati
            Lontar Tutur Parakriya tidak menyebutkan tentang Mudhita ini secara detail tetapi hanya menyebutkan seperti kutipan berikut:
....Mulaning pusuh-pusuh Isa Hiangnia; Mudita wetunya.... (Transkripsi Lontar Tutur Parakriya, 15a).


Terjemahan:
....Pertamanya atau puncaknya jantung/ pepusuh, Hyang Isa dewatanya melahirkan Mudita....

            Manifestasi Ida Sang Hyang Widhi/ Tuhan Yang Maha Esa sangat banyak, dalam hal ini adalah sebagai pengendali atau yang menjiwai sifat-sifat Mudhita adalah Sang Hyang Isa, manusia yang memiliki akal atau idep segala sesuatu yang berhubungan dengan Mudhita memohon atau memuja Sang Hyang Isa (Wawancara, Sudiasta: 21 April 2008).
            Menurut Gautama wawancara tanggal 23 April 2008 bahwa pada dasarnya Tuhan sebagai pencipta alam semesta ini meresapi segala yang ada, Tuhan ada dimana-mana, dan punya banyak sebutan sesuai dengan sifat dan prabawanya. Dalam hal ini Mudhita adalah letaknya dipuncaknya jantung, dewanya adalah Sang Hyang Isa. Inilah salah satu sebutan Tuhan yang mempunyai sifat suka bersimpati. Apa yang dipuja, itu yang akan  melindungi. Karena Sang Hyang Isa adalah simbolnya rasa simpati seharusnya sebagai umat yang serba keterbatasan harus memuja beliau sebagai salah satu manifestasi-Nya.
            Mudhita artinya simpati atau turut merasakan baik kesusahan maupun kebahagiaan orang lain. Dengan sifat luhur seperti ini, manusia akan terhindar dari rasa iri hati, rasa dengki, dan rasa kebenciaan. Kesusahan seseorang akan dirasakan sebagai kesusahannya sendiri, keberhasilan seseorang juga akan dirasakan sebagai keberhasilannya sendiri. Mudhita adalah sikap solider dan simpati terhadap sesamanya. Mendapatkan simpati orang lain, maka seseorang haruslah menanamkan rasa simpati pula terhadap orang lain. Sikap luhur yang dinamakan Mudhita ini, maka seseorang akan dapat hidup tenang lahir maupun bathin.
 Salah satu perbuatan luhur adalah selalu riang gembira, ramah, tidak menyombongkan diri, selalu menolong orang lain, penuh simpatian terhadap yang baik, sopan santun. Orang-orang tersebut patut dihormati dalam masyarakat, Sloka Niti Sataka menyebutkan sebagai berikut:
Namratvenonnamatah paragunakathanaih svangunān khyāpayantah svārthānsamādayanto vitataprthtarārambhayatnāh parārthe ksāntyaivākseparuksa ksaramukharmukhān durjanān dukhayantah santah sāscaryacaryā jagati bahumatāh kasya nābhyarcanīyāh. (Niti Sataka, 60).

Terjemahan:

Mendapatkan kemajuan dengan kerendahan hati, pandai mengambil hati orang lain, banyak menolong tetapi tujuan sendiri tetap tercapai. Memaafkan orang yang suka memfitnah, berkata kasar, dan menyakiti. Orang-orang tersebutlah yang mendapatkan pujian dan kekormatan dalam masyarakat. (Somvir, 2003: 39).

Geguritan Dharma Prawretti menjelaskan tentang Mudhita sebagai berikut:
Cening bagus sang sisyawan, Mudita jani artinin, wirasane apang tawang, agawe sukaning urip, keto artinne sujati, solah ipatut sedeng tiru, krana sang ngamong mudita, tan kungguhang iri hati, teka nahu, ngawe kasukan di jagat.

Sang Mudita sahi egar, sing keucapang teka manis, ngulangunin sang mirengang, ngawe lega sang nyinagkin, reh mukane bungah asri, solahnya manudut kayun, ngalap kasor nekeng tuwas, budi halus muwuh bangkit, nyandang tiru, Sang Mudita mahardika.

Sewos pisan yan bandingang, sang ngamong pramada budi, bawos agal ngawe jengah, masa ken awaknya ririh, masa sakti turing sugih, yan timpalin muwuh sigug, ngeres hatine ningehang, becik kirigin kalahin, pangda milu, kaliput ban gnipramada.

Sang Pramada banget ampah, twara ngetang beneh pelih, wiwekannya edoh pisan, tattwanya banget nungkalik, ya sanget demen kapuji,  timpalnya kandapan laut, katuduh panjak ketokan, nanging sang mudita budi, twara nau, ngardi kamewehan timpal. (Geguritan Dharma Prawretti, 24).

            Sedangkan Mudhita menurut geguritan di atas adalah menjelaskan bahwa Mudhita adalah orang yang selalu memperlihatkan wajah yang riang gembira, yakni penuh simpatisan terhadap yang baik dan selalu sopan santun dalam bertingkah laku di dalam bermasyarakat. Hal tersebut perlu untuk dilaksanakan karena sejalan dengan ajaran dharma.
            Segala sesuatu perbuatan manusia harus berdasarkan dharma. Jadi tidak akan ada manusia yang menjelek-jelekkan orang lain, saling membeci, dan lain sebagainya. Berdasarkan wiwekajnana, sehingga  tahu membedakan perbuatan mana yang harus dilaksanakan, dan perbuatan mana yang harus dihindari. Apabila semuanya telah didapatkan dengan perbuatan dharma, maka itulah yang digariskan oleh ajaran agama. (wawancara, Sideyadnya: 22 April 2008).

4.2.4  Upeksā/ Toleransi
            Lontar Tutur Parakriya tidak menyebutkan tentang Upeksā ini secara detail tetapi hanya menyebutkan seperti kutipan berikut:
…..Mahadewa Hiangnia; Upeksa wetunya, nahan Dewatania Kamung Kumara....(Transkripsi Lontar Tutur Parakriya, lampiran 16a).

Terjemahan:

....Mahadewa dewatanya menimbulkan Upeksa (waspada) kamu Kumara.

            Berdasarkan kutipan di atas adalah Sang Hyang Mahadewa adalah manifestasi beliau, dalam hal ini adalah sebagai pengendali atau yang menjiwai sifat Upeksā ini sehingga manusia yang serba keterbatasan memuja Sang Hyang Mahadewa sebagai wujud sifat-sifat Upeksā (Wawancara, Sudiasta: 21 April 2008).
            Pada dasarnya Tuhan sebagai pencipta alam semesta ini meresapi segala yang ada, Tuhan ada dimana-mana, dan punya banyak sebutan sesuai dengan sifat dan prabawanya. Upeksā dewanya adalah Sang Hyang Mahadewa. Sang Hyang Mahadewa adalah sebutan lain dari Tuhan dalam Catur Pāramitha mempunyai sifat toleran dan senantiasa memperhatikan orang sehingga bilamana memuja beliau akan dilindungi atau mendapatkan kewaspadaan sesuai dari sifat Sang Hyang Mahadewa. (Wawancara, Gautama: 23 April 2008).
Perbuatan luhur berikutnya adalah Upeksā, yang berarti toleran dan senantiasa memperhatikan keadaan orang lain. Sedangkan jiwanya dipenuhi oleh rasa setia kawan dan simpati terhadap sesamanya, bahkan tidak menaruh rasa dendam terhadap orang yang bermaksud jahat terhadapnya. Manusia yang bersikap Upeksā juga selalu waspada terhadap situasi yang dihadapi, namun bijaksana dan selalu menjaga keseimbangan lahir dan bathin serta tidak mau mencampuri urusan orang lain.
Sarasamuscaya menyebutkan sebagai berikut:

Ika tang dāna, tan bapa, tan ibu, umukti phalanika, anghing ika wwang gumawayaken ikang dānapunya, ya juga umukti phalaning dānapunya. (Sarasamuscaya, 169).

Terjemahan:

Itulah hakekat suatu dana, bukan si bapa, bukan si ibu yang akan menikmati pahalanya, melainkan hanya orang yang melakukan kebajikan berdana punia itu, dia saja yang akan menikmati pahala dari berbuat dana punia itu. (Pudja, 1980: 95).

Nahan tang dāna ling sang pandita, ikang sihaywa kimburu, ikang si jenek ri kagawayaning dharmasadhana, apan yan langgeng ika, nitya katemwaning hayu, pada lawan phalaning tyāgadāna. (Sarasamuscaya, 170).

Terjemahan:

Inilah yang disebut dana, kata sang pandita, yaitu, sifat tidak cemburu, yang selalu taat berbuat dharma sebagai jalannya, sebab bila hal itu terus menerus demikian, selalu akan mendapatkan kebajikan, sama halnya sebagai pahala dana yang diberikan. (Pudja,1980: 96).

Kuneng phalaning tyādāna, yawat katemung bhogo-pabhogo ring paraloka dlāha, yapwan phalaning sewaka ring wwang kabayan, katemung medhāguna, si yatnan kitatutur, kuneng phalaning ahimsā, si tan pamatimati, kadīrghyayusan, mangkana ling sang pandita. (Sarasamuscaya, 171).

Terjemahan:

Adapun pahala pemberian dana punia, selamanya akan memperoleh berbagai kenikmatan di akhirat dikemudian hari, akan tetapi, pahala seseorang mengabdi kepada orang-orang tua, akan memperoleh hikmah kebijaksanaan, yaitu tetap waspada dan sadar; adapun akibat dari ahimsa, orang yang tidak merlakukan perbuatan bunuh-membunuh, umur panjanglah (pahalanya), demikian sabda sang Pandita. (Pudja, 1980: 97).

            Geguritan Dharma Prawretti menjelaskan tentang Upeksa, sebagai berikut:
Ne kacatur lan bawosang, solah upeksa pinuji, mingsinggih ring sesamannya, keto wirasannya jati, sang upeksa kadi dacin, tukang timbang wyakti kasub, twara ngelah rasa bina, arimbawa mirib patis, sahi adung, makta raga dahat wikan.

Sang upeksa wyakti wikan, napi luwirne kakardi, yan sampun patut kerasa, wawu raris kamarginin, yan iwang kerasayan hati, tan pisan pacing keanut, ring wong lian twara beda, kukuh ngamong ane adil, dharma sadhu, manggeh kanggen sakan jagat.

Sang ngamong budhi upeksa, sangkan sugat ledis sami,jani, wantah adung kemargiang, anake ring raga patis, tan bina wantah asiki, tunggal sami jroning kalbu, pengaptine masih tunggal, wantah rahayu ne kajudi, saling, dana punya kamargiyang.

Catur Paramita Utama, nyandang agem sareng sami, anggen dasar paguyuban, marepe ring kulawargi, jalanke patuhe alih,  ento garap sinah luwung, kancan karya bias pragat, nanging yan sugat pitindih, sinah lacur, bantas pocol ane bakat. (Geguritan Dharma Prawretti, 25).

            Berdasarkan uraian di atas, hendaknyalah sebagai manusia, walaupun disinggung perasaannya oleh orang lain, ia tetap tenang dan selalu berusaha membalas kejahatan dengan kebaikan
Buku lain, Agama Hindu Sebuah Pengantar menyebutkan etika dalam Mahābharata mengajarkan supaya orang menaruh kasih sayang, rasa bersahabat, simpati dan beritikad baik terhadap semua makhluk. Semuanya akan mengantarkan  orang kepada kedamaian, dan dengan kedamaian orang akan dapat mewujudkan kesejahteraan hidup, kebahagiaan, hidup sehat lahir bathin. Kutipan  berikut menunjukkan hal ini.
Yadanyesam hitam nasyat ātmanah karma  purusam,
Srapatrapeta va yena na tat kuryat katamcana (Mahābharata).

Terjemahan:

Perbuatan yang tidak mengantarkan orang kepada kerahayuan, atau membawa malu kepada kita, janganlah itu dilakukan kepada siapapun. (Sura, dkk, 1994: 41).

Sarve bhavantu sukhinah
Sarve santu nirmayah,
Sarve badrani pasyantu
Ma kascid dukhabag bhavet. (Mahābharata).

Terjemahan:
Semoga semua bahagia
Semoga semua sehat dan jujur
Semoga semua menjumpai kebahagiaan
Semoga tidak ada yang sengsara. (Sura, dkk, 1994: 41).

   Berdasarkan kedua sloka di atas menjelaskan bahwa keempat perbuatan luhur atau Catur Pāramitha itu berdasarkan pada cinta kasih yang semata-mata membuat ketentraman, kerukunan dan akhirnya kebahagiaan bagi umat manusia  khususnya dan dunia kehidupan umumnya untuk tercapainya suatu tata krama masyarakat yang sempurna dalam pergaulan di atas segala garis-garis kebenaran untuk kesucian lahir dan bathin (Dharma tan kahanan mala).
Buku lain ada menyebutkan bahwa etika itu adalah bentuk pengendalian diri dalam pergaulan hidup bersama. Manusia adalah makhluk berteman, ia tidak dapat sendirian, ia selalu bersama-sama dengan orang lain. Manusia hanya dapat hidup dengan sebaik-baiknya dan manusia akan mempunyai arti, apabila ia hidup bersama-sama dengan manusia lainnya di masyarakat. Tidak dapat dibayangkan adanya manusia yang hidup menyendiri tanpa berhubungan dan tanpa bergaul dengan sesama manusia lainnya. Hanya hidup bersama manusia dapat berkembang dengan wajar. Hal ini bahwa sejak lahir sampai meninggal manusia memerlukan orang lain, untuk kesempurnaan hidupnya. Bantuan ini tidak hanya bantuan untuk memenuhi kebutuhan rohani. Manusia sangat memerlukan pengertian, kasih sayang, saling menghargai, pengakuan dan tanggapan-tanggapan emosional yang sangat penting artinya bagi pergaulan dan kelangsungan hidup.
Semua kebutuhan ini merupakan kebutuhan rohani hanya dapat diperoleh dalam hubungannya dengan manusia lain di masyarakat. Inilah kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Tak ada seorangpun yang dapat mengingkari hal ini karena ternyata bahwa manusia baru disebut manusia dalam hubungannya dengan orang lain, bukan dalam kesendirian. Dalam kehidupan bersama itu orang harus mengatur dirinya bertingkah laku. Tak ada seorangpun yang boleh berbuat sekehendak hatinya. Ia harus menyesuaikan dirinya dengan lingkungan, tunduk dengan aturan bertingkah laku yang berlaku. Dengan demikian orang hanya bebas berbuat dalam ikatan tingkah laku yang baik. Sehubungan dengan hal tersebut, Sarasamuscaya, menyebutkan sebagai berikut:
Matangnyan nihan kadāyakenaning wwang, tan wāk, kāya, manah, kawarjanā, makolahang asubhakarma, ikang wwang mulahaken  ikang hayu, hayu tinemunya yapwan hala pinakolahnya, hale dinemunya. (Sarasamuscaya, 156).

Terjemahan:

Oleh karena itu inilah yang harus diusahakan orang, jangan (kau) biarkan kata-kata, laksana dan pikiran berbuat karma yang tidak baik sebab orang yang mengusahakan yang baik, baik yang diperolehnya, jika jahat yang dilakukannya, celaka yang diperolehnya. (Pudja, 1980: 88).

Berdasarkan kutipan di atas menjelaskan bahwa manusia harus berbuat, berkata-kata dan berpikir yang baik dan benar, sesuai dengan ketentuan yang sudah berlaku dalam ajaran agama. Baik diperbuat maka hasilnya akan baik pula dan begitu sebaliknya jika berbuat yang jelek atau salah maka hasilnya akan jelek pula diterimanya. Sehubungan dengan uraian di atas maka dalam Lontar Tutur Parakriya, menyebutkan mengenai larangan yang harus direnungkan sekaligus dikerjakannya adalah sebagai berikut :
Ikanang sahalambana umidem, wastu tan ana ikang pada; nira lambana umidem, wastu ana tambana; ikang kamangkana rwa, ya teka aryakena denta. (Transkripsi Lontar Tutur Parakriya, 13a).


Terjemahan:

Jika sahalambana direnungkan, lalu tidak akan ada pada; jika niralambana dipikirkan lalu akan ada yang disebut dengan tambana, yang keduanya itu tidak patut dikerjakan olehmu.

Berdasarkan kutipan di atas menjelaskan tentang larangan-larangan yang tidak patut dikerjakannya atau dilaksanakan oleh seseorang yang pada akhirnya akan menemui jalan buntu. Lontar Tutur Parakriya menguatkan tentang peranan etik dalam usaha menuju alam kebebasan, sebab perbuatan-perbuatan atau tata cara yang berpatokan pada etika dapat mewujudkan ciri khas dari pelaksanaan bathin yang suci. Oleh karena itu untuk berbuat etika oleh didukung oleh kesucian bathin, sehingga tindakan dalam tingkah laku itu terjadi dengan kesungguhannya.
Selain itu juga untuk dapat memahami ajaran Catur Pāramitha tersebut, di bawah ini di sajikan beberapa bentuk larangan-larangan yang pantang dilaksanakan oleh umat manuisa, sebagai berikut : 1) untuk dapat berbuat Maitri, maka jangan melakukan/ berbuat bencana yang bersifat maut (anta kabhaya) atau jangan membenci, 2) untuk dapat berbuat Karuna, maka pantang melakukan perbuatan yang menyebabkan terjadinya penderitaan, tersiksa, kesengsaraan, atau jangan bengis, 3) untuk dapat berbuat Mudita, maka jangan melakukan perbuatan yang dapat menyebabkan orang lain susah, atau jangan memiliki rasa irihati kepada orang lain, 4) untuk dapat berbuat Upekśā, maka pantang menghina orang lain. Memandang rendah orang lain, menindas orang lain, atau selalu dapat berusaha mengendalikan dorongan hawa nafsu jahat.
Kitab Sarasamuscaya menyebutkan sebagai berikut :
Prawrtti rahayu kta sādhananing ramaksang dharma, yapwan sang hyang aji, jnāna pageh ekstāna sādhana ri karaksanira, kunang ikang rūpa, si radin pangraksa irika, yapwan kesujanman, kasuśīlan sādhananing rumaksa ika.  (Sarasamuscaya, 162).

Terjemahan:

Tingkah laku yang baik merupakan alat untuk menjaga dharma, namun sastra suci, ilmu pengetahuan yang tetap dipegang teguh dan bulat merupakan jalan untuk menjaganya, adapun rupa, kebersihanlah (cara) pemeliharaannya, sedangkan kelahiran mulia, kesusilaan juga sebagai sarananya unuk pemeliharaannya.

            Pada hakekatnya agama mempunyai makna yang sangat penting bagi manusia, agama disebut dharma yang mempunyai tujuan menuntun manusia untuk mencapai kesempurnaan hidup berupa kesucian bathin laksana dan budhi pekerti serta kebahagiaan yang kekal abadi, yaitu sukha tanpawali duhka di dasarkan atas nafsu duniawi yang dapat mengantarkan roh terbebas dari penjelmaan. Tujuan ini sering diungkapkan dalam suatu kalimat dalam bahasa Sansekerta, yaitu “ Moksartham Jagadhitaya ca iti Dharma” atau mencapai ”jagadhita” dan ”Moksa”. (Suhardana, 2007: 1). Jagadhita berarti kesejahteraan jasmani dan Moksa berarti ketentraman bathin atau kehidupan abadi dengan manunggalnya Ātman dengan Brahman. Dalam mengarungi bahtera kehidupan ini manusia sering disesatkan oleh kabut kegelapan sebagai kebodohan dan ketidaksadaran yang menimbulkan nafsu serakah, sering menjerumuskan mereka kelembah neraka. Membimbing atau menuntun manusia agar tidak jatuh kelembah penderitaaan, Tuhan mewahyukan ajaran kerohanian yang disebut dengan agama.
Agama mengajarkan kepada umatnya untuk percaya dan menyembah Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa adalah satu-satunya jalan bagi umat manusia untuk mencapai tujuan agama yaitu kesempurnaan hidup rohani maupun jasmani. Tercapainya kesempurnaan tersebut maka pikiran kita harus mengarah pada kesucian atau hal-hal utama dan mulia. Sehubungan dengan hal di atas, Lontar Tutur Parakriya menyebutkan sebagai berikut :
Manah suniata, cita sunyata, yatat suniata, ika kabeh ya ta kapangguh ikang parama niskala denta, ndia lwirnia jnyana sunia nihan. (Transkripsi Lontar Tutur Parakriya, 12b).

Terjemahan:

pikiran utama, maksud utama, semuanya itu utama (sunya), jalan pikiran yang demikian itu, dapat mencapai kesukaan lahir dan bathin olehnya.

Kutipan di atas menjelaskan bahwa pikiran utama, maksud utama dan semuanya utama, jalan pikiran yang demikian itu dapat tercapainya suatu kebahagiaan lahir dan bathin atau kebahagiaan Jagadhita moksa.
Kebahagiaan Jagadhita yang dimaksud adalah kesejahteraan duniawi yang merupakan salah satu aspek tujuan dari dharma. Jadi dharma yang mengatur hidup dan kehidupan manusia, itu bertujuan supaya manusia dapat mencapai kesejahteraan dunia. Sedangkan untuk mencapai kebahagiaan rohani atau batin disebut dengan moksa atau kelepasan.
Sehubungan dengan hal tersebut, kitab suci Sarasamuscaya menyebutkan sebagai berikut :
Anādi ketang janma ngaranya, tan kinawruhan tembenya, luput kinalakaran, wilangning janmāntara, mewwiwut pwa bapanta, ibunta, anakta, rabinta, ring sayugasayuga, paramārthanya, ndyang enak katepetana sānu lawan ika, ndyang tuduhan anunta. (Sarasamuscaya, 486).
Terjemahan:

Tidak diketahui hubungan penjelmaan manusia itu pada permulaannya, tidak dapat diperkirakan akan banyaknya penjelmaan yang lain, beribu-ribu bapa, ibu, anak dan istri pada tiap-tiap yuga; pada hakekatnya, siapakah yang sebenarnya dapat mengatakan dengan tepat keturunan mereka itu, dan yang mana dapat ditunjuk seketurunan dengan engkau sendiri? (Pudja, 1980: 269).

Berdasarkan kutipan di atas menjelaskan bahwa moksa adalah dimana perasaan itu dilukiskan sebagai tingkat keadaan dimana rasa “akunya” tidak dirasakan lagi adanya, demikian juga tidak adanya rasa senang atau duka melainkan disadari sebagai satu tingkat kebahagiaan yang paling tinggi. Berkenaan dengan kebahagiaan yang tinggi, maka Lontar Tutur Parakriya ada menyebutkan kebenaran yang utama atau mulia, antara lain :
Ikang nada, nadanta, windu, ardacandra, Ongkara pasamuhania, sedeng wisesaning mantra kabeh. Mangkana kamung Kumara. Ikanang Ongkara pinakawakku kamung Kumara. Tan dadiana yan tan ana, Ongkara yan tan ana aku, ana aku ana Ongkara,ana aku muwah ana ongkara, matangian ta ring aku magawe yoga. Ikanang windhu, nada-nadanta, katiga pada suksmania, jawat wruhika tatelu, ya ta paramartawit; wruh ring paramarta nga. (Transkripsi Lontar Tutur Parakriya, 8a-8b).

Terjemahan:

Yang disebut nada, windhu, ardacandra, itu ikut dalam Ongkara, sebagai utamanya mantra semua. Begitu halnya kamu Kumara! Tidak bisa jadi itu ada, jika tidak ada Ongkara, tidak ada aku, ada aku, ada Ongkara, ada aku ada lagi Ongkara, itulah sebabnya dari aku ada semua atau mengerjakannya. Itu windhu, nada-nada, ketiganya sama-sama gaib, jika diketahui yang tiga tersebut, itulah keutamaan, jadi mengetahui yang disebut dengan utama.            

Berdasarkan kutipan di atas menjelaskan yang disebut dengan nada, windhu dan ardacandra itu ikut dalam Ongkara sebagai utamanya mantra semua, tidak ada Ongkara tidak ada Aku, jika ada Ongkara ada Aku, dan itulah yang menyebabkan semua ini ada, dan itu windhu, nada dan ardacandra, ketiganya sama-sama gaib, apabila diketahui kesemua ini itulah yang disebut dengan utama, dalam hal ini adalah simbul dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Demikianlah keistimewaan dari Wijaksara Omkara itu, yang jika dilukiskan dengan huruf latin nampaknya sangat sederhana, akan tetapi mengandung makna filsafat ke-Tuhanan yang amat tinggi. Oleh karena demikian tingginya filsafat itu, maka doa mantra (mantrātma) dan padma/ padmasana (baik sebagai bangunan suci maupun sebagai perlengkapan upakara) itu selalu dijadikan media oleh umat Hindu pada umumnya, untuk mengkongkritkan keyakinan (sradha) terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa pada melakukan puja bhakti.
Bhakti artinya cinta kasih. Dengan sujud bhakti, menyucikan pikiran mengagungkan kebesaran-Nya dan menghindari diri dari segala perbuatan tercela digunakan untuk menyatakan cinta kepada sesuatu yang lebih tinggi atau dihormati. Bhakti dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu Aparabhakti dan Para bhakti. (Sukartha, dkk, 2003: 25).
Aparabhakti adalah cinta kasih yang merupakan perwujudannya masih lebih rendah dan dipraktikkan oleh mereka yang belum mempunyai tingkat kesucian yang tinggi. Sedangkan Para bhakti adalah cinta kasih dalam perwujudannya yang lebih tinggi dan bisa dipraktikkan oleh orang yang jñananya tinggi  dan kesuciannya sudah meningkat.
Ajaran bhakti adalah ajaran yang langsung dan riil mencari Tuhan, ajaran alamiah, ajaran yang mudah diterima dan dilaksanakan oleh orang awam. Ajaran yang sejak dari awal permulaan, pertengahan dan akhir tetap bergerak di dalam getaran cinta kasih. Ajaran bhakti adalah ajaran yang mudah dilaksanakan oleh segala tingkat dan sifat manusia. Baik orang miskin, pedagang, orang kaya, pejabat pemerintahan, orang pandai maupun kurang pengetahuan. Karena itu seorang bhakti langsung menikmati buahnya agama, di mana  cinta sebagai alat dan cinta kasih, cinta kepada Tuhan, cinta kepada Alam Semesta Tuhan ini.
Bagi seorang bhakta tidak perlu tahu apakah Tuhan itu baik atau buruk, apakah Tuhan itu kecil atau besar, kuasa atau tidak kuasa, yang penting bagi mereka Tuhan itu adalah yang dicintai. Seorang bhakta mencintai Tuhan bukan karena ingin mendapat imbalan supaya masuk sorga ataupun moksa, karena bagi mereka kebahagiaan tertinggi itu adalah bercinta dengan Tuhan. Bhakti/ bhakta marga menggunakan rasa sebagai sarana, rasa cinta yang alamiah tetapi meluap-luap, rasa cinta yang mengalir seperti aliran sungai yang bergerak dengan deras karena rindunya bertemu dengan lautan. Dapat pula diumpamakan pula seperti tumbuh-tumbuhan merambat yang lemah melihat dengan setianya karya besar dari bawah sampai ke puncak, begitu juga seorang bhakti yang melekatkan diri dengan Tuhan tidak pernah melepaskan diri sekejappun. Walaupun sebagai manusia awam yang tidak tahu apa-apa tetapi dengan bhakti mereka menyatukan diri dengan Tuhan.
Sebagaimana diketahui bahwa manusia adalah mahkluk ciptaaan Tuhan yang mampu menciptakan budaya yang berguna untuk kelangsungan hidupnya. Pada dasarnya tujuan hidup manusia untuk mencapai kelepasan. Hal itu hanya dapat dicapai melalui dengan rasa bhakti, bekerja keras atau berbuat kebajikan dalam hidup ini. Hanya lahir sebagai manusia inilah kita dapat memperbaiki kadar hidupnya untuk menuju taraf hidup yang diinginkan yaitu moksa.  Tanpa melalui hidup atau kelahiran kita tidak bisa untuk mencapai kesempurnaan. Maka untuk itu bersyukur lahir menjadi manusia mendapat kesempatan baik untuk melakukan perbuatan yang baik sehingga pada suatu saat dapat hidup secara kekal dan abadi. Dalam hidup ini, kita dapat menikmati ajaran kesucian yang menuntun umat manusia agar berbuat sesuai dengan norma-norma hukum dan norma-norma agama yang dianutnya. Jadi tujuan hidup adalah berbuat kebajikan yang merupakan titik tolak untuk menuju kelepasan, Sarasamuscaya menyebutkan sebagai berikut:
Paramarthanya pengpenge ta pwa ka temwaniking si dadi wwang durlabha wiya ta, sāksāt handaning mararing swarga ika, sanimittaning tan tiba muwahta pwa damelakena. (Sarasamuscaya, 6).

Terjemahan:

Tujuan terpenting, pergunakanlah sebaik-baiknya kesempatan lahir menjadi manusia ini, sungguh sulit untuk diperolehnya, laksana tangga menuju ke surga, segala yang menyebabkan tidak akan jatuh lagi, itu hendaknya supaya dipegang. ( Pudja, 1980: 12).

Berdasarkan kutipan di atas menjelaskan, bahwa maksud dan tujuan menjalankan dharma selama hidup sebagai manusia karena hanya sebagai manusia itulah seseorang akan dapat berbuat baik  karena manusia dapat membedakan hal yang baik dari yang buruk. Hidup ini dianggap sebagai satu jembatan dan keberhasilan  seseorang memanfaatkan jembatan ini untuk dapat ia masuk ke surga tergantung cara mengaplikasikan dharma. Pernyataan ini mengandung arti perintah dengan segala konsekwensinya, yaitu tidak dilaksanakan penderitaan akibatnya, dan sebaliknya dipatuhi, surga pahalanya.
Ajaran suci agama yang diwahyukan ke dunia dengan perantara para Rsi, merupakan pembimbing manusia untuk mencapai kesempurnaan hidupnya. Di samping itu ada  pula orang-orang yang hidup tentram, selama hidupnya selalu berbuat kebajikan, beramal dengan mengabdi terhadap sesamanya mengenal prikemanusiaan dan prikeadilan. Selain itu ada pula orang-orang yang hidup tenang, terlepas dari tekanan pasang surutnya gelombang hidup duniawi yang menimbulkan nikmat dan duka. Dalam hal inilah dapat dikatakan seseorang telah mencapai moksa.
Berdasarkan uraian di atas, mempelajari dan menghayati serta nantinya dapat diaplikasikan,  karena semua manusia yang hidup yang ada di dunia (alam semesta) ini menginginkan hidup yang harmonis antara manusia dengan Tuhan, antara manusia dengan manusia dan antara manusia dengan alam semesta serta mengajarkan tentang moksa atau kelepasan.
Mendalami Lontar Tutur Parakriya adalah suatu pedoman hidup di dalam menunjang hidup dan kehidupan asalnya dari ciptaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, dimana hidup sebagai mahkluk utama tidak bisa lepas dari pedoman dasar hidup manusia yakni ; a) bekerja artinya sebagai manusia harus berkerja untuk mencukupi kebutuhan hidupnya  berlandaskan dharma sebagai rambu-rambu hidup dalam kehidupan ini,  b) belajar dharma atau tattwa artinya sebagai manusia selalu belajar karena belajar tidak akan pernah berakhir selama manusia hidup sehingga bisa berwiweka, melaksanakan perbuatan baik (śubhakarma) dan menghindari perbuatan kurang baik (aśubhakarma), c) mengabdi dan berbhakti artinya sebagai manusia harus berbhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, leluhur/ orang tua, dan sesama sehingga terjadi keharmonisan, keserasian, keseimbangan dalam kehidupan agar tercipta suasana yang aman, tentram, damai, d) bermasyarakat atau bergaul yang positif, artinya pergaulan menentukan segalanya, salah bergaul misalnya bergaul dengan penjahat, akan tertular tabiat tersebut, untuk itu pilih-pilihlah dalam pergaulan.(Wawancara, Karang: 18 April 2008). Menurut Gautama wawancara tanggal 23 April 2008 menyatakan bahwa cara mengaplikasikan ajaran susila khususnya Catur Pāramitha adalah dengan melakukan Dharma Yajña. Dharma Yajña yang dimaksudkan adalah segala sesuatu berbuatan harus berlandaskan dharma.
Selain itu dengan perbuatan yang benar (susila), seseorang dapat mencapai tujuan yang dicita-citakan. Terkait dengan penjelasan di atas, Manawa Dharmasastara  menyebutkan sebagai berikut :

Tesu samyag warta mano

gacchatya mara lokatam,

yatha samkalpitamccena
sarwam kamansamaśnute. (Manawa Dharmasastra II.5).

Terjemahan:

Ia yang tekun melakukan tugas-tugas yang telah ditentukan ini cara-cara yang benar dengan mencapai keadaan yang abadi walaupun dalam hidup ini sekalipun terpenuhi segala keinginan-keinginan yang mungkin diidam-idamkannnya. ( Pudja dan Sudharta, 2003: 61).

Kutipan  di atas menjelaskan tentang melakukan tugas-tugas yang tidak lepas mengikuti atau menuruti cara-cara yang terdapat dalam usaha untuk mencapi tujuan tertentu yang merupakan salah satu pencerminan ajaran Agama Hindu.
Cara mengaplikasikan ajaran susila dalam masyarakat adalah menekuni sesungguhnya hakikat menjadi manusia agar dapat membedakan mana yang baik dan yang buruk, sebab dilahirkan menjadi manusia harus menjalankan ajaran agama,  sebab bilamana tidak demikian tidak ada gunanya hidup di dunia ini. Hal ini tatkala Dukuh Wanasara memberikan wejangan kepada putranya, I Wayan Cita setelah melakukan kesalahan tidak menekuni ajaran agama dan selalu mengikuti hawa nafsu, berjudi dengan I Rajas, meminta-minta agar tidak bekerja dengan I Tamas dan akhirnya Dukuh Wanasara menitipkan kepada I Satua yang mempunyai budhi sadhu, menjalankan ajaran dharma, belas kasihan. Geguritan Dukuh Wanasara menyebutkan seperti di bawah ini:
I Dukuh mesaur nimbal
Pengampurane sujati
Tongos caine melajah
Matitisang ne satuhu
Tuhuning dadi manusa
Lekad dini
Di gumi sandang kenehang
(Geguritan Dukuh Wanasara, lampiran 54a bait 6).

Terjemahan:

I Dukuh menyela
Yang dapat memaafkan kesungguhan
Adalah kesungguhan dirimu belajar
Menekuni apa yang sesungguhnya
Hakikat menjadi manusia
Lahir di sini
Di bumi ini adalah yang mesti dipikirkan (Medera, dkk,1986: 157).

Dugas cai enu dibasang
Kabobotang  baan i bibi
Peteng tuara nawang galang
Kutus bulan suen ipun
Di subane cai lekad
Maring gumi
Yan tan manut sastra gama
(Geguritan Dukuh Wanasara, lampiran 54a bait 7).

Terjemahan:

Tatkala engkau masih di dalam perut
Dalam perut sang ibu
Gelap tidak melihat terang
Delapan bulan lamanya
Setelah engkau lahir
Di bumi
Kalau tidak menuruti ajaran agama. (Medera, dkk, 1986: 157).

Saurip tuara nawang galang
Kapetengan sai-sai
Nirdon hidup ring jagat
Boya mati boya idup
Boya sato boya jadma
Keto cai
Pineh-pineh apang melah
(Geguritan Dukuh Wanasara, lampiran 54a bait 8).

Terjemahan:

Seumur hidup engkau tidak mengetahui terang
Senantiasa kegelapan
Tidak ada gunanyua hidup di dunia
Karena bukan mati dan bukan hidup
Bukan binatang bukan pula manusia
Demikianlah supaya engkau
Memikirkan dengan baik. (Medera, dkk,1986: 157).

   Menguasai ajaran-ajaran yang terdapat dalam Lontar Tutur Parakriya, maka hendaknya memiliki sifat-sifat sattwam dan mengendalikan sifat rajas dan tamas, seperti: tabah di dalam menghadapi cobaan-cobaan hidup yang penuh dengan suka dan duka, tekun mengerjakan suatu pekerjaan yang bermanfaat bagi dirinya dan orang banyak tanpa memperhitungkan untung dan rugi, selalu melaksanakan dana-punya kepada orang lain yang memerlukannya, baik berupa materi maupun spiritual, selalu taat mempelajari ilmu kesucian dan bhakti serta sifat-sifat mulia lainnya yang sangat bermanfaat bagi dirinya maupun orang banyak.





















                                               BAB V
PENUTUP

5.1 Simpulan
            Sesuai dengan uraian tentang “Ajaran Tattwa dan Etika dalam Lontar Tutur Parakriya” yang telah dipaparkan di atas, beberapa hal penting dapat penulis simpulkan sebagai berikut: 
5.1.1  Ajaran tattwa yaitu moksa adalah dapat tercapai bila seseorang di dalam hidup dan kehidupannya selalu di landasi dengan perbuatan yang digolongkan pada sifat kedewataan yakni perbuatan yang selalu menonjolkan sifat sattwam.
5.1.2    Ajaran etika, yaitu dapat menuntun seseorang di dalam kehidupannya untuk selalu berbuat yang luhur, melaksanakan kebajikan atas dasar Catur Pāramitha, yaitu: 1) untuk dapat berbuat Metri, maka jangan melakukan/ berbuat bencana yang bersifat maut (anta kabhaya) atau jangan membenci, 2) untuk dapat berbuat Karuna, maka pantang melakukan perbuatan yang menyebabkan terjadinya penderitaan, tersiksa, kesengsaraan, atau jangan bengis, 3) untuk dapat berbuat Mudita, maka jangan melakukan perbuatan yang dapat menyebabkan orang lain susah, atau jangan memiliki rasa irihati kepada orang lain, 4) untuk dapat berbuat Upekśā, maka pantang menghina orang lain. Memandang rendah orang lain, menindas orang lain, atau selalu dapat berusaha mengendalikan dorongan hawa nafsu jahat. Tuntunan susila yang mulia dan luhur itu harus diaplikasikan sehingga terjadi keharmonisan antar sesama dan selalu berbuat Śubhakarma dan menjauhi perbuatan yang Aśubhakarma karena jalan itulah sesuai dengan tentunya ajaran Agama Hindu.

5.2 Saran
Penelitian yang dilakukan terhadap Lontar Tutur Parakriya ini masih belum sempurna dengan keterbatasan pengetahuan dan pengalaman sehingga masih memungkinkan ada ajaran-ajaran yang belum tersentuh. Sehubungan dengan hal tersebut, disarankan:
5.2.1    Bagi pemerintah agar lebih memperhatikan kajian teks tradisi semacam ini, karena di samping merupakan warisan dari leluhur  juga di dalamnya terkandung ajaran-ajaran budi pakerti luhur yang berguna bagi masyarakat khususnya generasi muda untuk dapat menjalani kehidupan  sehingga dalam mengambil keputusan atau kebijakan atau pembinaan moralitas generasi muda di masa mendatang  lebih fokus dan tepat sasaran.
5.2.2    Bagi masyarakat, agar tidak pernah melupakan ajaran-ajaran yang terkandung  dalam susastra Hindu sebagai bentuk ajaran agama yang dapat diterapkan atau diaplikasikan  dalam kehidupan sehari-hari.
5.2.3    Bagi lembaga pendidikan yang bernafaskan Hindu, agar lebih memperhatikan kajian teks semacam ini karena ajaran-ajaan yang terdapat di dalamnya dapat diterapkan  sehingga umat Hindu pada khususnya dapat mengetahui dan memahami ajaran-ajaran yang terdapat di dalam Agama Hindu.
5.2.4    Bagi peneliti selanjutnya agar  dapat mengambil obyek kajian yang lebih komprehensif dan tulisan sebagai jembatan informasi dalam mengkaji lontar  yang mempunyai pembahasan serupa.




















ABSTRAK

Agama Hindu adalah bersumber kepada wahyu Tuhan yang terhimpun dalam kitab Catur Veda yaitu Reg Veda, Sama Veda, Yajur Veda dan Atharwa Veda. Mengakui Veda sebagai kitab suci, berarti harus percaya memberi petunjuk tentang wujud Agama Hindu, baik itu tata laksananya, pokok-pokok keimanan dan lain sebagainya yang merupakan penerangan atau obor bagi manusia di dalam mengarungi bahtera kehidupan di dunia atau alam semesta ini, yang penuh suka dan duka. Agama merupakan bagian yang hakiki dari kehidupan manusia, ternyata dapat memberi andil yang besar dalam menuntun manusia untuk menghadapi gelombang kehidupan. Memasuki era modernisasi, satu aspek tersebut tercermin pada tata masyarakat dan hubungan sosial. Ajaran-ajaran Agama Hindu banyak tertulis pada daun lontar yang perlu dilestarikan dengan jalan menggali dan mendalami isinya untuk segera disampaikan kepada umat sehingga dapat membias dikalangan masyarakat, sesuai dengan perkembangan jaman dewasa ini. Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat dirumuskan dua masalah yakni: 1) Bagaimana Ajaran Tattwa dalam Lontar Tutur Parakriya?, 2) Bagaimana Ajaran Etika dalam Lontar Tutur Parakriya?. Sesuai dengan rumusan masalah yang dikemukakan, ada dua tujuan penulisan, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Penelitian ini tentunya memerlukan data yang dipakai dalam pembahasan. Data ini diperoleh menggunakan metode, dan metode ini juga harus tepat agar data yang didapatkan bisa akurat dan mendukung hasil penelitian. Jenis penelitian ini adalah kualitatif karena merupakan penelitian teks atau penelitian pustaka (library research) yang sumber data primernya  adalah  berupa Lontar Tutur Parakriya yang telah ditranskrip ke dalam bentuk naskah/ teks. Studi kepustakaan dan wawancara digunakan sebagai metode pengumpulan data dan selanjutnya dilakukan pengolahan data deskriptif kualitatif.
Sepengetahuan peneliti belum ada yang meneliti Lontar Tutur Parakriya  sehingga hanya berdasarkan pada transkrip naskah/ teksnya saja sebagai tinjauan pustaka. Mengkaji lontar ini juga digunakan landasan konsep untuk menggambarkan permasalahan yang akan dibahas. Di samping itu teori yang digunakan dalam membedah permasalahan ini adalah teori Hermeneutik untuk mencari makna atau ajaran yang terkandung di dalamnya.
            Hasil penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan Lontar Tutur Parakriya, isi ringkas Lontar Tutur Parakriya, isi pokok Lontar Tutur Parakriya yaitu: Ketuhanan, yoga, Tri Guna dan hubungan bhuana agung dengan bhuana alit dalam lontar ini. Sedangkan ajaran yang diteliti adalah 1) ajaran tattwa  merupakan petuah-petuah atau nasehat-nasehat untuk mengajarkan umat Hindu agar bisa mendapatkan kesempurnaan lahir maupun bathin yang kekal abadi (Moksa atau Kenirwanaan) dan 2) ajaran etika adalah menuntun seseorang di dalam kehidupan ini untuk selalu berbuat yang mulia dan luhur, melaksanakan kebajikan atas dasar Catur Pāramitha, terdiri dari: Maitri, Karuna, Mudhita, Upeksā sehingga terjadi keselarasan, keharmonisan, dan keserasian baik terhadap sesama manusia dan berbhakti kepada Sang Pencipta yaitu Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa.























DAFTAR PUSTAKA

LONTAR :    Transkrip Lontar Tutur Para Kriya, Koleksi Gedong Kirtya             Singaraja No. IIIB.601/1.

BUKU  :

Astra, Semadi I Gede, G. Sura, Ida Bagus Gde Agastya, Wayan Musna, Luh Suiti, Wayan Cika, I Gusti Ketut Dalem, 2001, Kamus Sansekerta-Indonesia, Milik Pemerintah Propinsi Bali.

Bungin, Burhan, 2001, Metodologi Penelitian Sosial Format-format Kuantitatif dan Kualitatif, Surabaya: Airlangga University Press.

Cudamani, 1993, Pengantar Agama Hindu untuk Perguruan Tinggi, Jakarta: Hanuman Sakti.

Djarwanto, Djamarah, 1984, Pokok-pokok Metode Reset dan Bimbingan Teknis Penulisan Skripsi, Yogyakarta: Liberty.

Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 2001, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua  Jakarta: Balai Pustaka.

Gulö W, 2002, Metodologi Penelitian, Jakarta: Graznido.

Iqbal Hasan, M, 2002, Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian Dan               Aplikasinya, Jakarta: Ghalia Indonesia.

Kemenuh, Ida Pedanda Putra, 1983, Geguritan Dharma Prawretti, Singaraja, Kantor Departemen Kabupaten Buleleng.

Kleden, Ignas, 1996, Pergeseran Nilai Moral. Perkembangan Seni dan Perubahan Sosial, Jakarta: Pustaka Grafiti.

Oka, Ida Bagus, 1984, Panca Sradha, Denpasar: Parisada Hindu Dharma Pusat.

Oka, Agung I Gusti, 1992, Slokantara, Jakarta: Hanuman Sakti.

Mantra, Ida Bagus, 1997, Tata Susila Hindu Dharma, Denpasar: Upada Sastra.

Mardiwarsito, L, 1981, Kamus Jawa Kuno-Indonesia, Flores: Nusa Indah.
Medera, dkk, 1986, Terjemahan Dan Kajian Nilai Astadasaparwa, Proyek Penelitian Dan Pengkajian Kebudayaan Bali, Direktorat Jendral Kebudayaan Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.

Moleong, Lexy J., 2001, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung:  PT Remaja Rosdakarya.

Muhadjir, 1990, Metodologi Penelitian, Singaraja: Tod FKIP. UNUD.

Ndraha, Taliduhu, 1987, Research Teori Metodologi Administrasi, Jakarta: Bima Akasa.

Proyek Penyuluhan Agama dan Penerbitan Buku Agama, 1988, Upadesa tentang Ajaran-ajaran Agama Hindu, tp.

Pudja, G, 1980, Sarasamuscaya, tp.

Pudja, G, K. Wiana, Ida Bagus Kade Sindhu, 1983, Tattwa Darsana untuk Kelas II PGA Hindu Cetakan I, Jakarta: Proyek Pembinaan Mutu Pendidikan Agama Hindu Dan Budha Departemen Agama.

Pudja, I Gede, 1985, Pengantar Agama Hindu Jilid I untuk Perguruan Tinggi, Jakarta: Mayasari.

Pudja, G, Sudharta, Rai Tjokorda, 2003, Manawa Dharmasastra, Jakarta: Pustaka Mitra Jaya.

Pudja, G, 2005, Bhagawadgita, Surabaya: Paramita.

Redana, Made, 2004, Metodologi Penelitian, Denpasar: Sekolah Tinggi Agama Hindu.

Redana, Made, 2006, Panduan Praktis Penulisan Karya Ilmiah Dan Proposal Riset dilengkapi Contoh Proposal Riset, Denpasar: IHDN.

Simpen, AB W, 1985, Kamus Bahasa Bali, Denpasar: PT. Mabhakti.

Śivānanda, Śrī Swāmī, 2003, Intisari Agama Hindu, Surabaya: Paramita.

Soelaeman, Munandar M, 1995, Ilmu Sosal Dasar, Bandung: PT Eresco.

Somvir, 2003, Niti Sataka, Denpasar: PT. Mabhakti.


Sudirga, Ida Bagus, I Wayan Sumawa, I Nengah Mudana, Ida Bagus Ngurah, Ni Wayan Suratmini, 2004, Widya Dharma Agama Hindu untuk SMA Kelas X, Jakarta: Ganeca Exact.

Sudirga, Ida Bagus, I Nengah Mudana, Ni Wayan Suratmini, I Made Arya, 2007, Widya Dharma Agama Hindu untuk SMA Kelas XII, Jakarta: Ganeca Exact.

Sugiono, 2005, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: CV. Alfabeta.

Suhardana, K.M, 2007, Tri Kaya Parisuda, Surabaya: Penerbit Paramita.

Supartha, Gusti Agung Made, 2003, Geguritan Pandawa Seda, Ketugtug, Loloan Barat, Jembrana untuk keperluan sendiri.

Sukartha, Ketut, Nyoman Sudha Supartha, I Made Sandiarta, Ni Wayan Wiryani, Agama Hindu untuk SLTP Kelas 2, Jakarta: Ganeca Exact.

Sura, I Gde, Ida Bagus Kade Sindhu, Ida Bagus Gde Agastya, 1981, Pengantar Tattwa Darsana Filsafat Jilid I untuk Kelas I PGAH Negeri Denpasar.

Sura, I Gede, Ida Bagus Kade Sindhu, I Gusti Ketut Dalem, 1994, Agama Hindu Sebuah Pengantar, Denpasar: CV. Kayumas Agung. 

Sura, I Gede, 2001, Pengendalian Diri dan Etika Dalam Ajaran Agama Hindu, Jakarta: Hanuman Sakti.

Syaifudin, Aswar, 1998, Metode Penelitian, Jakarta: Rineka Cipta.

Titib, I Made, 1994, Untaian Ratna Sari Upanisad, Denpasar: Yayasan Dharma Naradha.

Triguna IB Gde Yudha, 2000, Teori Tentang Simbol, Denpasar: Widya Dharma Universitas Hindu Indonesia.

Wiryamartana, 1990, Arjunawiwaha, Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Wojowasito, S, 1977, Kamus Kawi-Indonesia, CV. Pengarang.

Zoetmulder, PJ, 1994, Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang, Penerbit Djambatan.

Zoetmulder, PJ, 1995, Kamus Jawa  Kuno-Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

DAFTAR INFORMAN

1.   Nama                     : I Wayan Budha Gautama
Umur                     : 68 tahun
Jenis kelamin         : Laki-laki
Pendidikan                        : Diploma
Pekerjaan               : Penulis Lontar dan Tembaga
Alamat                  : Banjar Mantring Petak, Gianyar

2.   Nama                     : I Made Karang
      Umur                     : 58 tahun
      Jenis kelamin         : Laki-laki
      Pendidikan            : S2
      Pekerjaan               : Tokoh masyarakat/ Kepala Sekolah
                                          Alamat                  : Banjar Belatung, Desa Batusesa, Rendang,             Karangasem

3.   Nama                     : I Gusti Bagus Sudiasta
      Umur                     : 55 tahun
      Jenis kelamin         : Laki-laki
      Pendidikan                        : Sarjana Muda
      Pekerjaan               : Staf Museum Gedong Kirtya, Singaraja
      Alamat                  : Banjar Jero Gusti, Desa Bungkulan, Singaraja.

4.   Nama                     : I Ketut Sideyadnya
      Umur                     : 40 tahun
      Jenis kelamin         : Laki-laki
      Pendidikan            : S1
      Pekerjaan               : Guru Agama Hindu
      Alamat                  : Banjar Undisan Kelod, Desa Undisan, Tembuku, Bangli






































LAMPIRAN-LAMPIRAN























Lampiran 01.

No. IIIB.601/1
Verzameld door: Kirtya
Uit: Tampaksiring (Gianyar)
Ontvangen: 14 Mei 1929
Getikt: 25 November 1941
Door: I Gde Sudira
Nagekeken door: I Gusti Bagus Jelantik



Tutur Parakriya



1b.    Ong Nama Siwaya.

   Parakriya sastrakayajnyah,
   nistayoga nilasini,
vinayo mohayopresni,
saputra Siva mangravit.

Batari Uma mawuwus: Pradana sastra kabeh tan ana mungguh nira ring aji. Ndan dana tan nistayoga nga. wenang tamtamana mangdadiaken kamoksan ya tika tapwan aweruh nira tinakwan anaknira Bhatara Iswara. Rowang nira atakwan  Sang Hyang Kumara, ndan sahopancopacarasara, ikang ling nira patakwan ring Bhatara.

Manasande apurvatat,
savice visakaranam,
mahtapitar srejet srestat,
sarva vastu brevamhime.

Kasihana ranak Batara, warahen sangkaning dadi Batara, apan Batara            Jagatkanta gumawe ikang buwana, nguniweh ikang watek dewata kabeh,         sakari punggung ingulun, ri sangkan Batara-batari gumawe ngulun,
2a.    matangian warahania ngulun. Nahan ling Sang Kumara, Dewa Uwaca.

Ujar batara, lingnira:

Evam putram mahapresnam,
sarva sande ladasanam,
sande tvanging satataga,
vaksiami sranu evidih.

Ngke takwanta kamung Kumara, tan paingania mulana, tan papadan sresnanta ring kadi kami, away sangsaya warahangkwi kita anaku, prayatna ta kita rumangrwa wuwus kami mwang Ki Batari.

Na besmi, na jagenam puy,
na tejo, na camarutah,
na surya, candra, sarvepi,
nata sidantaram bavet.

Tan ana lemah, tan anangjala, tan anang teja muwah angin lawan candra, ditya muwah akasa, tan ana wintang, tan ana kabeh.

na gora, na mega, na geni,
na ratri, na dinantata,
na marma lan avidiutneva,
ati suksman gavet sada.

Tan ana sabda, tan anang mega, tan anang dina ratri, tan angin, tan udan,
2b.    tan ana kilap, tan ana kabeh. Yatika sunya nga. nitya tan kahilangan. Ngkana               ta sangkaning mami purwa. Nahan sangkaningdadi.

Niskala jayate matrah,
matratna danta jayate,
nadanta jayate nadah,
nada vindu samudbavah.

Sakari niskala, ana tan  matra, mijil sangkeriya, sakeng nadanta, ana ta nada mijil sangkeriya, sakeng nada, ana windu mijil sangkeriya.

Vindoh, candrah, samudbavah,
candradiswah samudbavah,
visva triaksara jayantu,
triaksara Brahmajayate.

Brahmapancaksaram buta,
sarva aksara dvarivije,
pancaksara dvaram devam,
vianjana mantra mutamam.

Sakeng windu ana ta ardacandra, mijil sakengriya, sakeng ardacandra ana awiswa mijil sakengriya, sangke wiswa, ana ta triaksara mijil sangkeriya, sakeng triaksara ana ta pancabrahma mijil  sakengriya,

3a.   sakeng pancabrahma ana ta pancaksara mijil sakengriya, sakeng pancaksara    ana ta swara aksara mijil sakengriya, ana ta swara wianjana nga. ya ta mantrotama nga. Nahan ta kramania kamung Kumara.
Svara vianjana tojnyeyah,
sarva de ina digine,
paso de sesu sang yuktah,         
deva murti pratistitah.

Ikanang swara lawan wianjana kawruhananta ya, an    pinaka wak de batara wuwah dewa kabeh, ya ta gelarakenanten ring sodasa         desa, awakakena Sang            Hiang, kawruhana ta anaku.

Samantra savidikramah,
 svarupam Devatah Smaret,       
hrediptamtoladijnyeyah,
prayatna ya Panditasada.

Deyanta wruh irikang dewata kabeh kamung Kumara, samantra-mantra
         kabeh nahan taryanta, kembangn wija, dupa-dipa, gandaksata, idepan taru
3b.    Sang Hiang atinta, prayatna sadanitia ta kita ring deya.

Mang purva kon asta, 
ang daksina kon             asta,
ung utara kon asta.

Ika ongkara, Dewatania ardacandra Mahadewa Dewatania, windu Siwa        Dewatania, mantra Dewa Guru Dewatania. Nahan deya Sang     Yogiswara       magawe yoga, ya ta margining-pada moksah ika.

Ong, cong, jong, bang, nyang
pinakawakning pancawara, wruhanta Kumara.

Wang, tang, dang, dang, gang, yang, lang,
nahan ta mantra pinakwaning saptawara.

 Tang, tang,dang, dang, bang, bang,
 nahan nahan  ta mantra pinaka  sadwara.

 Tang, sang, mang,
 nahan ta mantra awakning pitara.

 Pang, pritivi saniasia.
 Gong, akasasta Devaca,
 surya, candra, pratistena.
 Rong, cong, manantrena caniaset.

Ika mantra pinaka pritiwi. Gong pinakakasa, rong pinaka ditia, cong        pinakacandra ika.

 4a.   Deva Guru pratistanam,
 klong mantram sahavarnakam.

 Ikang mantra klong pinaka ikang guru pada ika.
   
Nandisvara Mahakala
dvaradimo pratistanam,
kong nong mantrana sayuktam,
sanditeh suprayatnatah.

Ikang mantra kong pinakanandiswara, nyong pinaka mahakala. Nahan ta deya Sang Pandita, sumangsipta sira, prayatna ta kamung Kumara.

 Ngaisah purwa wijnyeyah,
 agne jetu Maheswarah,
Brahma midaksinejnyeyah,
neriti Rudra evaca.

Pascimantu Mahadevah,  
vayabiam Sangkarastata,
Visnu utara vijnyeyah,
airsaniam Samburevaca.

Adohara itijnyeyah,
madiancapi Sadasivah,
arda Paramasiva,
itiam Dewa prastititah.

Varmakalanca mretiunca,
trotavisva kamastata,
Pasupatisca satiasca,
pratista marato vudah.

4b.   Ika ta magawe idep ring ati, Iswara ring Purwa, Maheswara agneya, Brahma daksina, Rdra neriti, Mahadewa pascima, Sangkara wayabia, Wisnu utara, Sambhu airsania, Siwatma ring arda, sadasiwa ring madia, Paramasiwa ring arda, Dharma Hiang karuniang purwa lawan gneya, Kala wiantaraning agneya lawan daksina, Mreteyu wiantaraning daksina lawan neriti, Krodha wiantaraning neriti lawan pascima, Wisma wiantaraning pascima lawan wayabia, kama wiantaraning wayabia lawan utara, Pasupati wiantaraning uttara lawan airsania, Satia wiantaraning airsania lawan purwa.

 Evam Devo susatkarma,
 anta etuh yasa kramam,
 sarva Devata tistena,
 sodana sadesastitah.

 A a purvantu sakatah,
 i i daksina evaca,
 u u pascima tojnyeyah,
 ro ro utara saniaset.

Rva mantreti sayuktah,
vidaji vatu lan ukam.

5a.    Deyanta pratista Dewata,  kamung Kumara.

Ong ang Isanaya namah svaha, pur;
ong ang Mahesvaraya namah svaha, a;   
ong ing Brahmane namah svaha, da;
ong ing Rudraya namah svaha, ne;

u u pascima tejnyeyah,
ro ro utara saniaset,
eva  mantrena sang yuktah,
Vidi satvatu sang nemukam;

ong ung Mahadevaya namah svaha, pa;
ong ung Sangkaraya namah svaha, ba;
ong reng Vescave namah svaha, u;
ong reng Sambave namah svaha, e;

nahan ta mantra kamung Kumara.

Le le antara saniasia,
agneya daksine  tata;
e e antarania asia,
daksina   pascima bavet;

o o mantrena sayuktah,
utare pascime niaset;
ah ah utare sang yuktam,
utare purva saniaset;

ong leng darmaya namah svaha,
pur gneya antara;
ong leng kalaya namah svaha,
agneya daksina antara;

ong eng Mretiuve namah svaha,
5b.   daksina neriti antara;
ong aing krodaya namah svaha,
neriti pascima antara;

ong ong visvaya namah svaha,
pascima vayabia antara,
ong ong kamaya namah svaha,
vayabia utara antaram,

ong ang Pasupatiya namah svaha,
utaresania antara;
ong ah satiaya namah svaha,
airsania purva antara.

Madianglongkara  sayuktah,
Sadasiva  stati-stati,
eva mantreta sayuktah,
Deva antarantu Panditah.
Ong hlong Sadasivaya namah svaha, ma.

nahan ta Sang Pandita deya mahawesmarana, kamung Kumara.

Isavarnanca svatanggam, 
mahesanumrani tata,
Brahmavarnanta raktana,   
Rudraloha dravantata.

Pitavarnanca madevah, 
Sangkarakana kadravah,
Kresna Visnusca sajnyeyah,
Sambu andavarnarakam.

Megavarnanca raktanam,
Mretiuvarnanca kresnata,
kroda magiscavarnakah,
darma santavarnanikah.

Visvabana puspavarna,
ngkamavarnasca kicakam,
6a.    Pasupatisca candrasca,
         satia dumrencavarnakam.

         Sivam apatikavarnanca,
         madie yogah pratistatah,
         evavarnanca Devanam,
         bruhi putra sasanukam.

De yan ta magawe yoga kamung Kumara, rupa Batara Sangkara kadi mas,  rupan Batara Pasupati kadi ulam, rupan Batara Satia kadi kukus, rupan Batara sadasiwa kadi spatika, rupan Batara Iswara kadi ira, rupan Batara Parameswara kadi pila, rupa Batara Brahma rakta, rupa Batara Rudra siama. Nahan ta de yan ta magawe yoga kamung Kumara.

Purvam ongkara vijnyenam,
namasuhanta yojitah,
vijantu carana mantram, 
hrasva dirgaplutantata.

 De yan ta manguniaken mantra raswa dirgapluta, ong adinia.
 Kumara swahan kania uwaca.

 Matakwan Sang Kumara lingnira:

 Namapate  videh karma.
 Sivavresada karanam,
 sarva sandeya asanam,
 Sivajnyanam prabavanam.

6b. Raksananingulun akakarma Widi, pawarah batara ring ulun, ika   sandeyaningulun, lah ilangakena de batara tekaping Siwajnyanam pawarah batara ring ulun.

 Ujar Batara lingira;

 sranu putra mahedevam,
 punahamantra saniaset,
 atakramavi Devaksie,
 pancaksarantuye jitah.

Nahan  mantra pancaksara pawarah kwa ring kita kamung Kumara muwah   kita Batari sakrama-laksanania.

Purva daksinania sia,
samantrena savarnatam,
madie Pandita yogajnya,
pancaksarantuyo stitah.

Gelaraken ta lima: pur.da.pa.u.ma lawan warnania.

Nakaro Bhagavan Sivah,
makaro Brahma evaca,
sikaro Mahadevasca,
vakaro Visnu rucate,

yakaro Sivavijnyeyah,
pudarike puti stitah,
Devaniastam Sadasivah,
moksa pada mavapenoyat.

7a.    De yan ta magawe yoga, wehanta umunggweng padma,

         ong nang Iswaraya namah svaha,
         ong mang Brahmane namah svaha,
         ong sang Mahadevaya namah svaha,
         ong vang Visnuye namah svaha,
         ong yang Sivaya namah svaha,
         nang, pur, mang, da, sing, pa, vang, u, yang, ma.

         Mangkana  Sang Yogiswara magawe yoga.

         Punah mantrena sang yuktah,
         madiapun darita stitah,
         amava iti sajnyeyam,
         srana putra pvayatnatah.

         Nahan ta mantra waneh rengenta, tiga lwirnia: ang ung mang, umunggwing padma katiga ya. 

         Pundarita trikonasta,
         mang mantra purva sang titah,
         ong mantrenaca utara,
         ang daksinasia saktitah.

         Ikang mantra mang, purwa kon asta, ikang mantra ang, daksina kon asta, ikang mantra ung, utara kon asta.

         Mang devasca Mahadevah,
         ang Rudra Devatasmaret,
         ung Sangkarasca Devasca,
         trayo Deva savarnakam.

 De yan ta magawe smarana.
 Ong mang Mahadevaya namah svaha,

 pita warnanira,

 7b.   ong ang Rudraya namah svaha,

 anta rakta warnanira,

 ong ung Sangkaraya namah svaha,

 kanakadrawa warnania.

 Nihan ta gawe yoga ring tengah saking hredaya.

 Mulakante satatvajnya,
 trinadiyo jitam bavet,
 sahretam tirta mevanca,
 adi angga mahamretam.

Ikanang tunduk kapitakep, trinadi tatwanika, ya tirta Gangga nga. Brahma,    Wisnu, Iswara tatwanira.

 Sarva aksaranteta devah,
 pancaksara mudahretam,
 pancaksaram, triaksaram,
 triaksaranam, tuyaksaram.

 Ekaksara mudahretiyu,
 triaksaro iyamotamam,
 ongkara paramojnyeyah,
 nyaranamokse mapnuyat.

Pira kari wisesaning aksara kabeh, pancaksara pinakawisesania, wisesaning  pancaksara, triaksara; wisesaning triaksara, ongkara; ikang ongkara ya marganing anemwaken kamoksan kamung Kumara.

 8a.  Ardacandrasca vindusca,
         nada-nadanca mevaca,
         vindu matramayam devam,
         saevo vija mutamam.

        Ikang nada, nadanta, windu, ardacandra, ongkara pasamuhania, sedeng  wisesaning mantra kabeh. Mangkana kamung Kumara.


 Evam ongkara tatvaham,
 pancadeva sarvanakam,
 sasabda ongkarojnyeyah,
 Deva srenoti sanmukam.

Ikang nadanta, nada, windu, ardacandra, ongkara, pada masabda tikang   kelima, ya ta rengwaken kamung Kumara.
   
 Ongkara laksanam tatvam,
 vijnyeyah mahamevaca.  

 Ikanang Ongkara pinakawakku kamung Kumara.
   
 Ongkara tinabavam,
 mangkaro ivinamaya.

 Tan dadi ane yan tan ana, Ongkara yan tan ana aku, ana aku ana Ongkara,                 matangian ta ring aku magawe yoga.
   
Ongkaraksara murtinam,
nada-nadanta vindukam,
suksma ta ya midam    jnyatva,
saeva paramartavit.

8b.    Ikanang windhu, nada-nadanta, katiga pada suksmania, jawat wruhika tatelu, ya ta paramartawit; wruh ring paramarta nga.

 Netrena milviatnena,
 valarka saba besvaram,
 hredayantam gatam dresta,
 atmanam Vidi sanmukam.

 Netra pramakena prayatna tonta, teja kadi rupa Sang Hiang Aditia lwirnira;               sira ta atma ngaranira ingidopen  ring antahredayanta.
   
 Anggulastaya tarudam,
 vidiayudam prabasvaram,
 dresta lalata ngarneca,  
 natantam vijivesvaram.

 Nayana tutupi ring anggula, ton tang teja kadi kilat lawan wangkawa             lwirnia, karange ta sabdaning nadanta kamung Kumara.
   
Nasagranam itadrestam,
nirmalo dunca vaksiate,
amreta joti sadrestam,  
vindu Dewanggi sanmukam.

9a.    Ikang teja kaja katon ing granasika, ya ta windu Dewa, amreta joti satananika.
   
Tanetra tusampidia,
sasabdo jvalano matam,
visruyate mahanadah,
ganta  sabdanta akasah.

Kadi sabda ganta sabdania, karengen ing akasa, ikang nadanta kadi sabdaning ampuhan  gorantara tan pegat.

 Nadanta siavadetasmin,
 suksma-suksma taram padam,
 sunia-sunia taram padam,
 vindu devam varanane.

Ikang ongkara Rudra dewatania, Ardhacandra Mahadewa Dewatania,  mantra dewa guru dewatania, nahan Sang Yogiswara magawe yoga, ya margining pada moksa ika.

 Devaguru svavarnanca,
 akasa meva darmata,
 parama varna devanca,
 varakasia mahaprabam.

 Sadasiwa sia varnanca,
 palarkasa tadasvarah,
 Siva spatika varnanca,
 lohadravasia sudrakam.

9b.    Batara Guru kadi apa lwirnira. Tan pawarna sira. Batara Paramasiwa kadi  rumaning anak-anakaning aksi. Batara Sadasiwa rupanira kadi Sang Hiang Raditia wahu mijil lwirnira. Batara Rudra kadi wesi drawa rupanira.

Punah mantrena sang yuktah,
pancaksara stusania set,
pancaksara  vijijnyeyah,
sranuputra prayatnatah.
Ong, reng, jong, bang, nyang.

Nahan ta mantra lima, pinakawakning pancawara, wruhanta kamung Kumara.
 Saptavarasia sanasia,
 samantram savidi sranu.
 Tang, tang, dang,
 vang, nang, yang, lang,

 nahan ta mantra pawakning saptawara.
   

 Sadvara mantra sanasia,
 sahavijenate sranu,
 tang, tang, dang,
 bang, nang, bang;

nahan ta mantra sadwara,

pitra mindinia set mantram,
vang, sang, tang,   

nahan ta mantra pawakning pitara.
   
 Pitra prasivi caniasia,
 ong akasa statevaca,
 surya candra pratistena,
 rong cong mantrena caniacet.

 10a.    Ikang mantra wang pinakapretiwi, ikang mantra gong pinakakasa, ikang     mantra rong pinakaraditia, ikang mantra cong pinaka candra ika.
   
 Devaguru pratistanam,
 klong mantram sahavarnakam.

 Ikang mantra klong pinakagurupada ika.

 Nadmisvara mahakalo,
 dvaradi motra tistatah,
 kong  gong mantrana sayuktah,
 panditeh prayatnatah.

Ikang mantra kong pinakanandaswara, ika mantra gong pinakamahakala,  nahan ta deya Sang Pandita sumangsipta sira, prayatna ta kamung Kumara.
   
 Epam buvana sang siptam,
 samantrena vadih sranu,
 Devatah sacaran dadiat,
 Pandite paragopitam.

Samangkana lwir kang mantra, karengen denta kamung Kumara, sahawidi  mantra carunia, gopitantaya de Sang Pandita.
   
 Uptistitilinantam,
 sarva Deva pralinakam,

10b.  ika ta kabeh kamung Kumara, yeka pangawak uptistiti praline kramania.
   
 Evancanmani sarvani,
 maksistavara janggamah, 
 agrehia teve sarvatam,
 sarva karma  drata mretah.

Sakweh nikang sarwa janma, yatika ilang ring temuning antiapralaya,  kamung Kumara.
   
 Anitianci vitam loke,
 anitia drevia sancayah,
 anitia priya sayogah,
 anitia janma masanam.

 Ikang urip mwang drejanma tantan lana, tan ananing lok, priya sayoga ikang             janma, yeka tan lana swabawania.
   
 Pritivi codake linam,
 udakam teja silinam,
 teja linan tatan bayu,
 bayu linantuke piva.

Ikang lemah matemahan we, we ilang matemahan teja, teja ilang matemahan  bayu, bayu ilang matemahan akasa.
   
 Kama visvanca linanca,
 visva linanca krodatah,
 krodam kananca mretiunca,
 mretiu linantu kalate,

 kala linanca darmeda,
 11a.    darma linantu satiake,
 satia linanca sangkare,
 sangkaro pasupatike,

 pasupatisca brahmanam,
 brahma visnu salihate,
 iswara rudra linanca,
 rudra linanca devake,

 devasca muru meliye,
 muru masca sivegavet,
 sivarcanam bayelinam,
 nirbananca anamake.

 Ana makanca suksmatve,
 pada moksancaye vidi,
 sarva sangkara nasante, 
 nasan nasandeyan tusmakam.

         Batara Kama ilang matemahan wiswa, Batara Iswara ilang atemahan kroda,   Batara Kroda ilang atemahan mretiu, Batara Mretiu ilang  matemahan kala, Batara Kala ilang matemahan darma, Batara Darma  ilang matemahan satia, Batara  Satia ilang matemahan sangkara, Batara Sangkara ilang atemahan  pasupati, Batara Pasupati ilang atemahan brahma,  Batara Brahma ilang
11b.  matemahan wisnu, Batara Wisnu ilang  matemahan iswara, Batara Iswara ilang matemahan  rudra, Batara Rudra ilang matemahan mahadewa, Batara Mahadewa ilang matemahan purusa, Batara Purusa ilang matemahan Siwa, Batara Siwa ilang matemahan nirbana, Batara Nirbana ilang matemahanira sraya,  samangkana lwirnia la laksana kamung Kumara. Yan sampun wruh irika nista tumemwing kanirbanan nga.

 Kumara ewaca, matakwan Sang Kumara ring Batara, lingnira:

 Siva pada mahasuksmah,
 Acintia maneda budinih,
 nugrahianca majesanam,
 adrestanca bravihime.

Atianta mahasuksmanam nganasraya, ling pada Batara ring kami, ndah  tumungaha ulun irika, nugrahia tan pamramana, ya ta matangian warahulun ring  drestanta, margania tan pangguha de ranak Batara. Mangkana ling Sang Kumara.
   
 Iswara ewaca, sumahur Batara lingnira:

 Na durana pastam,
12a. nantarana vahistata,
 nadah nodam sadatapi,
 viapakam  veti putratah.

Ikang inapada kamung Kumara, tar madoh, tan maparek, tar  ri eng, tar ning         anda, tar ring jero, tar ning sor, tar ning luhur. Nihan kalingania sadawia pakaringanda kabeh kamung Kumara.

 Pinaka sunia ning sunia, pinakasuksma ning suksma, lwih tan papada             kalingania.
 Matakwan Sang Kumara, lingnira:

 Sarva jnyana mahesanah,
 sarva tatvanca bavitah,
 inajnyanantu suksmatva,
 ati suksmam aci titam.

Ikang jnyana kabeh lawan tatwa, Batara majaraken ndia ikanang nirbanan- pada wekasning jnyana, suksmaning suksma ya, acin titing, tan kaucap dening ulun.
  
Mati suksma mahajnyanam,
bruhi tatvanca evadoh,
Siva prasadasuksmatvam,
na grehitama sanggata.

         Ika mahajnyana suksma ya, ndan  Batara wruh  i kalingania, matangian
12b.  sangsayan ulun, apan ta kapangguh pawarah Batari ring ulun, tan kahidep dening ulun.
  
Maheswara ewaca, majar Batara ring Sang Kumara, lingnira:

Eh putra, eh Devi-deva,
sarva sandeya nasanam,
vaksiami sranu suksmancah,
mohita kiati paniate.

Ikanang sandehanta, irika jnyana tan katemunia, suniata suniata sarva tatatvam, sahevamara mascivam. Manah suniata, cita sunyata, yatat suniata, ika kabeh ya ta kapangguh ikang parama niskala denta, ndia lwirnia jnyana sunia nihan.  Na cinta-cinta na atma,  na cinta-cinta karmani, na cinta-cinta sah tatvam. Kalingania ikang cita tania cetana ika, sadanitia karma, ya ta ajnyana sunia nga.
  

Nopta drestih rateh ruda,
cendriya navi pascatah,
sivasca rabina datva,
tasmat moksa  kamuciate.

13a.  Ikang aksi karwa, grana karwa, tutuk manah tan wineh, umidep siwisayania, ya tika yoga nidra nga. kapangguhaning Siwa kridandon ika kamung Kumara.
Sang Kumara ewaca, matakwan mwah Sang Kumara, lingnira:
Yoginayena muktantat,
mahasangkara sang smaret,
virakta sarva bogepu,
siva santi pravodakah.

Ika Sang Resi winarah de Batara irikang jnyanasti, ya ta matangian kapangguh ikang  kamoksan denira, mari masarira. Wenang yan tininggalaken boga kabeh, dumeh nihan mangkana, sangkania asih Batara.
  
Iriya etunia Iswara uwaca, muwah lingnira:

Sahalambang nayogasca,
nira lambana suniatam,
dvaye dosanti moksatam,
satiejet pandito sada.

Ikanang sahalambana umidem, wastu tan ana ikang pada; nira lambana umidem, wastu ana tambana; ikang kamangkana rwa, ya teka aryakena denta.
  
13b.  Yogijnyana siamoksatah,
sarva baveh vinasiatah,
moksam bavani Pandita,
ditiam suksmayam tincitah.

Ikang jnyana suksma cintiaya, ya nosesena, ati suksma bavet  divam vasesatah. Ikang patakwanta ring kami kamung Kumara mwang kita Batari. Wus tan pasesa ikang jnyana kabeh, ya ta sampun kawarah den mami ring kita mahasuksma kabeh.
  
Kumara waca, lingnira:

Sarva Deva pralinani,
sarva sastra vinasatah,
ati suksma bavet Diviam,
niratsaran tiratmakam.

Ikanang ati suksma jnyana pawarah Batari ring ulunira aksaraya, ya ta kalinaning Dewata kabeh, ya ta sinangguh wekasning parama suksma, niratmaja, luput sakari atma.
  
Siva nugraha suksmatvam,
ta vasande anasanam,
sarva tatvana sandeham,
Siva nugraha karanam.

         Ikanang jnyana anugraha Batara ring ulun, mahasuksmaya, ilang
14a.  sandeyaning ulun ring sarwa tatwa kabeh, de pawarah Batara, sang karya nugraha Batara etunia.
  
Dewa uwaca, mawarah Bataramu:

Lokatah saptadvipanca,
sarvatah sagara satata,
andasiante tataloke,
etat buvana laksanam.

Ikanang saptaloka, saptapatala, saptasagara, ya aneda laksana nga. kamu Kumara

Bur bvah  svah mahalokam,
svah loketapa satiakam,
jana lokenca saptake,
lokeste parikirtitah.

Buh loka nga. Nabi. Manusa loka nga. Bwah.loka nga. weteng, ya candra ditya nga. Swah loka nga. Ati Wisnuloka ya. Mahaloka nga. mulakanti ya Brahmaloka. Janaloka nga. Cangkem; Rudraloka, tampoloka nga. Irung, ya Mahadewaloka. Satyaloka nga. sirah, ya Siwaloka nga.  Nihan sinangguh saptaloka ring sarira nga. kamung  Kumara.

14b.  Talam sutalar nitalam,
santalam totate vacah,
atalam clovatalam,
tala talani saptata.

Tala nga. tlapakaning suku, ya Mahaniraya nga. sultala nga. walakang tlapakaning suku; ya Niraya nga. pogeloganing tlapakaning suku; ya ta aweci nga. santala nga. wisia maharorawa ngarania atala nga. jejengku, ya rorawa arania. Wetala nga. pupu ya, Yamaloka ngarania; tala-tala nga. let, ya kumbaka ngarania. Nahan ta Saptapatala ring sarira kramania.

Jambudvipanca sangkanca,
kusakronca tatevacah,
salmalice gomevanca,
puskaradvipa saptada.

Tumpuk sangkadwipa nga. ungsilan; kusadwipa nga. ampru; kroncadwipa nga. limpa; salmadwipa nga. paru-paru; gomedadwipa nga. pusuh-pusuh; puskaradwipa nga. ati. Nahan tang saptadwipa aneng sarira kamung Kumara.

Jambudvipa Mahadeva,
sangkadvipa  svarabavet,
kusadvipasca sangkaro,
kroncadvipastu Rudrakah.

15a.  Salmalisca bavet Brahma,
gomedah Visnu rasiate,
paskaranca Sivojnyeyah,
etadvipasia laksanam.

Ikang jambudwipa Mahadewa Hiangnia; sangkadwipa Iswara Hiangnia; kroncadwipa Rudra Hiangnia; salmalidwipa Brahma Hiangnia; gomedadwipa Wisnu Hiangnia; puaskaradwipa Siwa Hiangnia. Nahan ta saptadwipaneng sarira malih Hiangnia.

Kururania iranieva,
ari kirana muciate,
nara nasteva saptastu,
parvatatah parititah.

Kuruparwata nga. lambung, Satia Hiangnia. Rasiaparwata nga. susu Sambu Hiangnia. Iraniaparwata, susukiwa, Pasupati Hiangnia. Ndalaparwata nga. bahu tengen, Kala Hiangnia. Ariparwata nga. bahu kiwa, Mretiyu Hiangnia. Kiranaparwata nga. irung, Kama hilangnia. Bhataraparwata nga. ulu, Siwa Hiangnia. Nahan tang Saptaparwata aneng sarira.

Lavanat sira dadisca,
sapinet surasah tatah,
ikava dusta itietah, samudrah sapakirtitah.

15b.  Lawana samudra nga. aringeting muka. Swadong samudra nga. slesma. Nahan tang saptasamudra aneng sarira kamung Kumara.

Madanacar narmada tirtam,
budi sinduh tatevaca,
kanta males mreta gangga,
jiwayanca Saraswati.

Caksu sarira tatitam,
srot rusvesta dadi tata,
Siva nandismreta pano,
saptatirta pratistitah.

Narmada tirta nga. manah: Sindhu tirta nga. budi; Gangga tirta ngaran kanta mula; Saraswati tirta nga. jiwa. Ndarawati tirta  nga. talinga; Siwanadi tirta nga. wunwunan; Siwaprasta nadi nga. tungtunging rambut. Nahan ta Sapta tirta aneng sarira kamung Kumara.

Kadaling puspa sang yuktah,
isano vetisa tirtah,
darma madie satistitam,
Isvarostantati stitah.

Mulaning pusuh-pusuh, Isa Hiangnia; Mudita wetunia; ring tengah,  Dharma Hiangnia; Metri wetunia; ring tutuk, Iswara Hiangnia; Karuna wetunia.

Brahmahandavahanadi,
Visnurasavahastata,
Pranavandamahadevah,
Triodevasamantitah.

16a.  Iti ana wahanadi, Brahma Hiangnia, panasning ambek wetunia. Ikang rasa wahanadi, Wisnu Hiangnia, ing ambek wetunia. Ikang prana wahanadi, Mahadewa Hiangnia, Upeksa wetunia. Nahan Dewatania kamung Kumara.

Bayu tribeya vijnyeyah,
ana bayu Sivasmretah,
pranabayu stitah,
Deva Paramasiva stitah.

Bayuning ana wahanadi, Siwa Hiangnia, santusti wetunia. Bayunira sawahanadi, Sadasiwa Hiangnia, niwiapara wetunia. Bayuning prawahanadi, Paramasiwa Hiangnia, ning wikalpa wetunia, kamung Kumara.

Bayutram anggatojnyeyah,
Devaguru samanvitam,
sanggatam purusajnyeyah,
sarva mva pisama stitah.

Patemuning bayu telu, Dewaguru Hiangnia, sira ta mahapurusa, pinakatmaning sarwa atma kabeh kamung Kumara.

Hreditah Rudrah,
Sangkaram hreda madiagah,
anta hredistu kamastah,
tridevastah hredi stitah.

16b.  Ikang witning ati, Rudra Hiangnia, ica wetunia; i tengah Sangkara Hiangnia, sama wetunia; tungtung Smara Hiangnia, ragan wetunia. Nahan ta Hiangning ati.

         Visva stitobavet santah,
         kroda petabavet stitah,
         samudrano sakalancah,
         mretiu runastitobavet.

Ikang paru-paru, Wiswa Hiangnia, santa wetunia. Ikang ampru, Kroda Hiangnia, sahastita wetunia. Ring ususta Kala Hiangnia, rajasa wetunia. Ring pangelen, Mretiu Hiangnia, tamaya wetunia.

Hredi mulestitodevah,
Uma Durga dayostitah,
daksine grehande satah,
Devi Dvaya samagatah.

Nahan Devah stita nayuh,
sarva sandi ganastitah,
pitah mangsa Mahadevah,
veta mangsa titah Devah.

Tvik Visnu ri tisar matah,
Nandisvara mahakalam,
pada dvayo samastitah,
candra ditia cacak suso.

Deha Deva sarira bret,

         Pinakasumsum, Siwa. Pinakakatawulan, Iswara. Pinakadaging, Brahma;
17a.  pinakarah, Rudra; pinaka otot, Basukih; pinakasandi, naga; pinakalamad-lamad, Sambu; pinakawaduk, Mahadewa; pinakakulit, Wisnu; pinakasuku ro, Nandiswara Mahakala; pinakasiku rwa, Candraditia. Nahan ta dewata ring sarira kamung Kumara.

Pretivi manggavajnyeyah,
apah Rudira evaca,
tejo rasmibavet jnyatva,
bayu prana sarira bret.

Akasa mevata dvaram,
pancabuta saman vitam,
saptavara stata romah,
sadvara pitata bavet.

Pertiwi pinaka daging, apah pinakarah, teja pinaka rasmi, bayu pinakaprana, akasa pinakadwara, Saptawara ring Sadwara pinakarambut mwang ulu.

Babayuvah pancadaproktah,
prana pana samanatrah,
udanabiana kedveca, sastitah sarva de isu.

Muke prano gune pano,
samane hredi sang stitah,
unano murdi vijnyeyah,
biana sarva  nggasandisu.

17b.  Lima kwehning bayu, lwirnira: prana, apana, udana, biana, samana. Nahan ta bayu munggwing sarira. Ikang bayu prana munggwing let, sisapana metwing ati, saudana metu ring siwadwara, sibiana metu ring sarwa sandi. Nahan ta bayu metwing sarwa sandining sarira.

Jagram Brahmanta ring saptam,
padam svapenantu danavah,
susupenanca padam Rudrah,
padam turya Mahesvaram.

Pinaka jagra Brahma, pinakasupta Rudra, pinakaturya Maheswara.

Angga ratata Brahma,
mano Visnu tatevacah,
irota budi vijnyeyah.
Iti triantasia laksanam.

Brahmana kaangkaran, Wisnu pinakamanah, Iswara pinakabudi. Nahan tang trianta karana.

Rajo Rudra mitikiatam,
tamo Sangkara evaca,
satva mava Mahadeva.
Iti triguna laksanam.

Rudra pinakarajah, Sangkara pinakatamah, Mahadewa pinakasatwa. Nahan ta Dewataning Triguna.

18a.  Cita jnyana Sivojnyeyah,
kevaganca Sadasivah,
parah-parah makevaliam.
Iti triakevalia muliateh.

Siwa pinakacita, kewalia suniata Sadasiwa, sunia tara kewalia, Paramasiwa. Nahan ta triloka kewalia nga.

Etad buvana sang siptan,
sarva tatva samar pitam,
karanam svarga moksisiat,
jnyana sarasa masatah.

Yeki Bhuana sang sipta nga. ika ta kabeh margan Sang Yogiswara manemwakan kamoksan mwang swarga lewih. Yan sampun wruh ring tatwania mwang ring sang gaweyah.

Jnyana vitatva vitiogi,
svarga moksa palarcana,
sarva sastra visesana,
janasia dipa utamam.

Wruh pwa Sang Yogiswara  ring jnyana tatwa, ya marganing anemuwaken kamoksan. Mangkana palaning pangwruhaken ring swa tatwa, wenang mangdadiaken swarga kamoksanan.

Tungleh na pungsakam jnyeyah,
arya vastri nigadiate,
18b.  urukung capumanitiam,
panirvan pandurevaca.

Vas pumana ulastrica.
Itiete sadvaratrat.

Ikang tungleh kedi katatwania, ikang aryang anakbi katatwania, ikang urukung laki katatwania. Paniron wandu katatwania, was laki katatwania, maulu istri katatwania. Nahan katatwaning sadwara. Urukung, maulu, brahma, tungleh, paniron, wisnu, was, aryang, mahadewa katatwania.

Sukro, sanistriojnyeyah,
divangkaro ravipuman,
klivam saniacarejcatam,
brahmacari bavet budah.

Sukra coma, stri Hiangnia, wrespati, anggara lakia, buda sukla Hiangnia.


Aditiasca lere raktam,
sveta, sukrona, sangkarah,
budanca mika varnancah,
pitavarna vrespatinca,
kresnam sanam scerojnyeyah,
saptavarasca vanakah.

Aditia, anggara, sukra, soma, petak rupanira; buda sami ika warnanira; wrespati kuning warnanira. Nahan lwirning ulu tatwania.

Sram vat sangkusa minasca,
sangkasca pada astata,
cakra, dvayasca, suryasca,
padma manie pratistitah.

19a.  Gunung, purwa; angkus, agneya; mina, daksina; sangka, neriti; tahag, pascima; cakra, wayabia; dwaya, utara; aditia, airsania; padma, madia; sahawahana, yeka postika nga.

Bajragni danda moksalam,
pasangkusastata,
gada, trisulasta pita sada,
padma madie pratistitam.

Bajra, purwa; geni, gneya; danda, daksina; moksala, neriti; pasa, pascima; angkus, wayabia; gada, utara; trisula, airsania; padma, madia; yeka raksana nga.

Dvaya angkusa tata cakram,
sangkastra pataahstata,
trivaksa ardacandrasca,
bajrasca svatito ciate.

         Dwaya, purwa; angkusa, gneya; cakra, daksina; sangka, neriti; pataah, pascima; gunung, wayabia, ardacandra, utara; bajra, airsania; padma, madia;
19b.  sahawahana yasanta nga.

         Purva candra tata ditia.
         Dvajasca kala sangkuso,
         svascino lendi vahakam,
         tula padmasca moksakam.

         Soma, purwa; aditia, gneya; dwaja, daksina; diu, neriti; angkus, pascima; curiga, wayabia; dupa, utara; itala, airsania; padma, madia; iwaka, gneya; yeka moksaka nga.
         Bajra angkus angkava kurma,
         nagaceva tata katam,
         vraksa sangka trisulasca,
         padmasca vaalibavet.

         Bajra, purwa; angkus, agneya; masa, daksina; naga, neriti; talaga, pascima; waringin, wayabia; sangka, utara; trisula, airsania; padma ring madia, sahawahana ya bijaruna nga. Iti buwana sepa.

         Nihan kawruhaning raga sarira, ma. Ong sabda guru, ong sabda Batara, ujar Dewa Batara Siwa nga. ya aku sarining  rat buwana kabeh, ya wisesa ring
20a.  rat buwana, ya aku anugraning rat buwana, u u ong ong nama svaha, ong  labdawara sawuwusku, ulun sang Hiang Labdawara, ulun Sang Hiang Waralabda, ulun Sang Hiang Cintiamanik, ulun Sang Hiang Mandiswara amunpuning rat buwana kabeh. Nahan t pamandiswara nga.

         Ana geni ring jeroning toya, sajeroning geni awasta prenah, o mangko aneka tulis tan ana papane, mangko papanta tan patulis neki, darma muruk mangko dadi ta sira asmi, awas surupaning surya, surupaning candra mangko, surupaning sagara lawan danu ika, awas pawananing pati, tambanganing urip. Si Dukuh alon angucap: ”Punapi   winulatan tresna?” Dukuh Wisesa sumahur: ”Punapi sawaning geni muwah sawaning toya?” ”ta mangko ikang pritiwi timbangan, akasa mangko  timbangan kakayoneki, samalih sawanin
20b.  angin mangko.” Sumahur Dukuh Wisesa: ”Duk tan ana gumi ika, punapi bakale neki?” ”Toya dadi nyanyad ika, nyanyade dadi pretiwi mangko, nging tan pasumbuta punika. Cawuningjo tan pawarsa, tunjung tan patalaga neki, macan petak tan punika lawan be julit putih mangko,  sagara tan patepi ta punika, ana Dukuh Dekih arane punika, rame dadi Dukuh mngko, ikang ina dadi mulia, dadia sari, ana sugih dadi nista, ana nista dadi sugih. Punapi karsane mangko Dukuh Dekih. Sumahur Dukuh Wisesa: ”Wenten kuda ngerap neki ring panedengan mangko”, Ana kayu aywan, ikang kayu neki aji Dukuh iku maletik ta mangko ikang kayu matemahan magerit dadi geni. Iti arsa timbangan.

         Ong astutiya namah svaha.

         Telas.






2 komentar: