NILAI KEHIDUPAN DALAM LONTAR TUTUR PARAKRIYA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Masyarakat Bali khususnya yang beragama Hindu dikenal
sebagai masyarakat yang taat dan patuh melaksanakan ajaran agamanya, segala
aktivitas dalam berbagai corak dan ragam selalu dilandasi oleh ajaran Agama
Hindu, sehingga dikenal sebagai
masyarakat yang religius. Hal ini terlihat jelas dalam segala aktivitas atau
kegiatan dan usahanya untuk mencapai kesejahteraan jasmani dan rokhani serta
mencapai kebahagiaan yang abadi. Tujuan hidup umat Hindu adalah mendapatkan kebahagiaan lahir dan
bathin, Moksartham Jagadhita (Punyatmadja,
1984: 83). Kebahagiaan bathin yang
terdalam adalah bersatunya Ātman dengan Brahman, yang disebut moksa
artinya: kebebasan, kemerdekaan. Merdeka atau
terlepas dari ikatan karma,
kelahiran, kematian dan belenggu maya/ penderitaan duniawi. Untuk mencapai
tujuan tersebut manusia tidak lepas dari dua hal yang saling bertentangan, yaitu
rwabhineda: baik-buruk, siang-malam,
benar-salah, selalu terjadi tiada kuasa manusia melawannya (Netra, 1994: 37).
Demikian pula halnya
dalam setiap perbuatan, selalu ada perbuatan baik dan perbuatan buruk, yang
dapat membedakan perbuatan ini hanya manusia, sebab manusia adalah makhluk
tertinggi ciptaan Tuhan. Tuhan memberikan pedoman hidup kepada umat-Nya melalui
ajaran agama, agar manusia dapat membedakan perbuatan yang baik dan perbuatan
yang buruk. Agama Hindu adalah agama yang tertua di dunia hingga kini masih berkembang serta mempunyai pengaruh yang amat
luas pada seluruh aspek kehidupan manusia. Ini disebabkan karena ajaran Agama
Hindu yang tertuang dalam kitab sucinya mempunyai keluwesan dan dapat
menyesuaikan dengan perkembangan jaman.
Pada
garis besarnya sumber ajaran Agama Hindu dapat dibagi menjadi dua yaitu sumber ajaran
tertulis dan tidak tertulis. Sumber ajaran yang tidak tertulis meliputi sila atau etika yang telah diterima
secara umum oleh orang bijaksana. Sistacara
adalah tradisi setempat yang dijalankan sebagai bagian dari kepercayaan Agama
Hindu, dan atmanastuti merupakan
suatu perbuatan yang dapat memberi
kebahagiaan dan dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan dharma.
Sedangkan
sumber ajaran Agama Hindu yang tertulis bersumber dari Veda. Veda merupakan
pengetahuan suci yang maha sempurna, kekal abadi. Ada dua jenis dalam Veda yaitu Veda Śruti dan Smrti. Kaitannya antara Śruti dan Smrti, Veda Śruti yang paling dulu ada barulah Smrti. Veda yang menjadi sumber yang
paling utama untuk mengatur tingkah laku umat Hindu baik sebagai makhluk
individu maupun sebagai anggota masyarakat.
Sesuai dengan namanya, Veda adalah wahyu Tuhan, bukan buatan
manusia. Walaupun Smrti merupakan
hasil ingatan para maha Rsi, namun
isinya tidak bisa diragukan. Baik Śruti
dan Smrti keduanya menjadi pegangan
bagi Agama Hindu.
Sloka berikut ini akan mempertegas
pernyataan di atas, yaitu :
Śrutistu
vedo vijneyo
dharmaśastram
tu vai smrtih
te
sarvarthesvanamasye
tabhyam
dhamohi nirbabhau. (Manava Dharmaśastra II.10).
Terjemahan :
Yang dimaksud dengan Śruti, ialah Veda dan dengan Smrti adalah dharmasastra,
kedua macam pustaka ini tidak boleh diragu-ragukan kebenarannya mengenai apapun
juga karena dari keduanya itu hukum. (Pudja dan Sudharta, 2003: 63).
Memahami
Veda bagi orang kebanyakan adalah
sangat sulit disebabkan karena ajarannya yang amat dalam, luas, bahasa, dan
sifatnya yang sangat rahasia. Untuk itu
diperlukan suatu cara tertentu untuk menerapkan pada masyarakat. Veda itu disalurkan kepada masyarakat
melalui pustaka suci yaitu Itihasa
dan Purana yang sekaligus sebagai
alat bantu untuk mempelajari dan memahami isi Veda. Sarasamuscaya menyebutkan,
antara lain :
Ndan
Sanghyang Weda, paripūrnakena sira makasādhana sanghyang Itihasa, sanghyang
Purana, apan atakut sanghyang Weda ring akedik ajinya, ling nira, kamung hyang,
haywa tiki umara ri kami, ling nira mangkana rakwa atakut. (Sarasamuscaya,
39).
Terjemahan:
Adapun Veda
itu untuk menjadi sempurnanya melalui jalan (mempelajari) Itihasa, Purana, sebab merasa takut Veda
itu kepada yang sedikit ilmunya, sabdanya, ”Engkau, tuan, jangan engkau ini mendekati
kami” sabdanya demikian sebab rasa takut. (Pudja, 1980: 27).
Sloka di atas menjelaskan
bahwa Veda dapat dipelajari dengan Itihasa dan Purana. Itihasa itu
memuat cerita-cerita sejarah kepahlawanan dengan lakon yang menarik, dan
melalui cerita ini dimasukkan ajaran-ajaran suci yang terdapat dalam Śruti dan Smrti.
Sedangkan dalam Purana adalah
pustaka-pustaka yang memuat ajaran-ajaran suci dalam bentuk dongeng dan
cerita-cerita sehingga sangat menarik perhatian pembaca. Walaupun demikian Itihasa dan Purana serta kitab-kitab lainnya tetap bersumber pada Veda sebagai penyebarluasan ajaran yang
penuh rahasia dapat dimengerti, dihayati oleh umat Hindu yang pemikirannya
masih sangat sederhana.
Selain
Veda sebagai sumber ajaran Agama
Hindu, juga terdapat dalam sastra-satra agama seperti lontar-lontar yang merupakan sumber ajaran agama Hindu khususnya
yang berkembang di Bali, jumlahnya tersebar di perpustakaan formal maupun
koleksi pribadi. Ada kalanya lontar-lontar
yang masih terpendam dimasyarakat yang mungkin
pemiliknya meninggal dan lontar
tersebut diwariskan kepada anaknya yang tidak berminat untuk mendalami isinya,
sehingga lontar tersebut tidak
mendapat perhatian.
Bilamana diamati secara
seksama bahwa sastra agama yang berbentuk lontar,
merupakan hasil karya sastra yang mengandung ajaran Agama Hindu. Oleh
karenanya, sastra-sastra tersebut
memerlukan pemeliharaan yang baik agar tidak cepat rusak, lapuk atau mungkin
terjual kepada orang-orang yang tidak berminat mendalami ajaran agama. Oleh
karena itu pentingnya keberadaan lontar dikalangan
masyarakat Hindu dalam mempelajari dan mendalami ajaran agama, maka perlu digalakkan dan dikembangkan
penggalian lontar yang masih
terpendam.
Salah satu lontar yang dikaji untuk dijadikan karya
ilmiah adalah Lontar Tutur Parakriya, menguraikan tentang terjadinya Alam Semesta, Panca Aksara, Tri Aksara, Eka Aksara, Kamoksaan, Catur Pāramitha, Tri Guna,
mengenai Utpti, Sthiti, Pralina,
yaitu bahwa semua yang ada di alam Nirbana.
Nirbana dilukiskan suatu alam yang tidak jauh, tidak dekat, tidak di atas,
tidak di bawah, tidak diluar dan juga tidak di dalam. Selain itu juga menjelaskan tentang Sapta Loka, Sapta Patala, Sapta Dwipa, Panca Bayu dan dewa-dewa
yang ada dalam tubuh manusia.
Demikianlah lontar mempunyai peranan penting dalam
kehidupan beragama, maka perlu untuk dilestarikan dengan jalan menggali isi
dari lontar tersebut untuk segera
disampaikan kepada umat yang sesuai dengan perkembangan jaman dewasa ini.
Selanjutnya sebagai generasi penerus harus mampu mempertahankan apa yang telah
diwariskan oleh nenek moyang, agar tidak mengalami kepunahan dan agar ajeg sepanjang jaman.
1.2 Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang
permasalahan yang telah diuraikan diatas tentang Lontar Tutur Parakriya, maka rumusan permasalahan dapat dikemukakan
sebagai berikut :
1.2.1 Bagaimanakah ajaran tattwa dalam Lontar Tutur Parakriya?
1.2.2 Bagaimanakah ajaran etika
dalam Lontar Tutur Parakriya?
1.3 Tujuan
Penelitian
Setiap tindakan yang dilakukan oleh manusia sudah
tentu mempunyai maksud dan tujuan-tujuan tertentu dengan harapan dapat terwujud sesuai dengan rencana. Berkaitan dengan hal
tersebut, maka dalam penelitian ini tujuan yang ingin dicapai penulis adalah
sebagai berikut:
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah
untuk menggali, melestarikan, mengembangkan dan mengkaji tentang ajaran tattwa dan etika dalam Lontar Tutur Parakriya. Dengan demikian
hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan bagi pengembangan ilmu sastra
yang ada kaitannya dengan Lontar Tutur Parakriya ini.
1.3.2 Tujuan Khusus
Secara khusus, tujuan yang ingin
dicapai adalah untuk meningkatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang ajaran tattwa dan etika dalam Lontar Tutur Parakriya, yaitu :
1.3.2.1 Untuk
mengetahui ajaran tattwa dalam Lontar Tutur
Parakriya.
1.3.2.2 Untuk mengetahui ajaran etika dalam Lontar Tutur Parakriya.
1.4 Manfaat Penelitian
Pentingnya penelitian merupakan suatu harapan-harapan
yang nantinya dapat berguna. Setelah diadakan penelitian ini, diharapkan agar
hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat baik untuk peneliti itu sendiri
maupun untuk orang lain. Sehubungan dengan hal tersebut, manfaat penelitian
menyangkut dua hal yaitu manfaat teoretis dan manfaat praktis.
1.4.1 Manfaat Teoretis
Manfaat
teoretis, memberikan sumbangan pemikiran yang positif dalam upaya pembangunan
ilmu pendidikan khususnya pada pemahaman Lontar
Tutur Parakriya.
1.4.2 Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari
penelitian ini dapat bermanfaat bagi peneliti lain yang berminat terhadap
masalah yang sama maka hasil penelitian dapat dijadikan salah satu referensi
demi ketuntasan penelitian selanjutnya.
1.5 Metode Penelitian
Kata metode berasal dari
bahasa Yunani metodos atau bahasa
latin methodus, yang selanjunya dapat
diuraikan menjadi kata Meta dan Hodos. Kata Meta berarti menuju, melalui, sesudah, mengikuti, dan Hodos berarti jalan, cara atau arah (Sudarto,
1997: 41 dalam Redana, 2004: 1). Dengan demikian kata metode dapat
didefinisikan sebagai cara atau jalan untuk mencapai tujuan tertentu. Cara
untuk mencapai tujuan tersebut tentu saja dilakukan dengan cara-cara yang
bersifat ilmiah menurut sistem tertentu. Metode penelitian merupakan suatu
usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan.
Dengan demikian metode penelitian adalah alat untuk mengambil kesimpulan,
menjelaskan dan menganalisa masalah yang sekaligus merupakan alat untuk
memecahkan masalah tersebut atau dengan kata lain merupakan formulasi atau
perwujudan dari metode berpikir. Buku lain menyebutkan metode penelitian adalah
strategi umum yang dianut dalam pengumpulan dan analisis data yang diperlukan,
guna menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi. Ini adalah rencana pemecahan
bagi persoalan yang sedang diselidiki. (Arief Furchan, 1982: 50 dalam Redana,
2004: 88). Sehubungan dengan hal tersebut di atas metode yang digunakan dalam Lontar Tutur Parakriya, sebagai berikut:
1.5.1 Jenis Penelitian
Penelitian
yang berjudul: Ajaran Tattwa dan
Etika dalam Lontar Tutur Parakriya
termasuk jenis penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif berusaha
mengungkapkan gejala secara menyeluruh dan sesuai dengan konteks (holistik-kontekstual) melalui
pengumpulan data dari latar alami dengan pemanfaatan diri peneliti sebagai
instrumen kunci (Redana, 2006: 249). Kirk dan Miller dalam Moleong (2001: 3)
memberi definisi bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu
pengetahuan sosial, yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia
dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam
bahasanya dan dalam peristilahannya.
Berdasarkan
pengertian di atas, maka dalam penelitian ini pengkajian terhadap Lontar Tutur Parakriya sebagai sasaran (obyek) penelitian dilakukan
dengan menganalisis ajaran tattwa dan
etika secara mendalam sehingga diperoleh hasil yang memadai.
1.5.2 Data dan Sumber Data
Menurut
Bungin (2001: 123) data adalah bahan keterangan tentang sesuatu obyek. Apabila
penelitian menggunakan wawancara dalam pengumpulan datanya, maka sumber data
tersebut informan yaitu orang yang merespon atau menjawab pertanyaan-pertanyaan
peneliti, baik pertanyaan lisan maupun tertulis. Penelitian kualitatif data
penelitian bersifat langsung karena peneliti senantiasa melakukan proses
pengamatan dalam menggali dan menangkap makna yang terkandung dalam data
penelitian. Adapun data yang digunakan dalam kegiatan penelitian, secara umum
dikenal ada dua jenis data, yaitu :
1.5.2.1 Data Primer
Data
primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan langsung dilapangan oleh
orang yang melakukan penelitian atau yang bersangkutan yang memerlukannya
(Iqbal, 2002: 82). Data primer juga disebut data asli. Penelitian ini yang diteliti adalah Lontar Tutur Parakriya yang telah ditranskrip ke dalam naskah/ teks
oleh pihak terkait untuk menghindari kerusakan lontar tersebut, dan inilah yang digunakan peneliti sebagai sumber data primer.
1.5.2.2 Data Sekunder
Data
sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh orang yang melakukan
penelitian dari sumber-sumber yang telah ada. Data ini, biasanya diperoleh dari
perpustakaan atau dari laporan-laporan peneliti terdahulu (Iqbal, 2002: 82).
Data sekunder ini disebut juga data tersedia. Sehubungan dengan hal ini data
sekunder dari penelitian ini adalah data-data yang diperoleh melalui buku-buku penunjang yang isinya
relevan dengan ajaran tattwa dan
etika.
1.5.3 Metode Penentuan Informan
Metode penentuan subjek
penelitian (informan) merupakan metode yang
dipergunakan untuk menentukan subjek atau individu yang kiranya dapat
memberikan informasi/ keterangan terkait dengan permasalahan yang akan
diteliti. Penentuan subjek penelitian dipilih dengan teknik bola salju (snowball sampling), yaitu teknik yang
menggunakan informan kunci tokoh masyarakat (Sugiyono, 2005: 56). Caranya,
pertama-tama peneliti meminta bantuan kepada tokoh masyarakat untuk menentukan
siapa sebaiknya yang dapat dimintai keterangan berkaitan dengan penelitian ini,
setelah didapatkan beberapa informan, selanjutnya para informan ini secara
berangkai dimintai pertimbangan untuk menentukan informan yang lainnya. Begitu
seterusnya sampai diperoleh sejumlah yang dianggap cukup yaitu ditandai dengan informasi yang didapat
dirasa telah memadai.
1.5.4 Metode Pengumpulan Data
Penggunaan metode pengumpulan data adalah
usaha pertama yang dilakukan oleh seorang peneliti untuk mengumpulkan data-data
yang ada sangkut pautnya dengan permasalahan yang akan dibahas. Untuk mendukung
jalannya penelitian, ada beberapa hal yang dipersiapkan yaitu dengan menyiapkan
instrumen penelitian yang diartikan sebagai ”alat bantu” merupakan sarana yang
dapat diwujudkan dalam benda. Misal berupa pedoman wawancara, lembar pengamatan,
mempersiapkan sumber-sumber data seperti buku-buku. Menurut Iqbal (2002: 83), pengumpulan data
adalah pencatatan peristiwa-peristiwa atau hal-hal atau keterangan-keterangan
atau karakteristik-karakteristik sebagian atau seluruh elemen populasi yang
akan menunjang atau mendukung penelitian. Jenis-jenis metode pengumpulan data
yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.5.4.1 Metode Studi Kepustakaan.
Metode Studi Kepustakaan
adalah suatu cara untuk memperoleh data, dengan jalan mengadakan penelitian
kepustakaan, seperti melalui membaca, menulis, mengutip materi yang berhubungan
dengan masalah dalam penulisan ini (Muhadjir, 1990: 64). Tujuan dari metode kepustakaan
ini adalah untuk mengetahui secara detail dan memberikan kerangka berpikir,
khususnya referensi yang relevan mengenai teori-teori, memberikan gambaran
secara lengkap dengan menggunakan sumber atau penelusuran kepustakaan untuk
mendapatkan informasi secara lengkap untuk menentukan tindak lanjut dalam
mengambil langkah penting kegiatan ilmiah, diantaranya adalah buku utama dan
buku penunjang.
Metode studi kepustakaan
dilakukan dengan membaca dan mempelajari hasil-hasil yang telah dipublikasikan
menjadi buku-buku dengan cara membuat catatan, menyusun dan memformulasikan
dengan masalah dalam penelitian ini. Metode ini penulis gunakan untuk membantu
mendapatkan informasi tentang hal-hal yang berhubungan dengan Ajaran Tattwa dan Etika dalam Lontar Tutur Parakriya.
1.5.4.2 Metode Wawancara.
Wawancara adalah bentuk
komunikasi langsung antara peneliti dan responden. Komunikasi berlangsung dalam
bentuk tanya-jawab dalam hubungan tatap muka, sehinga gerak dan mimik responden
merupakan pola media yang melengkapi kata-kata secara verbal. Karena itu,
wawancara tidak hanya menangkap pemahaman atau ide, tetapi juga dapat menangkap
perasaan, pengalaman, emosi, motif, yang dimiliki oleh responden yang
bersangkutan (Gulö, 2002: 119). Pengertian wawancara juga dikemukakan oleh
Moleong (2001: 135) yaitu percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu
dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban
atas pertanyaan itu. Sedangkan menurut Iqbal (2002: 85), wawancara adalah
teknik pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan langsung oleh pewawancara
kepada responden, dan jawaban-jawaban responden tersebut dicatat atau direkam.
Wawancara merupakan suatu cara untuk mengumpulkan data dengan jalan tanya jawab
sepihak yang dikerjakan dengan sistematik dan berlandaskan kepada tujuan penelitian.
Kegiatan ini adalah suatu proses interaksi dan komunikasi.
Jadi pengertian wawancara
dapat disimpulkan sebagai suatu metode pengumpulan data yang dilakukan untuk
mendapatkan informasi secara langsung atau lisan dengan mengungkapkan
pertanyaan-pertanyaan pada para responden. Metode ini penulis gunakan untuk mendapatkan
informasi Ajaran Tattwa dan Etika
dalam Lontar Tutur Parakriya.
1.5.5 Metode Pengolahan
Data.
Data yang dikumpulkan dari penelitian harus diolah
sehingga diperoleh keterangan yang berguna. Selanjutnya data yang diolah
tersebut, dianalisis dan disajikan. Dengan demikian dapat digunakan oleh siapa
saja terutama dalam mengambil keputusan dan simpulan. Apabila data sudah
dikumpulkan dan diolah kemudian dibuat analisis-analisis, maka dapat ditarik
simpulan yang berguna bagi peneliti sebagai dasar untuk membuat keputusan.
Sedangkan
proses analisis data yang berguna untuk menarik kesimpulan secara sederhana
dapat dijelaskan, bahwa data yang telah terkumpul, dikomparasikan dengan konsep
atau teori yang ada, kemudian disajikan di dalam bentuk karya ilmiah (Ndraha,
1987: 131). Dengan demikian dapat diketahui, bahwa peneliti mengkaji
gejala-gejala umum dari variabel penelitian, untuk diteliti kemudian ditarik
kesimpulan yang disajikan dalam karya ilmiah.
Sedangkan dalam melakukan analisis data, peneliti
menggunakan metode deskriptif kualitatif.
”Deskriptif” artinya suatu metode
pengolahan data secara sistematis (Djarwanto, 1984: 22). Sedangkan kualitatif
adalah data yang tidak berupa angka. Dengan demikian metode analisis data deskriptif adalah suatu cara pengolahan
data yang bertujuan untuk memberikan deskripsi mengenai subjek penelitian
berdasarkan data variabel yang diperoleh dari sekelompok subjek yang diteliti
dan tidak dimaksudkan untuk pengujian hipotesis (Syaifudin, 1998: 126).
Metode pengolahan data analisis deskriptif ini, dilakukan dengan cara
menguraikan, menggambarkan atau melukiskan keadaan penelitian melalui
keterangan-keterangan yang didapat dari informan. Setelah data keseluruhan
diolah, maka kegiatan selanjutnya adalah menganalisis data lebih lanjut dan
hasil analisis tersebut disusun berdasarkan sistematika secara terperinci,
sehingga pada akhirnya diperoleh kesimpulan yang bersifat umum.
Setelah mencari dan mengumpulkan data, maka
langkah selanjutnya adalah menganalisis data atau mengolah data yang telah
terkumpul itu. Metode pengolahan data atau analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu metode deskriptif
adalah suatu cara pengolahan data yang dilakukan dengan cara menyusun secara
sistematis sehingga diperoleh suatu kesimpulan umum. Metode ini dilakukan
dengan cara mengolah data yang telah terkumpul, menguraikan secara sistematis
sesuai dengan gambaran data yang diperoleh dalam penelitian terhadap naskah,
sehingga maksud dan artinya dapat dipahami dengan jelas. Mendeskripsikan secara
sistematis berarti menyusun dengan menggunakan aturan-aturan tertentu. Sehubungan
dengan penelitian ini, penulis berusaha untuk mencari informasi yang
sebanyak-banyaknya dan menjelaskan mengenai Ajaran Tatwa dan Etika dalam Lontar
Tutur Parakriya.
BAB II
LANDASAN
KONSEP DAN LANDASAN TEORI
2.1 Landasan Konsep
Konsep: 1. rancangan atau
buram (surat dan sebagainya); 2. ide atau pengertian yang diabstrakkan
dariperistiwa konkret; 3. gambaran mental dari objek, proses atau apapun di
luar bahasa, yang digunakan akal budi untuk memahami hal-hal lain (Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 2001: 520).
Konsep adalah: suatu kata atau lambang yang luar biasa pentingnya,
menggambarkan kesamaan-kesamaan dalam berbagai gejala yang berbeda,
(Sulaeman,1995: 11). Konsep adalah suatu abstraksi yang dipergunakan oleh
peneliti sebagai building block, untuk membangun proposisi dan proposisi yang
kelak diharapkan dapat menerangkan dan memprediksi suatu fenomena. Sebuah
konsep merupakan satu kesatuan pengertian yang saling berkaitan (Sunyoto Usman,
t.t: 3 dalam Redana, 2004: 44). Menurut
Nan Lin merumuskan konsep sebagai : … a term which has been assigned some specific semantic meaning
… Konsep adalah istilah atau simbol yang menunjuk pada suatu pengertian
tertentu. rambu-rambu lalu lintas adalah simbol, dan simbol itu menunjuk pada suatu pengertian tertentu yang perlu dipahami dan
dipatuhi sebagai suatu peraturan. “sekolah”
adalah istilah, dan istilah ini mengingatkan pada suatu yang konkret seperti
gedung, guru, murid, pelajaran, dan sebagainya (Gulö, 2002: 8).
Berdasarkan
konsep-konsep di atas, maka dapat disimpulkan landasan konsep yang dimaksud
dalam penelitian ini adalah untuk memecahkan masalah penelitian. Di samping itu
juga memuat uraian sistematis tentang pemikiran yang ada hubungan dengan penelitian yang dilakukan.
Peneliti mencari pengertian-pengertian yang relevan dengan variabel-variabel yang menjadi topik
penelitian ini sehingga diperoleh pemahaman terhadap permasalahan yang
dikemukakan secara jelas.
2.1.1 Ajaran
Ajaran
adalah: segala sesuatu yang diajarkan; nasehat; petuah; petunjuk (Departemen
Dan Kebudayaan, 2001: 15). Kamus bahasa Bali, ajaran adalah: pengajah (Simpen,
1985: 9). Sedangkan Kamus Kawi
(Jawa-Kuno)-Indonesia, ajaran adalah: yang diajari (Mardiwarsito, 1981: 17).
Bertitik tolak dari
konsep-konsep di atas, dapat disimpulkan bahwa ajaran dalam penelitian ini
adalah suatu petuah, nasehat, petunjuk sehingga nantinya ajaran-ajaran tersebut
dapat dilaksanakan dalam kehidupan
sehari-hari.
2.1.2 Tattwa
Buku
Tattwa Darsana, istilah tattwa adalah berasal dari bahasa Sansekerta yang dalam statusnya sebagai noun-masculine mengandung maksud “azas-azas
atau intisari kebenaran sejati (essence/principle-truth)”
(Pudja, dkk, 1983: 14). Sedangkan dalam Kamus Kawi (Jawa-Kuno)-Indonesia, bahwa tattwa diartikan kebenaran,
hakekat, riwayat, ceritra (Wojowasito, 1977: 265).
Berdasarkan
konsep-konsep di atas, dapat disimpulkan bahwa tattwa adalah intisari atau hakekat kebenaran sejati, dalam hubungan
dengan penelitian ini yaitu tentang bagaimana mendapatkan kesempurnaan lahir
dan bathin sehingga akan dapat membantu,
mendidik, membangun diri sendiri agar dapat berpikir secara mendalam,
meningkatkan kewaspadaan, kecerdasan untuk memecahkan suatu permasalahan dalam
kehidupan sehari-hari.
2.1.3 Etika
Etika
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua adalah ilmu tentang apa yang
baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (Departemen
Pendidikan Dan Kebudayaan, 2001: 123). Pengertian Etika dalam buku Agama Hindu Sebuah Pengantar adalah
pengetahuan tentang kesusilaan.
Kesusilaan berbentuk kaidah-kaidah yang berisi larangan-larangan atau
suruhan-suruhan untuk berbuat sesuatu. Dengan demikian dalam etika kita akan
dapati ajaran tentang perbuatan baik yang harus dilaksanakan dan perbuatan
buruk yang harus dihindari (Sura, dkk, 1994:
32). Sedangkan dalam buku Pengendalian Diri dan Etika dalam Ajaran Agama Hindu,
Etika adalah bentuk pengendalian diri dalam pergaulan hidup bersama. Manusia
adalah homo socius makhluk berteman.
Ia tidak dapat hidup sendirian, ia selalu bersama-sama dengan orang lain (Sura,
2001: 38).
Berdasarkan
konsep-konsep di atas, etika ini merupakan ajaran tentang perbuatan baik yang
harus dijalankan dan perbuatan buruk yang harus dihindari. Sehubungan dengan
penelitian ini etika yang dimaksudkan adalah tentang perbuatan yang baik, mulia
dan berbudi luhur yang harus dilaksanakan sehingga nantinya terjadi
keharmonisan, keselarasan dan keseimbangan dalam kehidupan sehari-hari.
2.1.4 Lontar
Kamus Besar
Bahasa Indonesia Edisi Kedua, Lontar:
1. pohon palem yang daunnya dapat ditulisi; Borassus
flabellifer; 2. daun pohon lontar yang digunakan orang untuk menulis cerita
dsb; 3. naskah kuno yang tertulis pada daun lontar
(Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 2001: 45). Sedangkan dalam Kamus Jawa
Kuno-Indonesia, lontar adalah daun palem yang disiapkan untuk ditulis (Zoetmulder,
1995: 608). Kamus Bahasa Bali, lontar berasal
dari kata ”rol-tal artinya don-ental” (Simpen, 1985: 140).
Sedangkan dalam Kalangwan, kata lontar mengalami
metathesis, adalah rontal, yaitu ron ”daun”, tal ”pohon”. Dengan demikian istilah palma lontar berarti palm daun tal
(palma), tetapi kata Jawa Kuno tersebut tidak dipakai lagi (mungkin berasal
dari bahasa Sansekerta ”tala”).
Pada
jaman dahulu di Indonesia khususnya di Bali belum ada kertas, maka daun rontal
inilah yang digunakan sebagai alat tulis-menulis. Umumnya rontal biasanya
digunakan dalam menulis kekawin, parwa,
tutur, kidung, geguritan dan sebagainya. Alat yang digunakan untuk menulis
di atas lontar disebut pengutik atau pengrupak, yang dibuat dari besi baja, pada bagiannya yang runcing
harus berbentuk segitiga agar dapat membuat tebal tipisnya tulisan (goresan). Pengrupak lebarnya kurang lebih 1,5 cm
dan panjangnya sampai 15 cm.
Sehubungan
dengan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan lontar adalah naskah kuno dari daun lontar yang bertuliskan huruf Bali yang memuat ajaran agama.
2.1.5 Tutur
Kamus
Jawa Kuno-Indonesia menyebutkan bahwa kata tutur
itu adalah: (daya) ingatan, kesadaran, lubuk jiwa makhluk yang paling dalam
”budi yang dalam” (tempat persatuan dengan Yang Mutlak), tradisi suci, smrti (sebagai lawan śruti), teks berisi doktrin religi,
doktrin religi (Zoetmulder, 1995: 1307). Sedangkan menurut Wojowasito (1977: 280),
tutur adalah pikiran, ingatan,
nasehat, tuntunan, adat.
Berdasarkan
pengertian-pengertian di atas, maka dapat disimpulkan tutur adalah
pelajaran dogmatis yang diteruskan kepada murid atau seseorang yang memenuhi
syarat. Bila dipandang demikian maka sastra yang dinamakan tutur perlu dipahami dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Di
Bali tutur tersebut dapat digolongkan
menjadi dua golongan yaitu sekala dan
niskala. Tutur yang bersifat sekala
yaitu menyangkut petuah dan nasehat yang wajar dilaksanakan, agar manusia
mendapatkan kesuksesan dalam menjalani kehidupan. Sedangkan tutur yang bersifat niskala adalah nasehat yang menyangkut hal-hal yang tidak nyata,
seperti: ketaatan dalam bersembahyang, tentang penolak gaib dan lain
sebagainya.
2.1.6 Para
Menurut Kamus Sansekerta-Indonesia, kata Para adalah merupakan adjective atau kata sifat yang berarti
lebih giat, kemudian, masa lalu, amat, tertinggi, mulia (Astra, dkk, 2001: 244).
Sedangkan dalam Kamus Kawi-Indonesia,
kata Para adalah datang, pergi,
tujuan ( Wojowasito, 1977: 191). Selanjutnya
kata Para, berarti pembagian yang
umum, misalnya Para Ksatriya, Para Sujana dan lain-lainnya. Sehubungan
dengan penelitian ini, kata Para
berarti mulia.
2.1.7 Kriya
Kata Kriya berarti buatan, pertunjukkan, usaha, pekerjaan, perbuatan,
upacara (Astra, dkk, 2001: 13; Wojowasito, 1977: 141). Jadi dengan demikian
kata Kriya dalam hubungannya dengan
penelitian ini adalah menyangkut tentang kelepasan atau moksa.
Bertitik tolak dari
konsep-konsep di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Lontar Tutur Parakriya adalah lontar
yang berisikan tentang petuah-petuah, nasehat-nasehat yang mulia tentang
kelepasan. Kelepasan (moksa) menurut Tutur Parakriya dapat dicapai dengan
melaksanakan yoga, untuk menghubungakan
diri dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/
Tuhan Yang Maha Esa. Bagi seorang yogiswara
pemahaman tentang konsep aksara dan mantra
pemujaan merupakan suatu keharusan, karena aksara merupakan perwujudan dari
para dewa, yang dihubungkan antara makrokosmos dengan
mikrokosmos sebagai sarana mencapai kesadaran diri dalam kelepasan.
Oleh karena itu hidup jangan sia-siakan dalam mencari bekal,
baik sekala dan niskala, bisa juga dikatakan bahwa petuah-petuah dan nasehat yang
utama patut dimuliakan. Adapun petuah-petuah adalah mengenai usaha peningkatan
kesucian lahir dan bathin. Pada hakekatnya pitutur
atau tutur mengenai kesucian itu
adalah dharma. Dengan tutur seseorang akan dapat memahami cara
atau jalan agar manusia dapat berbudi luhur sesuai dengan ajaran agama.
2.2 Landasan Teori
Landasan
teori adalah merupakan bagian dari penelitian yang memuat teori-teori yang
berasal dari studi kepustakaan yang berfungsi sebagai kerangka teori dalam
menyelesaikan suatu penelitian. Landasan teori paling tidak berisi deskripsi
teori, yaitu uraian sistematis mengenai teori-teori dan hasil penelitian yang
relevan dengan variabel-variabel yang sedang diteliti (Redana, 2004: 49-50).
Snelbecker (1974: 31 dalam Moleong, 2001: 34) mendefinisikan teori sebagai
seperangkat proposisi yang berintegrasi secara sintaksis (yaitu yang mengikuti
aturan tertentu yang dapat dihubungkan
secara logis satu dengan yang lainnya dengan data dasar yang dapat
diamati) dan berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena
yang diamati. Definisi berikutnya dikemukakan oleh Marx dan Goodson (1976: 235 dalam Moleong, 2001: 35) yang menyatakan
bahwa teori adalah aturan menjelaskan proposisi atau seperangkat proposisi yang
berkaitan dengan beberapa fenomena alamiah dan terdiri atas representasi
simbolik dari 1) hubungan-hubungan yang
dapat diamati diantara kejadian-kejadian (yang diukur), 2) mekanisme atau
struktur yang diduga mendasari hubungan-hubungan demikian, dan 3)
hubungan-hubungan yang disimpulkan serta mekanisme dasar yang dimaksudkan untuk
data dan yang diamati tanpa adanya manifestasi hubungan empiris apapun secara
langsung. Teori adalah prinsip-prinsip dasar yang terwujud dalam bentuk rumus
atau aturan yang berlaku umum, menjelaskan hakikat suatu gejala, hakikat suatu
hubungan antara dua gejala atau lebih, relevan dengan kenyataan yang ada dan
operasional, alat untuk penjelasan dan pemahaman, dapat diverifikasi berguna
dalam meramalkan suatu kejadian (Parsudi Suparlan, 1982 dalam Soelaeman, 1995: 14).
Landasan teori merupakan arah atau pijakan bagi
peneliti dalam menelaah suatu masalah. Adapun teori yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
2.2.1 Teori Makna
Menurut
Blumer (dalam Triguna, 2000: 261) merumuskan tiga premis tentang makna, yaitu:
1) manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna yang ada sesuatu itu
bagi mereka, 2) makna timbul dari interaksi sosial sesorang dengan orang lain,
3) makna disempurnakan pada proses interaksi sosial berlangsung.
Makna biasanya dianggap
sebagai sesuatu yang berhubungan dengan kebudayaan atau secara lebih khusus
dengan dunia simbolik, dalam kebudayaan dunia simbolik adalah dunia yang
menjadi tempat diproduksi, disimpan muatan mental dan muatan kognitif (pengetahuan) kebudayaan baik
berupa pengetahuan dan kepercayaan, makna dan simbul-simbul maupun nilai-nilai
dan norma yang ada dalam suatu kebudayaan (Kleden, 1996: 5-6).
Jadi dalam penelitian ini,
teori makna digunakan sebagai pisau bedah untuk mengungkap makna yang terkandung
dalam Lontar Tutur Parakriya.
2.2.2 Teori Hermeneutik
Kata Hermeneutik secara
harfiah berasal dari kata hermeneuein
dalam bahasa Yunani kuno yang berarti ”seni menerangkan makna”, seni memberikan
interpretasi” ( the art of interpretation).
Asal-usul istilah ”hermeneutika” pada masa sekarang lazim dikaitkan dengan kata
”hermes”, nama seorang tokoh mitologi bangsa Yunani yang menurut sumber-sumber
tertulis kuno, ia berperan sebagai pesuruh dewa-dewa
utama yang mempunyai tugas menyampaikan pesan-pesannya kepada manusia (Wuisman,
1996: 52 dalam Redana, 2004: 158). Memahami sebuah teks perlu memahami apa
sesungguhnya penulis atau pengarang ingin dikomunikasikan kepada pembacanya.
Seorang ahli sejarah misalnya, harus benar-benar paham makna yang dikomunikasikan
menurut perspektif waktu dan ruang yang berbeda. Dilthey menggunakan istilah ”emphatic understanding” dalam proses
memahami makna yang sebenarnya dan makna kontekstual (Rickman, 1967 dalam
Redana, 2004: 38). Sedangkan menurut Keller (1984 dalam Redana, 2004: 348) mengemukakan tema dasar dari filsafat
hermeneutika, sebagai berikut :
a. Pemahaman perilaku manusia atau produk secara
interpretatif seperti dalam menginterpretasi
sebuah teks;
b. Semua interpretasi itu hanya berlaku dalam waktu perspektif waktu
dan ruang;
c. Interpretasi melibatkan pembukaan diri terhadap teks melalui atau
dengan cara selalu mempertanyakannya;
d. Interpretasi dilakukan dan dibatasi hanya menurut situasi diri,
sehingga hasil interpretasinya tidak mesti dapat digeneralisasikan secara umum.
Teori Hermeneutika ini
penulis gunakan untuk mengetahui/ membedah Ajaran Tattwa dan Etika dalam Lontar
Tutur Parakriya.
BAB III
TINJAUAN UMUM LONTAR TUTUR PARAKRIYA
TINJAUAN UMUM LONTAR TUTUR PARAKRIYA
3.1 Deskripsi Lontar Tutur
Parakriya
Lontar Tutur Parakriya
adalah karya sastra klasik turunan lontar asli Ida Pedanda Keniten
dari Tampaksiring (Gianyar), dan disalin ke dalam lontar sesuai aslinya
oleh I Ketut Kaler dari Br. Paketan, Singaraja serta dikoleksi oleh Museum
Gedong Kirtya, Singaraja pada tanggal 14 Mei 1929 dengan jumlah lampiran terdiri dari
duapuluh lembar, panjang 50 cm dan lebar 3,5 cm dengan No. III B. 601/1, dimana
III B merupakan kode tempat, 601 adalah jenis lontar dan 1 dalah nomor keropak. Keadaan lontar ini terpelihara dengan baik karena di Museum Gedong Kirtya
Singaraja ada pegawai khusus yang dipekerjakan untuk merawat lontar agar warisan budaya tidak punah
dimakan zaman. Tempat penyimpanan lontar
disimpan pada rak kaca agar ada sinar matahari sehingga lontar tidak lembab dan tidak cepat rusak. Lontar Tutur Parakriya terdiri dua bahasa
yaitu Sloka Sansekerta yang diterjemahkan ke dalam bahasa Kawi (Jawa Kuno). Lontar Tutur Parakriya kemudian ditranskrip
ke dalam naskah/ teks yang berjumlah tigabelas halaman oleh I Gde Sudira pada
tanggal 25 November 1941 dan diperiksa kembali oleh I Gusti Bagus Jlantik. Keadaan
naskah inilah yang tidak begitu baik yaitu kertas sudah mulai agak rusak dan
hanya diketik memakai kertas yang tipis. Selain itu, hal ini juga dimungkinkan
karena seringnya naskah tersebut dipinjam untuk disalin atau difotocopi. Lontar Tutur Parakriya ditulis mulai
angka 1b sampai 20a. Untuk 1a biasanya tidak ditulis karena ditinjau dari segi
filosofis mempunyai makna bahwa manusia berangkat dari kekosongan, kemudian isi
dan akhirnya kembali ke kosong, sehingga pada akhir lontar selalu diberi lembaran kosong. Tetapi jika lontar itu berakhir dengan huruf a maka
tidak perlu lagi diberikan lembaran kosong dibelakangnya (Wawancara, Gautama:
23 April 2008). Lontar Tutur Parakriya
dimulai dengan kalimat Ong Nama Siwaya,
Parakriya sastrakayajnyah, nistayoga nilasini, winayo mohayopresni, saputra
Siwa mangrawit dan diakhiri
dengan kalimat Sumahur Dukuh Wisesa: “Wenten kuda ngerap neki ring
panedengan mangko”, Ana kayu atita
punika, gumuling ta sira ring
pritiwi, dadi maletik ikang kaywan, ikang kayu neki aji Dukuh iku maletik ta
mangko ikang kayu matemahan magerit dadi geni. Iti arsa timbangan. Ong astutiya namah swaha.
Telas.
3.2 Isi Ringkas Lontar Tutur Parakriya
Lontar Tutur Parakriya menguraikan tentang percakapan antara Bhatara Iswara kepada Sang Hyang Kumara. Diawali permintaan
dari Bhatari Uma agar Sang Hyang Kumara berkenan menanyakan
kepada Bhatara Iswara tentang ajaran
yang mengantarkan sesorang menuju moksa.
Selanjutnya Sang Hyang Kumara bertanya mengenai asal mula
kejadian yang dinyatakan bahwa segala sesuatu yang ada berasal dari Ida Sang Hyang Widhi/ Tuhan Yang Maha
Esa yang diistilahkan dengan niskala.
Dari keadaan niskala kemudian timbul sesuatu yang berwujud namun tanpa
ukuran sehingga disebut matra. Dari matra tersebut kemudian
menyusul berturut-turut nadha, windu dan ardhacandra yang
kemudian menimbulkan pusat keadaan yang disebut dengan wiswa.
Selanjutnya dari wiswa muncul aksara yang meliputi konsep-konsep Triaksara,
Pancabrahma dan Pancaksara. Aksara bersangkutan meliputi suara dan wyanjana yang merupakan
perwujudan dari para dewata. Dengan perwujudan dewata seperti itu, maka kepada
para pendeta dianjurkan agar dalam pemujaan senantiasa dilengkapi dengan sarana
kesucian yang terdiri dari bunga, biji, beras, dupa, lampu dan air cendana.
Penggunaan perlengkapan tersebut sejalan dengan pengertian tentang kesucian
wujud Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan
Yang Maha Esa yang dinyatakan dalam berbagai media diantaranya adalah dalam ongkara. Perwujudan Tuhan dalam hubungan
lain terdapat dalam hubungan antara dewa
dengan arah mata angin.
Dikatakan bahwa sesungguhnya jalan menuju kebebasan abadi yang disebut
dengan “marganing anemu kamoksan” adalah pemutaran aksara yang utama
sebagai sasaran yoga dalam wujud Ongkara.
Yang dapat dijabarkan kedalam Triaksara, selanjutnya kepada Pancaksara
dan segala macam aksara keramat. Dengan bagian keramatnya pada nadha, windhu,
dan ardhacandra sebagai tujuan dari pemusatan pikiran. Pemusatan pikiran
akan tercapai dengan sempurna melalui tehnik pemejaman mata, karena dengan
demikian akan tampak sinar yang sangat suci dan kesunyian. Di samping itu
disebutkan pula mantra-mantra seperti
mantra Pancawara, Sadwara, Saptawara. Hidup ini tidak
kekal, lahir dan tumbuh di tanah yang kembali kepada air, kemudian kepada
sinar, selanjutnya kepada angin, yang akhirnya kepada angkasa. Pernyataan
tersebut dilandasi dengan pengertian tentang adanya persatuan antara tubuh
dengan dewa sebagai lambang persatuan
kosmos, antara lain: Saptaloka, Sapta
Patala, Sapta Dwipa (bhumi), Saptaparwata, Sapta Tirtha. Selanjutnya dalam rumusan tenaga
kehidupan disebutkan: pada pangkal jantung berada Dewa Isa yang menimbulkan
sifat toleransi, pada bagian tengah jantung berada Dewa Dharma yang menimbulka sifat suka bersahabat, pada mulut
berada Dewa Iswara yang menimbulkan
sifat kasih sayang, bahan makanan Dewa
Brahma yang menimbulkan semangat hidup, pada bahan rasa berada Dewa Wisnu yang menimbulkan sifat
prilaku, pada bahan tenaga berada Dewa
Mahadewa yang menimbulkan sifat simpati. Mengenai Panca Maha Bhuta yang dihubungkan dengan tubuh manusia disebutkan: Pertiwi menjadi daging, Apah menjadi darah, Teja menjadi sinar, Bayu
menjadi nafas, Akasa menjadi dwara. Ada juga rumusan Panca Bayu yaitu Bayu Prana, Bayu Apana, Bayu Udana, Bayu Biana, tentang Sapta
Pada, Tri Anta Karana, Tri Loka. Dewanya Tri Guna disebutkan: Dewa
Rudra sebagai rajah, Dewa Sangkara
sebagai tamah, Mahadewa sebagai sattwam.
Bagian Bhuana Sangsipta disebutkan
bahwa itulah merupakan jalan menuju kelepasan bagi seorang Yogiswara. Jika sudah memahami tentang isi dan sifatnya maka
setidak-tidaknya tentu akan mencapai sorga. Ditegaskan sekali bahwa seorang Yogiswara hendaknya memahami kesadaran
diri melalui ajaran falsafah karena ia merupakan jalan untuk mencapai sorga.
Naskah Tutur Parakriya ditutup dengan sebuah mantra
pamandiswara yang mana Bhatara Siwa
adalah sarinya dunia semua, sebagai penguasa dunia dan sebuah percakapan
tentang kewajiban seorang pendeta yang sejati, yang senantiasa mengusahakan
kesadaran diri. Jika tidak demikian maka tidak berbeda halnya dengan Dukuh Dekih. Demikian ajaran tentang Arsa Timbangan dituangkan dalam perakapan
antara Dukuh Alon dengan Dukuh Wisesa.
3.3 Isi Pokok Lontar
Tutur Parakriya
Veda
adalah sumber ajaran Agama Hindu sebab dari Vedalah mengalir ajaran yang merupakan kebenaran Agama Hindu.
Karena Veda merupaka wahyu Ida Sang
Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, sudah tentu ajaran-ajaran yang
terkandung di dalamnya mengandung kebenaran sehingga dapat dijalankan sebagai
pedoman, landasan norma dan berbuat, berkata, maupun berpikir. Seorang yang
dapat melaksanakan ajaran agama dengan baik, akan bebas dari keterikatan dan
dapat mencapai kelepasan. Terlepas atau bebas dari keterikatan duniawi sesuai
dengan tujuan Agama Hindu yaitu moksa,
bersatunya Ātman dengan Brahman.
Sehubungan dengan hal ini ada
beberapa isi pokok yang terdapat dalam Lontar
Tutur Parakriya, antara lain:
3.3.1 Ajaran Ketuhanan
Mengenai ajaran Ketuhanan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) merupakan hal yang amat penting bagi
umat beragama, karena berdasarkan kepercayaan yang dimiliki segala yang ada
beserta isinya ini adalah diciptakan Ida Sang
Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang maha Esa. Segala yang ada, yang pernah lahir,
pernah hidup itu sebenarnya akan kembali keasalnya yaitu kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang
Maha Esa. Tuhan merupakan penyebab pertama serta sebagai tempat kembalinya dari
segala yang ada. Di samping itu Tuhan bersifat maha gaib dan bersifat abstrak,
yang tidak dapat dicerna oleh pikiran manusia namun beliau tetap kekal abadi.
Sehubungan
dengan kemahakuasaan Tuhan sebagai pencipta segala yang ada, Lontar Tutur Parakriya menyebutkan
sebagai berikut :
tan ana lemah, tan anangjala, tan anang teja muwah angin lawan
candra, ditya muwah akasa, tan ana wintang, tan ana kabeh, tan ana sabda, tan
anang mega, tan anang dina ratri, tan angin, tan udan, tan ana kilap, tan ana
kabeh, yatika sunya nga. Nitya tan kahilangan. Ngkana ta sangkaning mami purwa,
nihan sangkaning dadi. (Transkripsi Lontar Tutur
Parakriya, lampiran 2a-2b).
Terjemahan:
Tidak
ada tanah, tidak ada air, tidak ada sinar dan angin, bulan, matahari, langitpun
tidak terbentang, bintang, planet, semuanya tidak ada, tidak ada suara, tidak
ada mendung, tidak ada siang dan malam, tidak ada angin, tidak ada hujan, tidak
ada tatit, keadaan seperti itu disebut sunya
(kosong), itu yang abadi tidak pernah hilang, dari sanalah asal mula-Ku dahulu
kala dan dari sana asal kelahiranku.
Berdasarkan kutipan di atas pada dasarnya adalah
memberikan suatu penjelasan bahwa alam semesta beserta isinya adalah ciptaan
dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa yang merupakan asal mula
kelahiran. Tuhan itu tidak pernah lahir dan juga tidak pernah mati, beliau adalah
langgeng, abstrak wujudnya sukar dibayangkan dan sangat mengagumkan. Dalam ilmu
filsafat dikaitkan sebagai keadaan dalam alam transendental artinya diluar dari lingkaran kemampuan pikir. Kalau diibaratkan pikiran itu mempunyai
batas seperti lingkaran kemampuan manusia. Istilah ini digunakan untuk membedakan antara Transenden dengan Imanen. (Pudja, 1985: 46).
Segala sesuatu yang ada dalam
wilayah Imanen dapat diketahui.
Mengetahui artinya dapat membedakan, dan membedakan dapat dilakukan melalui
pengenalan sifat-sifatnya. Mengenal alam Imanen
berarti mengenal secara nyata (riil). Arti pengenalan Tuhan Alam Imanen artinya mengenal Tuhan dalam
keadaan sifat dan fungsinya atau
prabhawanya, seperti Sang Hyang Jagatkarana, Sang Hyang Acintya, Sang Hyang Tunggal, Sang
Hyang Guru, Sang Hyang Sangkan Paran
dan lain sebagainya, yang sesuai dengan alam pikiran manusia (Sura, dkk, 1981: 63).
Tuhan dalam alam Transendental adalah Tuhan wujud Paramasiwa yang disebut dengan Cetana (Purusa) yang dalam istilah umum disebut Cetana, keadaan tanpa aktivitas, kekal abadi, tak berawal, tidak
berakhir, ada dimana-mana, maka diberi gelar Nirguna Brahma (Sunya).
Sedangkan Tuhan dalam alam Imanen
adalah Tuhan berwujud Sadasiwa, yang berkrida, sudah kena imbas dari Prakerti Acetana, sehingga mempunyai
sifat dan aktivitas, maka diberi gelar Saguna
Brahma. Sadasiwalah yang banyak
mendapat perhatian yang disebut dengan Ida
Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, dengan bermacam-macam
manifestasinya, sebab dengan mempunyai sifat, fungsi, aktivitas beliau dapat
mengatur Utpeti, Sthiti dan Pralina dari
alam semesta beserta isinya (Bhuana Agung dan
Bhuana Alit).
Adapun sifat kemahakuasaan
Tuhan Sadasiwa meliputi guna, sifat dan swabhawa, guna meliputi
tiga sifat yang mulia dari Tuhan yaitu Dūradarsana
adalah berpengelihatan/ berpandangan serba jauh, Durwasarwajña yaitu berpengetahuan serba sempurna dan Dūrasrawāna yaitu berpendengaran serba
jauh (Pudja, dkk, 1983: 21).
Sifat-sifat keagungan atau
kemahakuasaan itulah Tuhan (Ida Sang
Hyang Widhi Wasa) berwujud Sadasiwa melakukan kridanya dalam mengatur keharmonisan alam semesta dengan segala
isinya menurut ketentuan waktu Utpeti,
Sthiti dan Pralina. Secara simbolis beliau dianggap bersinggasana di tempat bunga teratai yang disebut dengan Padmasana artinya bunga teratai yang
berdaun delapan, ini dipergunakan sebagai simbol atau lambang Asta Aiswaria yang menguasai delapan
penjuru mata angin. Jadi bunga teratai adalah bunga yang bersifat magis yang
yang dikaitkan dengan lingga, dewa-dewa atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa/
Tuhan Yang Maha Esa, maka bunga teratai dapat diumpamakan sebagai gambar Padma Angglayang atau Pangider-ider Bhuana.
Pangider-ider Bhuana
merupakan arah kiblat mata angin yang terdapat di alam semesta ini. Adapun pangider-ider Bhuana tersebut
menunjukkan arah yaitu: timur, tenggara, selatan, barat daya, barat, barat
laut, utara, timur laut dan juga di tengah, yang setiap arah dikuasai oleh para
dewa yang merupakan manifestasi dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang
Maha Esa). Sehubungan dengan uraian tersebut di atas, Lontar Tutur Parakriya menyebutkan sebagai berikut:
Ika ta magawe idep ring ati, Iswara ring
purwa, Maheswara agneya, Brahma daksina, Rudra neriti, Mahadewa pascima,
Sangkara wayabia, Wisnu utara, Sambhu airsania, Siwatma ring arda, sadasiwa
ring madia, Paramasiwa ring urda, Dharma Hiang karuning purwa lawan gneya, Kala
wiantaraning agneya lawan daksina, Mretiyu wiantaraning daksina lawan neriti,
Krodha wiantaraning neriti lawan pascima, Wisma wiantaraning pascima lawan wayabia,
kama wiantaraning wayabia lawan utara, Pasupati wiantaraning utara lawan
airsania, Satia wiantaraning airsania lawan purwa. (Transkripsi Lontar Tutur Parakriya,
lampiran 4b).
Terjemahan:
Ini yang dilaksanakan di dalam hati, Iswara di timur, Dewa Brahma tempatnya di selatan, Dewa Rudra menguasai di Barat daya, Dewa Mahadewa tempatnya
di Barat, Dewa Sangkara tempatnya di
Barat laut, Dewa Wisnu tempatnya di
Utara, Dewa Sambhu tempatnya di Timur
laut, Dewa Siwatma tempatnya di tengah
bagian bawah, Dewa Sadasiwa tempatnya
ditengah bagian madya, Dewa Parama Siwa
tempatnya di tengah bagian atas, Sang
Hyang Dharma diantara timur dengan tenggara, Sang Hyang Kala diantara
tenggara dengan selatan, Sang Hyang
Mretiyu diantara selatan dengan barat daya, kroda diantara barat dengan barat, Wisma diantara diantara barat dengan barat laut, Kama diantara barat lautdengan utara, Sang Hyang Pasupati diantara Utara
dengan timur laut, Satia diantara
timur laut dengan timur.
Berdasarkan kutipan di atas menjelaskan mengenai
tempat-tempat para dewata yang menguasai Alam Semesta, ini dapat mengatur
keharmonisan serta ketentraman dari pada
dunia yaitu ditentukan menurut waktu, lahir, hidup dan mati.
Bertitik tolak dari uraian di atas,
bahwa Ida Sang Hyang Widhi Wasa/
Tuhan Yang Maha Esa bersifat abstrak dan kekal abadi yang tidak dapat dijangkau
oleh pikiran manusia yang serba terbatas. Namun tidak sedikit orangpun sering
tersesat dalam hidupnya karena sangat ambisi mengenal Tuhan dengan segala daya
upayanya tanpa berdasarkan pada pikiran yang rasional. Dikaji secara mendalam
bahwa Tuhan yang bersifat suci, hendaknya di dalam mengenalnya diimbangi dengan
kesejahteraan pikiran, yang tentu mulai dari mengendalikan tindakan-tindakan
lahiriah terlebih dahulu. Salah satu jalan diantaranya dengan melaksanakan
jalan bhakti yaitu sujud bhakti dan taqwa serta dengan penyerahan
diri secara bulat kepada Ida Sang Hyang
Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa. Penyerahan diri seperti itu benar-benar
diwujudkan oleh adanya perasaan cinta yang mendalam dan terus-menerus.
Menyadari ketidaksempurnaan
manusia sebagai mahluk yang utama, maka sejak dini perlu ditumbuhkan rasa
keimanan dengan diiringi sujud bhakti kehadapan
Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang
Maha Esa tanpa mendangkalkan ajaran religius yang dikandungnya. Dengan usaha
itu manusia akan mampu menangani tentang filsafat Tuhan itu dengan baik dan
benar.
3.3.2
Ajaran Yoga
Kata Yoga berasal
dari akar kata “Yuj” yang artinya
menghubungkan, Yoga merupakan
pengendalian aktivitas pikiran dan merupakan penyatuan roh pribadi dengan roh
tertinggi. (Śivānanda, 2003: 204). Sumber lain dapat pula diketemukan mengenai
kata yoga yang berasal dari kata “Yug” yang berarti persatuan, bersatu
dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa.
Makna yoga
tersebut di atas, bila dikaitkan dengan Lontar
Tutur Parakriya, maka di bawah ini dapat dikemukakan sebagai berikut ;
Batari Uma mawuwus: Pradana sastra kabeh tan ana mungguh nira ring aji. Ndan dana tan
nistayoga nga. Wenang tamtamana mangdadiaken kamoksan; ya tika tapwan awruhnira
tinakwan anaknira Bhatara Iswara. Rowangnira atakwan Sang Hyang Kumara, ndan sahopancopacarasara,
ikang lingnira patakwan ring Batara. (Transkripsi Lontar Tutur Parakriya, lampiran 1b).
Terjemahan:
Bhatari Uma telah waspada
dengan ilmu pengetahuan semua, tidak ada kekurangannya di dalam ilmu sastra,
tetapi ada kekurangannya, yaitu yoga
namanya yang dapat menuju kemoksaan. Hal ini tidak diketahuinya itu yang
ditanyakan kepada Bhatara Iswara,
yang menyertai bertanya adalah sang kumara lengkap dengan upacara untuk
menanyakan, katanya bertanya kepada Bhatara.
Berdasarkan kutipan di atas, dapat disimak maknanya
terutama terdapat dalam kalimat yaitu yoga
namanya yang dapat menuju alam kebahagiaan akhirat atau moksa. Yoga mempunyai
arti yang sangat luas, hal ini tergantung pada konteks kalimatnya. Sehubungan
dengan hal ini dapatlah diberikan suatu contoh yaitu bahwa dikenalnya suatu
ajaran yang disebut dengan Catur Marga Yoga
yang terdiri dari: Bhakti Marga Yoga,
Karma Marga Yoga, Jnana Marga Yoga dan Raja Marga Yoga. Keempat yoga itu merupakan jalan atau cara untuk
mencapai kesempurnaan yaitu moksa,
dengan menghubungkan diri dan pemusatan pikiran kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa dengan berbagai
manifestasinya. Keempat yoga tersebut
di dalam pelaksaannya erat sekali hubungannya dengan sifat, bakat, watak serta
kemampuan masing-masing orang dalam usahanya untuk menghubungkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa
dengan berbagai manifestasinya dan juga mempunyai tujuan yang sama, hanya
berbeda dalam tata pelaksanaannya. (Sudirga, dkk, 2007: 8).
Bertitik tolak dari penjelasan di atas, Lontar Tutur Parakriya menyebutkan
sebagai berikut :
Ikang Ongkara Rudra
dewatanya, Ardhacandra Mahadewa Dewatanya, mantra Dewa Guru dewatanya, nahan
Sang Yogiswara magawe yoga, ya marganing pada Moksa ika. ( Transkripsi Lontar Tutur
Parakriya, lampiran 9a).
Terjemahan:
Yang disebut Ongkara Rudra
dewatanya, Ardhacandra Mahadewa
dewatanya, Mantra Dewa Guru dewatanya. Demikian olehnya Sang Yogiswara melaksanakan yoga,
untuk jalan mencapai moksa.
Berdasarkan kutipan di atas
menjelaskan, bahwa jalan menuju kebebasan abadi atau marganing anemu kamoksaan adalah pemutaran aksara utama, sebagai
sasaran pemusatan pikiran dengan Ida Sang
Hyang Widhi Wasa, yaitu dalam wujud Ongkara
yang dapat dijabarkan ke dalam Tri
Aksara, selanjutnya kepada Pancaksara
dan segala macam aksara keramat. Dengan keramatnya pada Nadha, Windhu, Ardhacandra
merupakan tujuan sebagai pemusatan pikiran untuk dapat menghubungkan diri
dengan Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa).
Sesuai dengan penjelasan di atas, selanjutnya Lontar Tutur Parakriya, menyebutkan
sebagai berikut :
Yeki Bhuana sang sipta nga. ika ta kabeh
margan Sang Yogiswara manemwakan kamoksan mwang swarga lewih. Yan sampun wruh
ring tatwania mwang ring sang gaweyah. (Transkripsi Lontar Tutur Para Kriya,18a)
Terjemahan:
Ini yang disebut Bhuana Sang
Sipta. Itu semua jalannya Sang
Yogiswara mencapai sorga dan moksa yang utama.
Jika telah mengetahui dengan segala isi dan makna serta maksud sebabnya dibuat.
Kutipan di atas menjelaskan tentang Bhuana Sang Sipta yang merupakan jalan atau cara Sang Yogiswara menghubungkan diri dengan
Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa yaitu untuk mendapatkan moksa atau sorga yang utama.
Bertitik tolak dari uraian di atas, ajaran yoga adalah ajaran pemusatan pikiran
yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dan tulus ikhlas, ketekunan, keteguhan
dan segala usahanya itu didasarkan atas ajaran agama dan dharma. Selain itu juga sebagai penuntun dalam suatu kehidupan
untuk mencapai kesejahteraan dunia akhirat yang abadi berupa sukha tan mawali duhka atau moksa dan juga mencapai jagadhita yaitu kesejahteraan masyarakat
dan semua makhluk.
3.3.3 Ajaran Tri Guna
Agama Hindu selalu memberi saran dan pedoman, agar orang
selalu mengarahkan hidupnya dengan berbagai persoalannya menuju kebahagiaan
melalui jalan baik dan benar. Tentunya harus dengan menguasai diri sendiri
sehingga dalam penampilan yang baik dan membahagiakan orang lain atau semua
orang. Selain itu sastra-sastra agama ada yang mengatakan bahwa prilaku
seseorang dapat terbentuk oleh lingkungan, tetapi sastra-sastra tersebut
sebagian besar memandang prilaku orang itu ditentukan oleh faktor jiwa orang
itu yang merupakan pembawaan dari sejak lahir.
Mengatur diri dalam bertingkah
laku merupakan faktor dalam yang harus diperhatikan. Sifatnya yang garang harus
dijinakkan dengan jalan yang ditunjukkan oleh sastra-sastra agama itu. Sastra-sastra
adalah jalan agama, maka itupun harus ditunjukkan dengan jalan agama yang
cendrung bersifat filosofis. Di dunia ini ada bermacam-macam kecendrungan sifat
manusia. Orang yang berpenampilan lemah-lembut, kasar, rajin, dan ada pula yang
malas. Kecendrungan-kecendrungan seperti itu ada dalam diri setiap manusia,
pembawaan sejak lahir yang disebut Tri
Guna. Tri Guna adalah tiga sifat
yang mempengaruhi kehidupan manusia. Antara sifat yang satu dan yang lainnya
saling mempengaruhi dan membentuk watak sesorang.
Apabila diantara ketiga sifat
ini terjalin hubungan yang harmonis, sesorang akan dapat mengendalikan
pikirannya dengan baik. Ketiga unsur sifat-sifat itu adalah: Satwam atau Sattwa adalah sifat tenang, Rajas
atau Rajah adalah sifat dinamis dan Tamas atau Tamah adalah sifat lamban. (Sudirga, dkk, 2004: 106).
Sehubungan dengan hal tersebut, Lontar Tutur Parakriya menyebutkan mengenai
dewa-dewa yang menguasai Tri Guna, adalah sebagai berikut :
Rudra pinakarajah, Sangkara pinakatamah, Mahadewa
pinakasatwa. Nahan ta Dewataning Triguna.
(Transkripsi Lontar Tutur Parakriya,
lampiran 17b ).
Terjemahan:
Rudra sebagai rajah, Sangkara sebagai Tamah, Mahadewa sebagai Satwa.
Itulah di sebut dengan dewanya Triguna (Satwa, Rajah dan Tamah).
Berdasarkan kutipan di atas
menjelaskan, bahwa Dewa Rudra adalah
menguasai sifat Rajah, Dewa Sangkara
adalah menguasai sifat Tamah dan Dewa Mahadewa adalah menguasai sifat Satwa. Tidak seorangpun yang luput dari
sifat-sifat Tri Guna itu, dan tidak
seorangpun dalam penampilan dirinya dalam hidup ini yang tidak diwarnai oleh
ketiga sifat itu. Ketiganya adalah bekerja sama dalam diri manusia, namun dalam
intensitas yang berbeda-beda. Orang yang lebih banyak dipengaruhi oleh guna sattwam maka menjadi orang yang
bijaksana, berpikiran terang dan tenang. Sifat kasih sayang, lemah lembut,
tutur katanya sopan, menarik, lurus hati. Sedangkan jika guna rajas lebih banyak mempengaruhi seseorang maka orang tersebut
menjadi tangkas, keras, rajin, dan penuh usaha. Sifat congkak, dan iri bengis
merupakan sifat-sifat rajah. Namun
bila guna tamas lebih banyak
berpengaruh pada diri seseorang maka orang tersebut menjadi lamban, malas dan
bodoh, sering berbohong, biasanya tanpa arah, pikiran buntu, takut tanpa
alasan. Sifat-sifat doyan makan, mengumbar hawa nafsu, juga termasuk sifat tamas. Ketiga guna tersebut merupakan satu kesatuan yang bekerja sama dalam
kekuatan yang berbeda-beda. Perpisahan diantara ketiga guna itu tidak terjadi, karena dengan demikian tidak akan ada suatu
gerak apapun pada manusia. Pengaruh-pengaruh Tri Guna tersebutlah sifat-sifat manusia ada yang digolongkan
sifat-sifat yang baik dan ada yang buruk. Bilamana sebagai manusia menjalankan
sifat-sifat di atas, baik itu Satwam,
Rajas dan Tamas,
maka sujud bhaktilah kepada ketiga dewa tersebut sebagai manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang
Maha Esa, maka akan dilindungi oleh ketiga dewa
itu.
Berdasarkan uraian di atas,
makna mengenai ajaran Tri Guna yaitu
bahwa suatu ajaran yang mengajarkan umat Hindu mengenai tiga sifat hakikat
manusia agar dikuasai oleh sifat satwam yang
menguasai dua sifat yang lainnya yaitu
sifat rajas dan tamas. Sebab seseorang yang menetap dalam satwa, maka seseorang cendrung kepada dharma, menemui sifat-sifat kedewataan. Dalam hubungan ini
sebagaimana disebutkan dalam kitab Bhagawadgita,
sebagai berikut :
ūrdhvam gacchanti sattva-sthā
madhye tisthanti rājasāh
jaghanya-guna-vrtti-sthā
adho gacchanti tāmasāh. (Bhagawadgita
XIV. 18)
Terjemahan:
Ke atas perginya yang sāttvika, ditengah-tengah bersemayamnya yang rājasika sedangkan yang tāmasika
kebawah perginya diantar sifat keadaan yang paling rendah. (Pudja, 2005:
351).
Berdasarkan kutipan di atas,
menjelaskan ketiga unsur tersebut selalu mendasari setiap prilaku manusia.
Prilaku yang susila merupakan
pancaran dan sebagai akibat pengaruh sifat satwa.
Sebaliknya setiap prilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari yang mencerminkan
prilaku adharma merupakan pancaran
dan pengaruh dari sifat rajas dan tamas. Sifat-sifat dari pengaruh rajas dan tamas inilah merupakan musuh yang ada pada diri pribadi serta
sekaligus merupakan musuh yang paling berbahaya jika dibandingkan dengan musuh
yang datang dari luar. Musuh yang dari dalam seperti pemalas, iri hati dan lain
sebagainya, sikap ini dapat menjerumuskan seseorang kelembah penderitaan dan
kesengsaraan. Menyadari musuh-musuh tersebut sangat berbahaya, maka perlu
dikendalikan sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan taraf kehidupan yang
lebih baik. Apabila kekuatan satwam
mengungguli rajah dan tamas, maka Ātman mencapai moksa,
bila satwa dan rajas sama kuatnya, maka Ātma
mencapai sorga. Jika satwam, rajas dan tamas kekuatannya berimbang, maka menjelmalah Ātman sebagai manusia. Jika sifat rajas yang lebih unggul dari satwam
dan tamas menyebabkan Ātman jatuh ke alam neraka. Apabila
sifat tamas yang lebih unggul dari satwam dan rajas, maka Ātman
menjelma menjadi binatang dan tumbuh-tumbuhan.
Ketiga sifat tersebut ada
gunanya dalam diri manusia, oleh karena itu, Tri Guna sangat penting untuk dibina dan dikendalikan. Kerjasama Tri Guna dalam diri manusia sangat
diperlukan, ibarat seperti kereta dengan penumpangnya. Badan manusia (sthula sarira) sebagai kereta, Ātman
sebagai penumpangnya, dan citta
adalah saisnya. Ātman memerintahkan
saisnya bergerak ketempat tujuan, namun gerak si sais akan dipengaruhi oleh Tri Guna. Jika guna tamas yang dominan menguasai si sais akan mengendalikan lari
keretanya, kereta akan lamban dan akan setiap saat berhenti. Jika guna rajas yang lebih banyak menguasai
si sais maka kereta akan dilarikan kencang, kasar, kadang-kadang tidak tentu
arah. Jika si sais lebih banyak dikuasai oleh satwam, maka si sais akan mengendalikan lari keretanya dengan
tenang, hati-hati, sabar, dan bisa ditempat tujuan dengan baik.
Namun perlu diingat, agar
kereta bisa melaksanakan tugasnya dengan baik, maka perlu adanya kerja sama
diantara ketiga guna itu. Satwamlah yang seharusnya sebagai
pengendali, geraknya dibantu oleh rajas,
dan tamas sebagai pengerem. Jika
tidak adanya kerja sama diantara ketiga guna
tersebut maka banyak akan menghadapi rintangan, bahkan tidak akan bisa sampai
tempat tujuan dengan baik.
3.3.4 Hubungan
Bhuana Agung dengan Bhuana Alit dalam Lontar Tutur Parakriya
Kata Bhuana Agung adalah istilah dalam Agama Hindu untuk menyebutkan
alam semesta atau alam raya. Bhuana Agung juga disebut Makrokosmos,
jagat raya, alam besar, dan Brahmanda. (Sudirga, 2004: 12). Sedangkan
Bhuana Alit sering disebut
Mikrokosmos adalah alam kecil atau dunia kecil (isi dari alam semesta), seperti
manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan. (Sudirga, 2004: 18).
Hubungan antara Bhuana Agung dengan Bhuana Alit dalam Lontar Tutur Parakriya adalah sangat erat
sekali, yaitu terlihat dari jasmani mahluk dan manusia tidaklah dapat
dipisahkan dengan alam, karena zat pembentuknya sama yaitu dari unsur-unsur Panca Maha Bhuta, ataupun boleh kiranya
disebutkan bahwa tubuh mahluk atau manusia ini adalah bagian dari Alam Semesta
sehingga dalam ajaran Agama Hindu kita dapatkan adanya istilah Bhuana Alit yaitu tubuh mahkluk atau
manusia (Mikrokosmos) dan Bhuana Agung
yaitu Alam Semesta (Makrokosmos).
Sesuai dengan penjelasan tersebut di atas, Bhuana Agung adalah alam semesta (dunia)
sedangkan Bhuana Alit adalah manusia
itu sendiri. Jadi mengenai hubungan antara kedua bhuana itu, Lontar Tutur Parakriya,
14a-14b, menyebutkan sebagai berikut :
Buh loka nga. Nabi. Manusa loka nga.
Bwah.loka nga. weteng, ya candra ditya nga. Swah loka nga. Ati Wisnuloka ya.
Mahaloka nga. mulakanti ya Brahmaloka. Janaloka nga. Cangkem; Rudraloka,
tampoloka nga. irung, ya Mahadewaloka. Satyaloka nga. sirah, ya Siwaloka
nga. Nihan sinangguh
saptaloka ring sarira nga. kamung Kumara. (Transkripsi
Lontar Tutur Parakriya, lampiran 14a).
Terjemahan:
Yang disebut Buhloka
adalah nabi. Yang disebut manusa loka dan Bwahloka adalah weteng atau
perut juga disebut bulan matahari. Yang disebut Swahloka adalah hati atau disebut Wisnuloka. Yang disebut Mahaloka
adalah mulakanta/ leher juga
disebut Brahmaloka. Yang disebut Janaloka
adalah mulut juga disebut Rudraloka, yang
disebut Tampoloka yaitu hidung juga
disebut Mahadewaloka. Yang disebut
dengan Satyaloka adalah kepala juga
disebut Siwaloka. Demikianlah yang
disebut dengan Saptaloka di dalam
tubuh manusia, Kumara.
Tala nga. tlapakaning suku, ya Mahaniraya nga.
sultala nga. walakang tlapakaning suku; ya Niraya nga. pogeloganing tlapakaning
suku; ya ta aweci nga. santala nga. wisia maharorawa ngarania atala nga.
jejengku, ya rorawa arania. Wetala nga. pupu ya, Yamaloka ngarania; tala-tala
nga. let, ya kumbaka ngarania. Nahan ta Saptapatala ring sarira kramania. (Transkripsi Lontar Tutur Parakriya, lampiran 14b).
Terjemahan:
Yang
disebut Tala, adalah
telapakan kaki, itu Mahaniraya namanya, sultala
yaitu bagian belakang telapakan kaki Niraya
namanya, pada pergelangan kaki, Aweci namanya,
yang disebut Santala yaitu: wisia Maharorawa namanya, Atala yaitu jejengku, itu rorawa namanya. Wetala yaitu paha, itu namanya Yamaloka,
Tala-tala yaitu tempatnya pada
pangkal paha, kumbaka namanya. Itu
disebut dengan Saptapatala dalam
tubuh manusia.
Berdasarkan kutipan di atas,
menjelaskan bahwa itulah yang dinamakan tingkatan-tingkatan Sorga dan Neraka,
yaitu tujuh ke atas (Saptaloka) dan
tujuh ke bawah (Saptapatala) yang ada
dalam tubuh manusia, ini mengingatkan sesorang pada Bhuana Agung dengan Bhuana
Alit yang tidak bisa dilepaskan dari Ātma
dengan Sang Pencipta (Ida Sang Hyang
Widhi Wasa).
Selanjutnya mengenai hubungan Bhuana Agung dan Bhuana Alit dapat juga disebutkan dalam Lontar Tutur Parakriya, adalah sebagai berikut :
Kuruparwata
nga. lambung, Satia Hiangnia. Rasiaparwata nga. susu Sambu Hiangnia.
Iraniaparwata, susukiwa, Pasupati Hiangnia. Ndalaparwata nga. bahu tengen, Kala
Hiangnia. Ariparwata nga. bahu kiwa, Mretiyu Hiangnia. Kiranaparwata nga.
irung, Kama hilangnia. Bhataraparwata nga. ulu, Siwa Hiangnia. Nahan tang
Saptaparwata aneng sarira. (Transkripsi Lontar Tutur Parakriya,
lampiran 15a).
Terjemahan:
Yang disebut dengan Gunung kuru adalah lambung, Satya
dewanya, Gunung Rasya pada susu Sambhu dewanya, Gunung Eraniya pada susu kiri Pasupati
dewanya, Gunung Ndala pada tangan
kanan Kala dewanya, Gunung Ari pada
tangan kiri Mretiyu dewanya, yang
disebut Gunung Kirana pada hidung Hiang Smara dewanya, Gunung Bhatara pada kepala, Hiang Siwa dewanya. Demikianlah tujuh gunung yang ada pada tubuh manusia.
Berdasarkan kutipan di atas
menjelaskan bahwa ketujuh gunung itu dapat mengingatkan sesorang dalam hubungan
antara Bhuana Agung dengan Bhuana Alit, dimana Tuhan sebagai
pencipta tidak lepas dari apa yang diciptakannya di dunia fana ini. Tubuh
manusia merupakan dari alam semesta. Tuhan adalah penguasa, kekuasaan beliau
itu dapat mempengaruhi dunia secara tidak langsung, seperti dalam tubuh manusia
bahwa letak Gunung Kuru pada lambung,
dewa penguasanya adalah Dewa Satya. Tentunya dewa-dewa penguasa itu merupakan
sinar-sinar dari pada Ida Sang Hyang
Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa.
Sesuai penjelasan di atas
bahwa Alam Semesta merupakan linggih
dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa yang sebenarnya
dilambangkan dengan gunung. Di India, Gunung Mahameru dianggap simbul alam semesta,
sehingga puncaknya disimboliskan sebagai tempat bersemayamnya Ida Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa beserta segala
manifestasinya.
Selanjutnya hubungan antara Bhuana Agung dan Bhuana Alit, Lontar Tutur
Parakriya menyebutkan sebagai berikut :
Narmada
tirta nga. manah: Sindhu tirta nga. budi; Gangga tirta ngaran kanta mula;
Saraswati tirta nga. jiwa. Ndarawati tirta
nga. talinga; Siwanadi tirta nga. wunwunan; Siwaprasta nadi nga. tungtunging
rambut. Nahan ta Sapta tirta aneng sarira kamung Kumara. (Transkripsi Lontar Tutur Parakriya, lampiran 15b).
Terjemahan:
Narmada
tirta itu adalah pikiran,
sindhu tirta adalah budhi, Gangga tirta adalah pangkal leher, Saraswati tirta adalah jiwa, Ndarawati
tirta adalah telinga, Siwanadi tirta
adalah ubun-ubun, Siwaprasta nadi adalah
ujung rambut. Itulah yang disebut dengan Sapta
Tirta yang ada di dalam badan kamu Kumara.
Berkenaan dengan kutipan
tersebut di atas, menyebutkan bahwa hubungan Bhuana Agung atau alam semesta yang ada di dalam tubuh manusia
seperti di dalam wujud tirta (air
suci) antara lain Narmada tempatnya
pada pikiran, Sindhu tirta pada budhi, Saraswati pada
jiwa, Gangga tirta pada pangkal
leher, Ndarawati pada telinga, Siwanaditirta pada ubun-ubun dan Siwaprasta nadi tempatnya pada ujung rambut.
Sesuai dengan terjemahan di atas
bahwa Bhuana Agung yang terdapat
dalam Lontar Tutut Parakriya, yaitu
menjelaskan tentang hal-hal yang menyangkut tubuh manusia yang memegang
peranan penting adalah sebagai berikut :
Pinakasumsum,
Siwa. Pinakakatawulan, Iswara. Pinakadaging, Brahma; pinakarah, Rudra; pinaka
otot, Basukih; pinakasandi, naga; pinakalamad-lamad, Sambu; pinakawaduk,
Mahadewa; pinakakulit, Wisnu; pinakasuku ro, Nandiswara Mahakala; pinakasiku
rwa, Candraditia. Nahan ta dewata ring sarira kamung Kumara. (Transkripsi Lontar Tutur Parakriya, lampiran 16b-17a).
Terjemahan:
Sumsum adalah Dewa
Siwa, tulang Dewa Iswara. Daging,
Dewa Brahma; darah, Dewa Rudra;
urat, Dewa Basukih; persendian, Dewa Naga; lendir, Dewa
Sambhu; lemak Dewa Mahadewa;
kulit, Dewa Wisnu; kedua kaki, Dewa Nadiswara dan Mahakala; kedua siku, Dewa Candraditia.
Demikianlah para dewata ada pada tubuh, kamu Kumara.
Berdasarkan kutipan di atas
menjelaskan tentang dewa-dewa yang
ada dalam tubuh manusia, seperti Dewa
Siwa pada sumsum, Dewa Iswara
pada tulang, Dewa Brahma pada daging, Dewa Rudra tempatnya pada
darah, Dewa Basukih pada otot, Dewa Naga pada persendian, Dewa Sambhu pada lendir, Dewa Mahadewa pada lemak, Dewa Wisnu pada kulit, Dewa Nadiswara dan Mahakala pada kedua kaki dan Dewa
Candradinata pada kedua siku.
Selain dewa-dewa yang bersemayam pada tubuh manusia, juga tentang zat
pembentukan dari pada manusia, bahwa manusia itu berasal dari unsur-unsur Panca Maha Butha, Lontar Tutur Parakriya menyebutkan sebagai berikut :
Pertiwi
pinaka daging, apah pinakarah, teja pinaka rasmi, bayu pinakaprana, akasa
pinakadwara, saptawara ring sadwara pinaka rambut mwang ulu. (Transkripsi Lontar Tutur Parakriya, lampiran 17a).
Terjemahan:
Pertiwi menjadi daging, Apah menjadi darah, Teja
menjadi sinar, Bayu adalah prana, Akasa menjadi dwara, Saptawara dan Sadwara adalah rambut dan kepala.
Berdasarkan kutipan di atas
menjelaskan tentang unsur-unsur Panca
Maha Bhuta, yaitu mengingatkan pada hubungan Bhuana Agung dan Bhuana Alit,
dimana pertiwi menjadi serba padat,
seperti misalnya kulit, daging, otot dan lemak. Apah menjadi serba cair, seperti darah dan keringat. Teja menjadi serba bercahaya atau
bersinar, seperti misalnya: sebagai mata dan panas badan. Bayu menjadi serba bergerak, seperti nafas atau prana, Akasa menjadi dwara atau
serba berlubang, seperti lubang hidung, telinga dan lain sebagainya. Dan disebutkan tentang Sadwara dan Saptawara yaitu pada rambut dan kepala. Kedua alam ini yaitu Bhuana Agung dan Bhuana Alit. Alam semesta dan alam tubuh makhluk mempunyai
sifat-sifat dan keadaan bersamaan. Segala yang kental, padat dan keras pada
alam maupun pada tubuh mahluk disebabkan oleh pertiwi. Segala yang cair di dunia maupun di badan disebabkan oleh
unsur apah. Segala yang bercahaya
panas pada mahluk disebabkan oleh unsur bayu,
adapun kekosongan yang ada pada alam maupun pada mahluk disebabkan oleh unsur akasa.
BAB IV
AJARAN TATTWA DAN ETIKA
DALAM LONTAR TUTUR PARAKRIYA
4.1 Ajaran Tattwa dalam Lontar Tutur
Parakriya
Agama
Hindu memiliki kerangka dasar yang dapat dipergunakan oleh umatnya sebagai
landasan untuk memahami, mendalami, dan mengamalkan ajaran-ajarannya dalam
kehidupan sehari-hari. Kerangka dasar tersebut terdiri dari tiga unsur yaitu: tattwa /filsafat, etika /susila dan upacara/ ritual. (Sudirga, 2007:
36). Tattwa atau filsafat merupakan
inti ajaran Agama Hindu, sedangkan susila
atau etika merupakan pelaksanaan ajaran agama dalam kehidupan masyarakat
sehari-hari. Upacara atau ritual
merupakan yajña, persembahan atau
pengorbanan suci yang tulus ikhlas kepada Ida
Sang Hyang Widhi/ Tuhan Yang Maha Esa.
Ketiga
aspek di atas merupakan satu kesatuan
yang utuh dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Karena itu ketiga kerangka
dasar agama tersebut harus dipahami benar, mengingat ketiganya saling
berkaitan.
Melalui tattwa atau
filsafat akan dapat membantu, mendidik, membangun diri sendiri agar dapat
berpikir secara mendalam, meningkatkan kewaspadaan, kecerdasan untuk memecahkan
permasalahan dalam kehidupan sehari-hari dan memberikan pandangan yang luas
dalam latihan berpikir pribadi.
Salah satu ajaran tattwa atau filsafat Agama Hindu yang dipaparkan dalam Lontar Tutur Parakriya menekankan pada ajaran Moksa, yang
merupakan salah satu dari sradha atau
keyakinan. Kebahagiaan yang sejati akan tercapai oleh sesorang, apabila telah
dapat menyatukan jiwanya dengan Ida Sang
Hyang Widhi/ Tuhan Yang Maha Esa. Penyatuan dengan Tuhan itu baru akan
didapat apabila telah melepaskan semua
bentuk ikatan pada dirinya.
Kata Moksa berasal dari bahasa Sansekerta,
yaitu dari akar kata Muc yang berarti
membebaskan atau melepaskan. Dengan demikian, kata Moksa berarti kelepasan dan kebebasan. Dari segi istilah, Moksa disamakan dengan nirwana dan nisreyasa atau keparamarthan (Sudirga, 2007: 2).
Adapun ajaran tattwa dalam Lontar Tutur Parakriya, adalah sebagai berikut :
Batari Uma mawuwus; Pradana sastra kabeh
tan ana mungguh nira ring aji. Ndan dana tang nistayoga nga. Wenang tamtamana
mangdadiaken kamoksan; ya tika tapwan awruhnira tinakwan anaknira Bhatara
Iswara. Rowangnira atekwan Sang Hyang Kumara, ndan sahapancopacarasara, ikang
ling nira patakwan ring Batara.(Transkripsi Lontar Tutur Parakriya,
lampiran 1b).
Terjemahan:
Bhatari
Uma berkata; yang disebut
pradana sastra semua itu tidak
terdapat di dalam ajaran (agama). Yang ada hanya Nista Yoga namanya, itu patut dipelajari untuk menuju kemoksaan. Hal itu tidak di ketahuinya
itu yang ditanyakan kepada Bhatara Iswara.
Yang menyertai bertanya adalah Sang
Kumara, lengkap dengan tatacara/ upacara untuk menanyakan. Katanya bertanya
kehadapan Bhatara.
Berdasarkan kutipan di atas
menjelaskan bahwa yang disebut dengan Predana
Sastra tidak terdapat dalam ajaran (agama), yang ada hanya Nista Yoga yang patut dipelajari sebagai
jalan atau cara untuk menuju pada kebenaran yang hakiki, yaitu moksa. Dengan mengetahui ajaran-ajaran
sebagai jalan untuk menuju moksa,
maka pikiran dipusatkan pada kesucian, agar nantinya dapat tercapai tujuan yang
hendak diinginkan. Sehubungan dengan hal tersebut, Lontar Tutur Parakriya menyebutkan sebagai berikut :
ikang jnyana kabeh lawan tatwa, Bhatara
majaraken ndia ikanang nirbana-pada wekasning jnyana, suksmaning suksma ya,
acin titing, tan kaucap dening ulun. (Transkripsi Lontar Tutur Parakriya, lampiran 12a).
Terjemahan:
Itu jnyana dan tattwa, paduka Bhatara
menyebutkan yang mana disebut nirbanapada, terakhirnya jnyana,
yang sangat gaib dan suci nirmala tak terpikirkan oleh hamba
Maksud kutipan di atas
menjelaskan tentang pengetahuan yang benar dan sejati yang sangat suci untuk menuju
kepada kenirbanaan, apabila tidak
memiliki pengetahuan yang mulia, tentunya tidak akan menemui tujuan yang
disebut nirwana.
Agar moksa dan nirwana itu dapat tercapai maka harus terlebih dahulu
lahir menjadi manusia, dengan lahir menjadi manusia adalah merupakan pintu
gerbangnya moksa, karena dewapun akan lahir menjadi manusia untuk
dapat meningkatkan diri agar bisa mencapai moksa.
Moksa berarti kebebasan atau
kelepasan, maksudnya suatu kebahagiaan dimana atma dapat lepas dari pengaruh maya dan ikatan Śubhāśubhakarma serta bersatu kembali dengan asalnya yaitu Brahman (Tuhan). Ātma (roh) tidak mengulangi kelahiran kembali, artinya bebas dari
reinkarnasi dan mencapai kebahagiaan sejati dan abadi, sukha tan pawali dukha. (Titib, 1994: 73). Sebenarnya manusia
dengan ātmanya itu pernah bersatu
dengan Brahman dan pernah merasakan
kenikmatan dari sukha tan pawali duhka.
Dengan kridanya Brahman, maka manusia itu terlempar lagi kegelombangnya maya. Di
dalam maya segala kebahagiaan dan kesukaan itu selalu disertai dengan kedukaan
atau dimana ada kesukaan tentu ada penderitaan yang mengikutinya. Jadi ātma itu selalu rindu dan ingin kembali
pada asalnya yaitu Tuhan, seperti halnya titik-titik air laut yang menjadi
embun kemudian jatuh menjadi hujan serta mengalir ke sungai melaju dengan derasnya
karena rindu bertemu lagi dengan sumbernya.
Adapun disebutkan dalam Lontar Tutur Parakriya, mengenai
pikiran-pikiran yang mengarah pada kesucian (kesadaran berpikir)
disebutkan sebagai berikut: Kalingania
ikang cita tania cetana ika, sadanitia karma, ya ta adnyana sunia nga (Lontar Tutur Parakriya, lampiran 12b).
Artinya: sebenarnya pikiran tania cetana itu,
selalu bekerja, itu yang disebut dengan adnyana
sunia.
Berdasarkan kutipan Lontar Tutur Parakriya lampiran 12b tersebut, menjelaskan pengetahuan
atau kesadaran pikiran itu selalu bekerja atau melakukan sesuatu untuk
mengosongkan pikiran untuk menuju pada kebenaran yang sejati (Moksa). Sehubungan dengan uraian
tersebut, Sarasamuscaya menyebutkan sebagai berikut :
Apa ika sang telas tumemung kaprajñān,
hilang kalanganing jñānanira, niskalangka pwa jñānanira, katemu tang
sattwaguna denira, sattwa kewala, tan karaketan, rajah tamah, sattwa ngaraning
satah bhāwah, si uttamajñāna, citta zat swabhāwa, tar kakenan, trsnadi, katemu
pwang sattwaguna denira, prasannātmakata sira, tan karaket ring sarīra, luput ring
karmaphala. (Sarasamuscaya, 507).
Terjemahan:
Karena orang yang telah mendapatkan kebijaksanaan,
lenyap segala noda pikirannya, tanpa noda ilmunya, maka sifat ”sattwa” diprolehnya, sifat sattwa saja, tidak dak dipengaruhi oleh
sifat ”rajah tamah”, sattwa artinya sifat baik, yaitu ilmu
yang utama. Hakekat pikiran yang baik, tidak terpengaruh oleh trsna dan sejenisnya; didapati sifat sattwa olehnya, maka ia berjiwa suci
bersih, tidak terikat pada badannya, bebas dari karmaphala. (Pudja, 1980: 280).
Kutipan di atas menjelaskan
orang yang telah mendapat kebijaksanaan atau kesadaran dalam berpikir,
lenyaplah akan segala noda pikirannya, tanpa noda ilmunya, maka sifat sattwa diperolehnya mereka itu diperolehnya
yang merupakan hakekat pikiran yang baik dan tidak berpengaruh oleh keterikatan
maya, maka ia berjiwa suci dan bebas dari karmaphala.
Moksa dapat dicapai
di dunia ini (ketika masih hidup) dan dapat pula dicapai setelah hidup ini
berakhir. Orang yang dapat membebaskan dirinya (pikiran dan indera/ kama) dari ikatan keduniawian dan pengaruh suka duka yang muncul
dari Tri Guna akan dapat mencapai
kelepasan itu, sebagaimana Bhagawadgita
menjelaskan sebagai berikut:
Sattvam
sukhe sañjayati
rajah
karmani bhārata,
jñānam
āvrtya tu tamah
pramāde
sañjayaty uta. (Bhagawadgita XIV.9)
Terjemahan:
Sattva mengikat sesorang pada kebahagiaan, rajah pada kegiatan kerja, wahai Bharata,
sementara tamah menyelubungi
pengetahuan dan mengikat kita pada kekurangwaspadaan (Pudja, 2005: 346).
Yadā
sattve pravrddhe tu
Pralayam
yāti deha-bhrt,
Tadottama-vidām
lokān
Amalān
pratipadyate. (Bhagawadgita XIV.14).
Terjemahan:
Tetapi bila sattva
bertambah pada saat menemui ajal, para arif mengetahui perginya ke alam
tertinggi yang tanpa cela (Pudja, 2005: 349).
Pembebasan
diri dari pengaruh Tri Guna adalah
usaha yang berat, tetapi pasti dapat dilakukan dengan mendasarkan diri pada
disiplin. Renungkan sloka di atas
bila seseorang ingin mencapai moksa.
Secara filosofis kebebasan itu
tidak pernah hilang tetapi oleh karena manusia hanyut oleh gelombangnya maya,
dan dari kecil sudah dibius oleh kenyataan illusi sehingga terikat oleh
khayalan. Padahal kalau dia sadar pada waktu itu sudah bebas. Adapun
ketidaksadaran itu adalah karena kurang tahunya (absence of knowledge). Kalau seorang sudah sadar, dia akan tahu
yang mana riil (nyata dan benar) dan yang mana bersifat maya/ illusi. (Cudamani,1993: 99).
Berdasarkan penjelasan di atas, manusia mampu
membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Dengan kemampuannya manusia itu
dapat meningkatkan taraf hidup dan kehidupannya baik lahir maupun bathin, Lontar Tutur Parakriya menyebutkan
sebagai berikut :
Ika Sang Rsi winarah de Batara irikang
jnyanasti, ya ta matangian kapangguh ikang kamoksan denira, mari masarira.
Wenang yan tininggalaken boga kabeh, dumeh nihan mangkana, sangkania asih
Bhatara. (Transkripsi Lontar Tutur Parakriya, lampiran 13a).
Terjemahan:
Itu sang pendeta diajar oleh bhatara tentang jnyanasti,
itu makanya beliau mencapai kemoksan, tidak masih berbadan, bisa beliau meninggalkan
kehidupan semua, apa sebabnya demikian, memang dari karunia Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang
Maha Esa kepadanya yang menyebabkan.
Kutipan di atas menjelaskan
khususnya bagi para Rsi atau yang
mempunyai pengetahuan akan kesucian atau kebenaran yang tinggi tentunya untuk
menghubungkan diri dengan Ida Sang Hyang
Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa yaitu melalui jalan pemusatan pikiran atau
melalui samadhi yang dapat
meninggalkan kehidupan semua untuk tercapainya suatu kemanunggalan.
Mencapai kemanunggalan ini orang harus selalu berbuat baik sesuai dengan
ajaran agamanya. Kitab suci telah menyediakan bagaimana caranya orang
melaksanakan pelepasan dirinya dari
ikatan maya dan akhirnya Ātman
dapat bersatu dengan Brahman, sehingga penderitaan dapat
dikikis habis dan tidak lagi menjelma ke dunia sebagai hukuman, tetapi sebagai
penolong sesama manusia.
Ajaran Agama Hindu terdapat
jalan untuk mencapai kesempurnaan, yaitu Moksa,
dengan menghubungkan diri dan pemusatan pikiran kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang disebut Catur Marga Yoga, yaitu: 1) Bhakti
Marga Yoga, yaitu proses atau cara mempersatukan Ātman dengan Brahman
dengan berlandaskan atas dasar cinta kasih yang mendalam kepada Ida Sang
Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, 2) Karma Marga Yoga adalah jalan atau usaha untuk mencapai
kesempurnaan atau moksa dengan
perbuatan atau kebajikan tanpa pamrih, 3) Jnana
Marga Yoga mempersatukan jiwatman
dengan paramatman yang dicapai dengan jalan mempelajari ilmu pengetahuan dan
filsafat pembebasan diri dari
ikatan-ikatan keduniawian, 4) Raja Marga Yoga adalah suatu jalan
mistik (rohani) untuk mencapai kelepasan atau moksa dengan tiga jalan pelaksanaan yaitu Tapa Brata, Yoga, Samadhi. Tapa dan Brata merupakan
suatu latihan untuk mengendalikan emosi atau nafsu yang ada dalam diri ke arah
yang positif sesuai dengan petunjuk kitab suci sedangkan Yoga dan Samadhi adalah
latihan untuk dapat menyatukan Ātman
dengan Brahman dengan melakukan meditasi
atau pemusatan pikiran.
Berdasarkan penjelasan di atas, bahwa pemusatan
pikiran itu memang penting untuk menghubungkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, Lontar Tutur Parakriya menyebutkan
sebagai berikut :
Wruh pwa Sang Yogiswara ring jnyana tatwa, ya marganing anemuwaken
kamoksan. Mangkana palaning pangwruhaken ring swa tatwa, wenang mangdadiaken
swarga kamoksanan. (Transkripsi Lontar Tutur Parakriya, lampiran 18a).
Terjemahan:
Sang
Yogiswara patut
mengetahui tentang keadaan dan isi dari jnyana
tattwa sebab itu satu-satunya jalan untuk mencapai moksa. Demikianlah phalanya jika telah mengetahui dengan segala tattwa (ilmu) untuk mencapai kemoksan
Berdasarkan kutipan di atas
menjelaskan bahwa Sang Yogiswara
harus mengetahui tentang keadaan dan isi tattwa
atau pengetahuan-pengetahuan, dengan mengetahui pengetahuan-pengetahuan (tattwa) itu merupakan satu-satunya jalan
untuk tercapainya suatu tujuan yang paling hakiki (kenirwanaan) yang merupakan
kemanunggalan Ātma dengan Brahman.
Geguritan Pandawa Seda melalui bait-baitnya mengingatkan kepada umat Hindu agar meningkatkan
keyakinan (sradha) terhadap moksa, seperti tersurat dalam kutipan di
bawah ini:
Wantah moksa malih asiki
Ne meartos
kelepasan
Anggen muput punarbhawa
Nanging meweh
kapangguhang
Yening nora sida
pascad
Ngresepang asrama
catur
Mangda jati
kemargiang (Geguritan
Pandawa Seda, bait 2 halaman 26)
Terjemahan:
Yang pertama moksa, yang
artinya kelepasan, agar tidak adanya punarbhawa
(kelahiran kembali), tetapi sangat sulit untuk dicapai, bilamana tidak
dilaksanakan tidak baik, mengerti Catur
Asrama, supaya dilaksanakan dengan sungguh-sungguh.
Uduh dewa
atiti sami:
Titiang sampun
menguningang
Sang Pandawa
putun titang
Swadharmane
sampun pragat
Ngertiyang jagat
astina
Mangguh trepti
gemuh landuh
Pascad nyakra
Catur Asrama (Geguritan
Pandawa Seda, bait 3 hal 26).
Terjemahan:
Para tamu
semuanya kami menyampaikan, Sang Pandawa
cucuku, kewajiban sudah selesai, mendoakan Negara Astina, menemukan kemakmuran aman,
dalam melaksanakan Catur Asrama.
Ngelar brata luhur siki
Yukti dahat sengka pisan
Mapan ida pacang memarga
Ngelintangin pangkung
jurang
Tukad linggah miwah alas
Sarwa buron pasti pangguh
Ngaresresin dahat galak (Geguritan Pandawa Seda,
bait 5 halaman 26).
Terjemahan:
Melaksanakan brata yang
baik, memang sangat sulit, oleh karena itu beliau akan pergi, melewati sungai
yang lebar dan hutan, berbagai jenis binatang pasti ditemui, menakutkan dan
galak.
Manuju Sumeru giri
Linggan Ida Sang Hyang Siwa
Tan pesangu ida memargi
Maka bekel pageh manah
Teleb ring tapa brata
Tresna asih tan kantun
Manuhut Catur
Asrama (Geguritan
Pandawa Seda, bait 4 halaman 26).
Terjemahan:
Menuju Gunung Semeru, Dewa
Siwa berstana, tanpa bekal beliau berjalan, hanya berbekalkan pikiran dan
keikhlasan hati, senang melaksanakan tapa
brata, kasih sayang atau keterikatan
tidak ada, mengikuti ajaran Catur Asrama.
Penghayatan dan pengamalan
semua bentuk ajaran agama dalam hidup ini merupakan pelaksanaan kongkrit dari
sabda Tuhan yang ada dalam pustaka suci. Lakukan pemujaan dan kerja sebagaimana
mestinya sebagai bhakti kita kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang
Maha Esa. Tanamkan keyakinan pada diri bahwa segala sesuatu berawal dan
berakhir pada Tuhan. Segala sesuatu tidak mungkin akan terjadi tanpa Tuhan ikut
di dalamnya. Semua makhluk akan dapat mencapai moksa, hanya jalan atau prosesnya berbeda, ada yang cepat dan ada
yang pula yang lambat.
Bila sesorang dapat mengurangi
sifat egoisnya terhadap sesuatu dan mengarahkan pikiran dan perasaannya pada
Tuhan, maka secara perlahan-lahan tetapi pasti akan dapat menyatu dengan Brahman. Tujuan utama hidup manusia
adalah untuk menyadari dirinya yang sejati. Setelah orang menyadari dirinya
yang sejati barulah dapat menyadari Tuhan yang meresap dan berada pada semua
yang ada di alam semesta ini.
Di dunia ini sangatlah sedikit
jumlah orang yang menginginkan kebahagiaan rohani berupa moksa, kebanyakan mereka hanyut oleh kenikmatan duniawi yang penuh
dengan gelombang suka dan duka. Kiranya perlu disadari oleh setiap orang, bahwa
tubuh ini adalah suatu alat untuk mendapatkan moksa. Moksanam sarira
sadhanam yang berarti tubuh itu adalah sebagai alat untuk mencapai moksa (Sudirga, 2007: 4). Demikian yang
dikatakan oleh Brahma Purana (228: 45),
maka itu peliharalah tubuh ini sebaik-baiknya.
Menurut Gautama wawancara tanggal
23 April 2008, bahwa ajaran tattwa
yaitu moksa lebih mengacu kepada
pengendalian diri. Dengan pengendalian diri sehingga tidak akan ada keterikatan
di dunia ini. Sebagai manusia hendaknya jangan diperbudak oleh nafsu tetapi
semuanya itu harus dikendalikan sehingga lepas dari keterikatan. Dan bilamana
ingin mendapatkan moksa, di samping
pengendalian diri juga harus sesuai dengan ajaran Catur Asrama yaitu:
Brahmacari, Grhastha, Wanaprastha dan Bhiksuka, sebab sudah ada tingkatan-tingkatan hidup dalam kehidupan
ini.
Menurut Sideyadnya wawancara
tanggal 22 April 2008), bahwa sebagai manusia yang punya kelebihan berupa akal
dari makhluk ciptaan Tuhan lainnya harus selalu mendekatkan diri dengan Tuhan,
selalu mempelajari ilmu pengetahuan dan melakukan tapa, brata.
Bertitik tolak dari uraian-uraian
di atas, bahwa ajaran Tattwa yaitu Moksa dalam Lontar Tutur Parakriya dikaitkan dengan sumber-sumber lain dan
hasil wawancara adalah merupakan petuah-petuah atau nasehat-nasehat untuk
mengajarkan umatnya agar bisa mendapatkan kesempurnaan lahir maupun bathin yang
kekal abadi (Moksa atau Kenirwanaan).
4.2
Ajaran Etika dalam Lontar Tutur Parakriya
Etika itu dinamakan ”susila”. Kata susila berasal dari dua suku kata yakni su dan sila. Su artinya baik dan sila berarti kebiasaan atau tingkah laku perbuatan manusia yang
baik (Suhardana, 2007: 2). Karena itu dalam Agama Hindu, etika dikatakan
sebagai ilmu yang mempelajari tata
nilai, tentang baik dan buruk suatu perbuatan, apa yang harus dikerjakan atau
harus dihindari, sehingga tercipta suatu hubungan baik diantara sesama manusia.
Etika itu sendiri adalah tata laku atau
perbuatan yang baik yang biasanya disebut sila.
Ilmunya dinamakan ilmu tentang sila
atau tata susila. Salah satu aspek dalam ilmu etika adalah membahas aspek
moral dan arti dari apa yang dikatakan baik dan tidak baik. Etika adalah rasa
cinta, rasa kasih sayang, dimana seseorang yang menerima etika itu adalah
karena ia mencintai dirinya sendiri dan menghargai orang lain. Jadi tidak egoistis
melainkan humanistis (Pudja, 1984: 57-58 dalam Suhardana, 2007: 2-3). Hal seperti itu rasa kebersamaan, rasa
harga diri, ikut menentukan
penyebarluasan dan pendalaman ajaran etika itu. Apa yang dipelajari dari Etika
Hindu, ajaran etikanya pada dasarnya bertujuan
meningkatkan derajat manusia dari tingkat yang lebih rendah, ketingkat
yang lebih tinggi. Proses peningkatan itu tidak dapat terjadi tanpa mengalami
proses pentahapan sehingga tampak adanya satu proses-proses peningkatan
bertahap atau berjenjang sampai mencapai tingkat tujuan yang tertinggi, yaitu Moksa.
Oleh karena proses itu tidak
hanya bersifat rasional, tetapi Etika Hindu mengandung arti kata bersifat mistik
dan moral keagamaan dengan meningkatkan arti moral dari tingkat yang bersifat
profan dan rasional ketingkat bentuk kemutlakan dengan latar belakang sentimen
atau perasaan-perasaan keagamaan, formal dan fungsional.
Berkenaan dengan uraian di atas,
salah satu prinsip dasar dalam ajaran sila
itu menurut Agama Hindu adalah agar Sang
Hyang Ātma dapat mencapai moksa. Jadi pada pokoknya adalah sebagai
ajaran dalam menuntun Ātma mencapai
tingkat Paramatma/ moksa, sesuai dengan tujuan ajaran
Agama Hindu yang tertinggi. Etik Agama Hindu bertolak dari norma agama maka ia
tidak sekedar etika penampilan luar sebagai etiket saja, namun ia menuntun
orang untuk berbudi kerti yang luhur dan mulia sehingga tercapainya hidup yang
berbahagia aman serta sentosa serta hubungan yang harmonis lahir bathin antara
manusia dengan sesama makhluk lingkungannya, hubungan serasi antara manusia
dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/
Tuhan Yang Maha Esa.
Etika selalu menghendaki keharmonisan dan
kebahagiaan lahir bathin yang diperoleh berdasarkan perbuatan yang baik serta
budi yang mulia, Sarasamuscaya menyebutkan
sebagai berikut :
Ri sakwehning sarwa bhūta, iking janma
wwang juga wenang gumayakenikang śubhāśubhakarma, kuneng panentas akena ring śubhakarma
juga ikang aśubharama phalaning dadi wwang. (Sarasamuscaya,
2).
Terjemahan:
Dari demikian banyaknya makhluk yang
hidupnya dilahirkan sebagai manusia itu saja yang dapat berbuat perbuatan baik
buruk itu; adapun untuk peleburan buruk ke dalam perbuatan yang baik juga
manfaatnya jadi manusia. (Pudja, 1980: 10-11).
Berdasarkan kutipan di atas
menjelaskan bahwa, hidup dilahirkan menjadi manusia, mampu berbuat baik, dan
melebur perbuatan-perbuatan yang buruk ke dalam perbuatan yang baik berdasarkan
dharma, sehingga manusia dengan
kehidupannya mampu membina perhubungan yang selaras, harmonis dan serasi dengan
mahluk hidup disekitarnya.
Telah menjadi kenyataan bahwa
hubungan yang selaras atau rukun antara seseorang dengan makhluk sesamanya,
antara anggota-anggota suatu masyarakat, suatu bangsa manusia dan sebagainya,
menyebabkan hidup yang aman dan sentosa. Suatu keluarga, masyarakat, bangsa
atau manusia, yang anggota-anggotanya hidup tidak rukun atau tidak selaras
pasti akan runtuh dan ambruk. Hubungan yang selaras berarti kebahagiaan dan
perhubungan yang kacau atau tidak rukun berarti mala petaka. (Mantra, 1997: 1).
Susila
atau Etika membina watak manusia untuk menjadi anggota keluarga, anggota
masyarakat yang baik, menjadi putra bangsa dan menjadi manusia yang berpribadi
mulia dan luhur, serta membimbing mereka
mencapai kebahagiaan. (Mantra, 1997: 2). Kitab
Upadeca mengatakan bahwa dasar ajaran
susila atau etika ini adalah Tat Twam Asi. Tat artinya Itu (Ia), Twam
artinya Kamu dan Asi artinya Adalah. Tat Twam Asi adalah kata-kata dalam filsafat Hindu yang mengajarkan kesosialan
yang tanpa batas, karena diketahui bahwa ”ia adalah kamu”, saya adalah kamu,
dan segala mahluk adalah sama, sehingga menolong orang lain berarti menolong diri sendiri.
Jiwa sosial ini juga diresapi oleh sinar-sinar tuntunan kesucian Tuhan dan
tidak oleh jiwa kebendaan. (1988: 54).
Tat Twam Asi
merupakan dasar dari ajaran susila atau
etika yang berbentuk tingkah laku yang baik dan mulia. Dari hal tersebut,
timbul apa yang disebut dengan Tri Kaya
Parisudha, yang menjadi landasan tata laksana dalam melaksanakan prilaku
kehidupan demi keselamatan dunia hidup di masyarakat.
Suhardana (2007: 19) dalam Tri Kaya Parisudha menjelaskan pada
hakekatnya, etika atau susila Agama
Hindu dapat dibagi menjadi tiga kelompok besar, yaitu :
1. Samaniya Dharmaśāstra atau
Nitya Dharmaśāstra, merupakan etika
yang berlaku universal, artinya berlaku bagi semua orang, berlaku bagi siapa
saja dan ini biasanya dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam praktek
sehari-hari ternyata ada tata laku atau etika yang harus diikuti dan ada pula
yang harus dihindari. Yang harus diikuti tentulah berbagai tata laku yang baik
dan patut ditiru, sedang yang harus dihindari adalah etika yang tidak baik atau
bertentangan dengan ajaran agama. Yang termasuk dalam etika atau tata laku yang
baik dan patut diikuti oleh umat Hindu adalah: Catur Marga atau Catur Yoga,
Tri Kaya Parisudha, Yama Niyama Brata, Daśa Dharma, Catur Purusārtha,
Catur Pāramitha, Tri Hita Karana, Asta Brata,
Sad Mitra, Sad Guna, Asada Brata, Daśa Indria, Catur Aiswarya,
Sad Pāramitha, Asta Siddhi, Daśa Paramārtha,
Tri Brata, Tri Karana/ Tri Sādhana, Daśa Sila, Tri Parārtha.
Sedangkan etika atau tata laku yang tidak baik dan karena itu patut dihindarkan
adalah: Tri Mala, Tri Mala Paksa, Sapta Timira, Sad Atatayi, Sad Ripu, Daśa Mala, Catur Pataka, Pañca Bahya Tusti, Asta Dusta, Asta Cora.
2. Naimitika Dharmaśāstra,
merupakan etika yang berlaku untuk hal-hal yang sifatnya khusus dan berlaku
dalam lingkungan terbatas. Naimitika
Dharmaśāstra ini ada karena manusia
satu dengan yang lain mempunyai berbagai macam perbedaan, seperti jenis
kelamin, umur, pekerjaan, kesenangan atau hobi dan lain sebagainya. Karena
itulah setiap kelompok masyarakat mempunyai tata susilanya tersendiri, yang tidak dapat diberlakukan bagi kelompok
lainnya. Dalam hal ini dapat diberiakan contoh bahwa setiap arsitek atau undagi mempunyai aturannya sendiri, demikian
juga tata laku pengelolaan sawah bagi setiap desa mempunyai ketentuan
tersendiri dan sebagainya.
3. Kamya Dharmaśāsastra
adalah ketentuan tata laku yang bersifat wajib. Hal ini baiasanya berlaku untuk
kegiatan yang bersifat yajña,
meliputi upacara maupun upakaranya.
Pengertian wajib disini adalah bahwa apa yang sudah ditentukan itu mutlak harus
diikuti, artinya tidak mungkin ditawar-tawar lagi, antara lain seperti waktu
atau pedewasaan upacara, tempat
upacara, jenis banten atau upakara
dan lain-lain. Contoh dari Kamya
Dharmaśāsastra ini antara lain adalah Pañca
Yajña yang mencakup Dewa Yajña, Resi Yajña, Pitra Yajña, Manusa Yajña,
dan Bhūta Yajña. Termasuk dalam Kamya
Dharmaśāsastra adalah persembahyangan (sembah
bhakti), Brata Penyepian, Brata Sāraswatī dan lain-lain.
Salah satu ajaran etika atau susila Agama Hindu yang mendasar
dipaparkan dalam Lontar Tutur Parakriya
menekankan pada ajaran Catur Pāramitha sebagaimana dijelaskan pada
kutipan sebagai berikut:
Mulaning pusuh-pusuh, Isa Hiangnia; Mudita
wetunia; ring tengah, Dharma Hiangnia;
Metri wetunia; ring tutuk, Iswara Hiangnia; Karuna wetunia. Iti ana wahanadi,
Brahma Hiangnia, panasning ambek wetunia. Ikang rasa wahanadi, Wisnu Hiangnia,
ing ambek wetunia. Ikang prana wahanadi,
Mahadewa Hiangnia, Upeksa wetunia. Nahan Dewatania kamung Kumara. (Transkripsi Lontar Tutur Parakriya, lampiran 15b-16a).
Terjemahan:
Pertamanya atau puncaknya pepusuh, Hyang Isa
dewatanya melahirkan Mudita; di tengah-tengah
Hyang Dharma dewatanya menimbulkan Maitri. Penghabisannya Hyang Iswara, dewatanya menimbulkan Karuna. Ini ada disebut Wahanadi atau kendaraan utama, Brahma dewatanya, menimbulkan panas
pikiran. Yang disebut rasa wahanadi, Wisnu dewatanya menimbulkan pemikiran. Yang disebut dengan prana wahanadi, Mahadewa dewatanya
menimbulkan Upeksa (waspada) kamu Kumara.
Kutipan di atas menjelaskan bahwa jantung Hyang Isa dewanya menimbulkan Mudita,
di tengah Hyang Darma dewatanya
menimbulkan Maitri, terakhir Hyang Iswara dewatanya menimbulkan panas
pikiran, rasa Wahana dan Wisnu dewanya menimbulkan pemikiran, Prana Wahanadi Mahadewa dewanya
menimbulakan Upeksā. Dengan
pemikiran cinta kasihlah yang menyebabkan dunia ini bergerak menuju kedamaian
dan ketenangan. Tuhan adalah sumber cinta kasih, Bhagawadgita menyebutkan sebagai berikut:
Balam balavatām asmi
Kamā-rāga-vivarjitam
Dharmāviruddho bhūtesu
Kāmo ’smi bharatarsabha. (Bhagawadgita VII.11).
Terjemahan:
Aku adalah kekuatan dari orang kuat,
Bebas dari keinginan dari nafsu birahi
Aku adalah keinginan pada semua makhluk
Yang tidak bertentangan dengan dharma, wahai Arjuna (Pudja, 2005: 190).
Kutipan di atas menjelaskan bahwa Tuhan adalah wujud
cinta kasih yang tinggi, cinta yang memasuki isi alam, ini mulai dari yang
terendah sampai makhluk yang termulia, meskipun pada hakekatnya itu bebas dari
nafsu birahi dan kepentingan diri sendiri, tetapi karena pengaruh maya, maka
wujud cinta itu berbeda-beda tergantung dari tingkatan mahkluk-mahkluk itu.
Walaupun cinta kasih berbeda-beda perwujudannya namun semua cinta kasih itu
melahirkan dorongan gerak yang menyebabkan manusia mau bergerak.
Catur Pāramitha adalah termasuk Samaniya Dharmaśāstra atau Nitya
Dharmaśāstra, yaitu Etika Agama Hindu
yang berlaku umum atau universal dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Catur Pāramitha berasal dari kata ”Catur” yang berarti empat dan ”Pāramitha” yang berarti perbuatan luhur.
Catur Pāramitha dengan demikian berarti empat perbuatan luhur, yang harus
dilaksanakan oleh umat Hindu. Keempat perbuatan luhur dimaksud adalah:
bersahabat/ Maitri, cinta kasih/ Karuna, bersimpati/ Mudhita, toleransi/ Upeksā
(Suhardana, 2007: 71).
4.2.1
Maitri/ Bersahabat
Lontar
Tutur Parakriya tidak menyebutkan
tentang Maitri ini secara detail tetapi
hanya menyebutkan seperti kutipan berikut:
....ring tengah
Dharma Hiangnia; Metri wetunya... (Transkripsi Lontar Tutur Parakriya,
lampiran 15b).
Terjemahan:
.....di tengah-tengah Hyang Dharma dewatanya menimbulkan Maitri....
Maksud kutipan di atas, segala sesuatunya adalah tunggal
yaitu Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa yang menciptakan
segala Alam Semesta ini. Sang Hyang Dharma adalah manifestasi beliau,
dalam hal ini adalah sebagai pengendali atau yang menjiwai sifat Maitri
ini sehingga manusia yang serba terbatas memuja Sang Hyang Dharma
sebagai wujud sifat-sifat Maitri (Wawancara, Sudiasta: 21 April 2008).
Menurut Gautama wawancara tanggal 23 April 2008, bahwa
pada dasarnya Tuhan sebagai pencipta alam semesta ini meresapi segala yang ada,
Tuhan ada dimana-mana, dan punya banyak sebutan sesuai dengan sifat dan prabawanya.
Sehubungan dengan hal ini Metri adalah letaknya di tengah, dewanya
adalah Sang Hyang Dharma. Inilah salah satu sebutan Tuhan yang mempunyai
sifat suka bersahabat. Apa yang dipuja, itu yang akan melindungi. Karena Sang Hyang Dharma
adalah simbolnya persahabatan seharusnya sebagai umat yang serba keterbatasan
harus memuja beliau sebagai salah satu manifestasi-Nya.
”Mitra”
adalah asal kata Maitri, yang berarti
teman atau sahabat. Maitri artinya
bersahabat. Maksudnya adalah bahwa manusia harus mempunyai sifat-sifat yang
bersahabat terhadap sesamanya. Manusia adalah ciptaan Tuahan Yang Maha Esa,
mempunyai Ātman yang merupakan sinar
suci kebesaran Tuhan. Jadi manusia berasal dari satu sumber, yaitu Tuhan Yang
Maha Esa dan karena itu sesungguhnyalah manusia itu semuanya bersaudara,
bersahabat. Oleh karenanya mereka harus hidup rukun, hidup saling membantu, hidup
saling mengasihi dan tidak bermusuhan. Manusia harus menghindarkan rasa balas
dendam. Dengan berpegang kepada perbuatan yang luhur itu, maka manusia akan
hidup tenang, hidup tentram lahir maupun bathin.
Hendaknya dalam pergaulan berjalan dengan baik, maka
sebagai manusia harus bisa memilih sahabat yang bisa diajak dalam suka dan
duka. Kalau orang bergaul dengan orang susila
kelak orang tersebut akan menjadi susila,
berbudi pakerti yang luhur. Kalau orang bergaul dengan orang pandai maka kelak orang
tersebut akan menjadi pandai. Sloka
Nitisastra menjelaskan sebagai berikut:
Tan
mitran tikanang duratmaka, sirang sujana juga minitra sewaken, tan lupteng yasa
dharma punya gawayen ra hina wengi taman helen-helen, ewehning pati tan kena
natkung uripta sukha wibawa nora saśwata, yatma sewaka ring mahamuni sifa siku-siku patitis anakena. (Nitisastra
VIII, 6).
Terjemahan:
Jangan hendaknya bersahabat dengan
orang-orang jahat, bersahabat bergaullah dengan orang-orang baik saja. Janganlah abaikan pekerjaan baik.
Kerjakanlah keutamaan dan berilah derma siang malam, jangan sekali-kali hal itu
kau pertangguhkan, yang menyesalkan kita tentang hal kematian ialah karena kita
tidak tahu kapan datangnya. Hidupmu bisa penuh dengan kesenangan dan kekayaan,
tetapi hidup ini tidak kekal. Oleh karena itu, berguru dengan rajin kepada
pendeta yang utama. Tanyakan jalan mana yang baik dan jalan mana yang tidak,
supaya dapat mencapai tempat tujuanmu. ( Oka, 1992: 73-74).
Maksud
kutipan sloka di atas adalah pentingnya sahabat itu. Namun hendaknya dalam
mencari sahabat supaya berhati-hati jangan sampai bersahabat dengan orang
jahat. Kalau bersahabat dengan orang jahat maka akan ketularan menjadi
penjahat. Maka dari itu, menurut sastra diharapkan supaya bergaul dengan orang baik-baik. Pernyataan ini
Sarasamuscaya menyebutkan sebagai
berikut:
Kunang
ulaha, yan pasahāya kita, sang sadu juga sahaāyanta, yan ta gawaya pakadangan,
sang sādhu juga kadanganta, yadyapin patukara tuwi, nguniweh yan samitra lawan
sang sādhu juga, apan pisaningun hanā kayogyaning tan sadhu. (Sarasamuscaya,
305).
Terjemahan:
Adapun yang harus dilakukan, kalau engkau
hendak mencari persaudaraan usahakanlah orang yang berbudi luhur saja;
kalau engkau berbantah, berbantahlah
dengan orang yang sadhu, apalagi jika bersahabat, hendaklah dengan orang yang baik
budi itu; sebab mustahil tidak akan kelimpahan
budi luhur itu. (Pudja, 1980: 170).
Kuneng
laksana sang sādhu, tan agirang yan inalem, tan alara yan inindā, tan kataman
krodha, pisaningun ujarakenang parusawacana, langgeng dhīrāhning manah nira. (Sarasamuscaya,
306).
Terjemahan:
Adapun prilaku orang yang sadhu, tidak gembira jika dipuji, jika
dicela tidak sedih pun tidak marah, tidak akan mengucapkan kata-kata kasar;
sebaliknya selalu tetap teguh pikirannya. Pudja, 1980: 170).
Hendaknya
dalam pergaulan harus pandai memilih sahabat. Salah memilih sahabat maka akan
celaka, akan masuk neraka, akan disiksa oleh Bhatara Yama. Maka dari itu usahakan bergaul dengan
orang-orang yang baik supaya kita
mendapat sorga. Kalau sudah mendapat sorga maka akan menikmati kesenangan yang
tidak terhingga. Seperti anak-anak muda jaman sekarang banyak yang bergaul
seperti minum-minuman keras, merokok dan lain sebagainya. Tentunya segala
sesuatunya perlu dipikirkan sehingga tidak menyengsarakan diri sendiri. (Wawancara,
Sideyadnya: 22 April 2008).
Geguritan Dharma Prawretti menjelaskan tentang Metri sebagai berikut:
Sang ngamong jiwa Metria,
tan kungguhan sigug brangti, jeg naros mengardi ledang, pengrasane jati
nunggal, mamring I sarwa maurip, patuh ento ya kadulu, atep ya tan kawaranan,
ne bedha wantah di sisi, kulit palsu, ya tan tatas ngawe sagsag.
Keto jani Sang Metria, patut tiru sareng sami, jadi paragayan
dharma, tekek ngamong budi hening, abaya dana tan mari, kanggen sadana pakukuh,
ngawe adung kula-gotra, ajak ngalih ne sujati, sinah pangguh, yan jemet ngemit
dimanah.
Becik bapa manyatuang, sang abhayadana jani, yening
manut Samuscaya, kardin wararuci nguni, Sang Abayadana jati, twara nahan ngawe
rusuh,wantah asih kemargiang, sahi ngeledangin, matetulung, ento kanggen
masedana.
Sang ngamong Abhyadana, yan
bandingang banget luwih, ring sang ngamong drewya-dana, keto kasinahang cening,
sangkan kawitine jani, abhyadanane duluh, ento garap ya pastika, yadyan tiwas
jroning urip, ede
buwung, ngarap ane madan dharma.
Wireh suba kasinahang, sang
dursila jroning hurip, jati pawakan sengkala,tan pendah kadi sang sakit, nuju
ke desane gerit, sinah tambane tan pangguh, ne panggih wantah kalaran, sakit
atine matindih, keto bagus, sang nyalanang kadursilan. (Geguritan Dharma Prawretti,
22).
Berdasarkan kutipan di atas,
menjelaskan kepada manusia bahwa Metri adalah senang mencari kawan, yakni tahu
menempatkan diri dalam masyarakat, tidak pemarah, ramah tamah membuat orang
senang menarik hati segala prilakunya sehingga hal itu harus ditauladani/
dilaksanakan oleh yang hendak berbuat
kebajikan, pikiran yang hening, membuat keluarga bahagia dan sebagainya. Yang
jelas semua itu harus berlandaskan dharma.
4.2.2
Karuna/ Cinta Kasih
Lontar
Tutur Parakriya tidak menyebutkan
tentang Karuna ini secara detail tetapi
hanya menyebutkan seperti kutipan berikut:
...ring tutuk,
Iswara Hiangnia; Karuna wetunya...(Transkripsi Lontar Tutur Parakriya,
lampiran 15a).
Terjemahan:
.....Penghabisannya Hyang Iswara, dewatanya menimbulkan Karuna....
Berdasarkan kutipan di
atas, bahwa Sang Hyang Iswara adalah manifestasi beliau, dalam hal ini
adalah sebagai pengendali atau yang menjiwai sifat Karuna ini sehingga
manusia yang serba keterbatasan memuja Sang Hyang Iswara sebagai wujud sifat-sifat Karuna (Wawancara,
Sudiasta: 21 April 2008).
Tuhan sebagai pencipta alam semesta ini meresapi segala
yang ada, Tuhan ada dimana-mana, dan punya banyak sebutan sesuai dengan sifat
dan prabawanya. Dalam hal ini Karuna adalah letaknya diakhir, dewanya
adalah Sang Hyang Iswara. Iswara sendiri adalah sebutan Tuhan
yang dalam Catur Pāramitha mempunyai sifat cinta kasih atau belas
kasihan sehingga bilamana memuja beliau akan dilindungi atau mendapatkan kasih
sayang dari Sang Hyang Iswara. (Wawancara, Gautama: 23 April 2008).
Karuna adalah perbuatan luhur atau cinta kasih
atau belas kasihan terhadap orang yang menderita. Sebagai manusia yang berasal
dari satu sumber, yakni Ida Sang Hyang
Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, maka manusia harus hidup saling tolong
menolong, bahkan harus bersedia berkorban demi untuk menolong orang yang sedang
kesusahan, bersedia berkorban demi kebahagiaan orang lain. Manusia dipandang sebagai
berbudi luhur apabila mau merasakan kesusahan atau penderitaan orang lain
sebagai kesusahan atau penderitaannya sendiri. Dengan berpikiran
demikian mereka akan cepat tanggap menolong sesamanya yang menderita.
Di samping bhakti kepada Tuhan orang harus memperhatikan orang lain. Orang
harus kasih-mengasihi satu sama lain. Orang harus hidup damai, hidup dalam
suasana persahabatan. Kutipan berikut mencerminkan hal ini:
Mitrasya mā caksusā
sarvāni bhūtāni
samīksantām,
mitrasyāham caksusā sarvāni
bhūtāni samīkse,
mitrasya caksusā samīksāmahe. (Yajur
Veda, 26.2).
Terjemahan:
Semoga semua makhluk memandang kami dengan
pandangan mata seorang sahabat,
Semoga saya memandang semua makhluk dengan
pandangan mata seorang sahabat,
Semoga kami pandang memandang dengan
pandangan seorang sahabat. (Sura, dkk, 1994: 38).
Hidup bersahabat berarti orang harus kasih sayang
kepada orang lain; hormat kepada orang tua, menjauhi kebencian mendambakan
kesatuan dan persatuan. Hal ini tercermin
dari kutipan berikut:
Sahrdayam
sāmmanasyam avidvesam krnomi vah, anyo anyam abhi haryata vatsam jātam ivāghnyā.
Anuvratah
pituh putro mātrā bhavatu sammanāh, jāyā patye madhu matim vācam vadatu
santivām.
Mā
bhrātā bhrātaram dveksan mā svasāram uta svasā samyancah savratā bhūtvā vācam
vadata bhadrayā. (Atharva Veda, 3.30).
Terjemahan:
Aku jadikan engkau sehati, satu pikiran, bebas
dari kebencian.
Kasihlah satu sama lain seperti sapi mengasihi
anaknya yang ia lahirkan.
Biarlah anak setia kepada ayah dan satu hati
dengan ibunya.
Biarlah istri bercakap dengan manis dan
dengan kata-kata yang bagus pada suami.
Janganlah saudara laki benci pada saudara
laki, saudara perempuan dengan saudara perempuan .
Rukunlah, bersatulah dalam tujuan,
berkatalah dengan kata-kata persahabatan. (Sura, dkk, 1994: 39).
Kakawin Arjunawiwāha juga menjelaskan bahwa di samping bhakti kepada Tuhan, sanak saudara,
leluhur, Arjuna sangat mengasihi rakyatnya. Demi cinta kasih dan bhaktinya Sang Arjuna bertapa di Gunung Indrakila dengan berbagai godaan dan
cobaan. Diantaranya tujuh bidadari yang sangat cantik-cantik, menggoda Sang Arjuna namun tidak goyah
sedikitpun. Kemudian diujicoba oleh Dewa
Indra sendiri yang menyamar sebagai pertapa tua, dan saat itulah terjadi
dialog dan Sang Arjuna mengatakan
bahwa karena rasa cinta kasih dan bhakti kepada kakaknya, Yudistira atau Sang Dharaputra ikhlas untuk bertapa. Tidak lain ingin mendapatkan
anugerah Bhatara Siwa agar
cita-citanya jaya dan kuasa di dunia dan juga ingin berbuat jasa memelihara
seluruh dunia sehingga dunia ini tentram, aman jauh dari angkara murka. Tujuan Dewa
Indra adalah ingin mendapatkan
manusia sakti untuk melawan Sang
Niwatakawaca (raja danawa sakti
yang tersohor, kuat, tidak mati oleh dewa,
yaksa, dan asura, tetapi hanya manusia sakti perlu diwaspadai). Kakawin Arjunawiwāha menyebutkan sebagai
berikut:
Sahur ira tan apañjang
singgih śabda muniwara
Nghulun tiki katalyan de
ning bhakti lawan asih
Ana pinaka kakangkwan śrī
Dharmātmaja karĕngö
Sira ta pinatapākĕn mahyun
digjaya wijaya. (Arjunawiwāha VI.4).
Terjemahan:
Jawabannya tidak panjang” Benar sabda Sang Pertapa”
Aku terikat bhakti
serta kasih
Aku mempunyai kakak, Sang Dharmaputra namanya
Bagi dialah aku bertapa dengan cita-cita
jaya dan kuasa di dunia. (Wiryamartana, 1990: 135).
Geguritan Dharma Prawretti juga menjelaskan tentang Karuna,
sebagai berikut:
Ne jani jalan lanturang,
solah karuna pedasin, welas asih keartiang, asih teken sarwa prani, sang
katunan minakadi, kirang pangan miwah kinum, yadin sang katunan manah, katulung
ya kakantinin, antuk tutur, manut sastra agama.
Sang nyalanang asih sayang, luput saking sedih kingking, loba perih nya
meninggal, duk manulung saking aris, twara netang untung rugi, nekaperih wantah ayu, taler tan mari ngastawa, nunas ica ring Hyang
Widhi, kancan idup, mangdane kertha raharja.
Keto solah sang karuna,
peteng lemah ya ngastiti, karaharjaning
nagara, kalih wadwan sang bupati, ring dewa butha tan lali, minekadi ring
leluhur, mangdennya asung nugraha, manyundarang budi hening, ngawe adung, bebas
saking papa klesa. (Geguritan Dharma Prawretti,
23).
Karuna sesuai dengan Geguritan Dharma Prawretti, menjelaskan
kasih sayang sesama manusia, dan sesama
makhluk lebih-lebih kasih sayang
terhadap orang yang memerlukan seperti orang yang kekurangan minum dan makan,
dan yang kurang akan pengetahuan. Di samping kasih sayang tersebut, adalah bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi/ Tuhan Yang Maha Esa, leluhur dan orang tua.
Manusia diharuskan untuk selalu memupuk rasa kasih sayang terhadap sesama
makhluk.
4.2.3
Mudhita/ Bersimpati
Lontar Tutur Parakriya tidak menyebutkan
tentang Mudhita ini secara detail tetapi
hanya menyebutkan seperti kutipan berikut:
....Mulaning
pusuh-pusuh Isa Hiangnia; Mudita wetunya.... (Transkripsi Lontar
Tutur Parakriya, 15a).
Terjemahan:
....Pertamanya atau puncaknya jantung/ pepusuh, Hyang Isa dewatanya melahirkan Mudita....
Manifestasi Ida Sang Hyang Widhi/ Tuhan Yang Maha
Esa sangat banyak, dalam hal ini adalah sebagai pengendali atau yang menjiwai
sifat-sifat Mudhita adalah Sang Hyang Isa, manusia yang memiliki akal atau
idep segala sesuatu yang berhubungan dengan Mudhita memohon atau
memuja Sang Hyang Isa (Wawancara, Sudiasta: 21 April 2008).
Menurut
Gautama wawancara tanggal 23 April 2008 bahwa pada dasarnya Tuhan sebagai
pencipta alam semesta ini meresapi segala yang ada, Tuhan ada dimana-mana, dan
punya banyak sebutan sesuai dengan sifat dan prabawanya. Dalam hal ini Mudhita
adalah letaknya dipuncaknya jantung, dewanya
adalah Sang Hyang Isa. Inilah salah
satu sebutan Tuhan yang mempunyai sifat suka bersimpati. Apa yang dipuja, itu
yang akan melindungi. Karena Sang Hyang Isa adalah simbolnya rasa
simpati seharusnya sebagai umat yang serba keterbatasan harus memuja beliau
sebagai salah satu manifestasi-Nya.
Mudhita artinya simpati atau turut
merasakan baik kesusahan maupun kebahagiaan orang lain. Dengan sifat luhur
seperti ini, manusia akan terhindar dari rasa iri hati, rasa dengki, dan rasa
kebenciaan. Kesusahan seseorang akan dirasakan sebagai kesusahannya sendiri,
keberhasilan seseorang juga akan dirasakan sebagai keberhasilannya sendiri. Mudhita adalah sikap solider dan simpati
terhadap sesamanya. Mendapatkan simpati orang lain, maka seseorang haruslah
menanamkan rasa simpati pula terhadap orang lain. Sikap luhur yang dinamakan Mudhita ini, maka seseorang akan dapat
hidup tenang lahir maupun bathin.
Salah satu
perbuatan luhur adalah selalu riang gembira, ramah, tidak menyombongkan diri,
selalu menolong orang lain, penuh simpatian terhadap yang baik, sopan santun. Orang-orang
tersebut patut dihormati dalam masyarakat, Sloka
Niti Sataka menyebutkan sebagai
berikut:
Namratvenonnamatah paragunakathanaih svangunān khyāpayantah
svārthānsamādayanto vitataprthtarārambhayatnāh parārthe ksāntyaivākseparuksa
ksaramukharmukhān durjanān dukhayantah santah sāscaryacaryā jagati bahumatāh
kasya nābhyarcanīyāh. (Niti Sataka, 60).
Terjemahan:
Mendapatkan kemajuan dengan kerendahan
hati, pandai mengambil hati orang lain, banyak menolong tetapi tujuan sendiri
tetap tercapai. Memaafkan orang yang suka memfitnah, berkata kasar, dan
menyakiti. Orang-orang tersebutlah yang mendapatkan pujian dan kekormatan dalam
masyarakat. (Somvir, 2003: 39).
Geguritan Dharma Prawretti menjelaskan tentang Mudhita sebagai berikut:
Cening bagus sang sisyawan,
Mudita jani artinin, wirasane apang tawang, agawe sukaning urip, keto artinne
sujati, solah ipatut sedeng tiru, krana sang ngamong mudita, tan kungguhang iri
hati, teka nahu, ngawe kasukan di jagat.
Sang Mudita sahi egar, sing
keucapang teka manis, ngulangunin sang mirengang, ngawe lega sang nyinagkin,
reh mukane bungah asri, solahnya manudut kayun, ngalap kasor nekeng tuwas, budi
halus muwuh bangkit, nyandang tiru, Sang Mudita mahardika.
Sewos pisan yan bandingang,
sang ngamong pramada budi, bawos agal ngawe jengah, masa ken awaknya ririh,
masa sakti turing sugih, yan timpalin muwuh sigug, ngeres hatine ningehang,
becik kirigin kalahin, pangda milu, kaliput ban gnipramada.
Sang Pramada banget ampah,
twara ngetang beneh pelih, wiwekannya edoh pisan, tattwanya banget nungkalik,
ya sanget demen kapuji, timpalnya
kandapan laut, katuduh panjak ketokan, nanging sang mudita budi, twara nau,
ngardi kamewehan timpal. (Geguritan Dharma Prawretti, 24).
Sedangkan Mudhita menurut geguritan
di atas adalah menjelaskan bahwa Mudhita
adalah orang yang selalu memperlihatkan wajah yang riang gembira, yakni penuh
simpatisan terhadap yang baik dan selalu sopan santun dalam bertingkah laku di
dalam bermasyarakat. Hal tersebut perlu untuk dilaksanakan karena sejalan
dengan ajaran dharma.
Segala
sesuatu perbuatan manusia harus berdasarkan dharma.
Jadi tidak akan ada manusia yang menjelek-jelekkan orang lain, saling membeci,
dan lain sebagainya. Berdasarkan wiwekajnana,
sehingga tahu membedakan perbuatan mana
yang harus dilaksanakan, dan perbuatan mana yang harus dihindari. Apabila
semuanya telah didapatkan dengan perbuatan dharma, maka itulah yang digariskan
oleh ajaran agama. (wawancara, Sideyadnya: 22 April 2008).
4.2.4
Upeksā/ Toleransi
Lontar Tutur Parakriya tidak menyebutkan
tentang Upeksā ini secara detail tetapi
hanya menyebutkan seperti kutipan berikut:
…..Mahadewa Hiangnia; Upeksa wetunya, nahan
Dewatania Kamung Kumara....(Transkripsi Lontar Tutur Parakriya,
lampiran 16a).
Terjemahan:
....Mahadewa
dewatanya menimbulkan Upeksa
(waspada) kamu Kumara.
Berdasarkan kutipan di atas adalah Sang Hyang Mahadewa
adalah manifestasi beliau, dalam hal ini adalah sebagai pengendali atau yang
menjiwai sifat Upeksā ini sehingga manusia yang serba keterbatasan
memuja Sang Hyang Mahadewa sebagai wujud sifat-sifat Upeksā (Wawancara, Sudiasta: 21
April 2008).
Pada dasarnya Tuhan sebagai pencipta alam semesta ini
meresapi segala yang ada, Tuhan ada dimana-mana, dan punya banyak sebutan
sesuai dengan sifat dan prabawanya. Upeksā dewanya adalah
Sang Hyang Mahadewa. Sang Hyang Mahadewa adalah sebutan
lain dari Tuhan dalam Catur Pāramitha mempunyai sifat toleran dan
senantiasa memperhatikan orang sehingga bilamana memuja beliau akan dilindungi
atau mendapatkan kewaspadaan sesuai dari sifat Sang Hyang Mahadewa. (Wawancara,
Gautama: 23 April 2008).
Perbuatan luhur berikutnya adalah Upeksā, yang berarti toleran dan
senantiasa memperhatikan keadaan orang lain. Sedangkan jiwanya dipenuhi oleh
rasa setia kawan dan simpati terhadap sesamanya, bahkan tidak menaruh rasa
dendam terhadap orang yang bermaksud jahat terhadapnya. Manusia yang bersikap Upeksā juga selalu waspada terhadap
situasi yang dihadapi, namun bijaksana dan selalu menjaga keseimbangan lahir
dan bathin serta tidak mau mencampuri urusan orang lain.
Sarasamuscaya menyebutkan sebagai berikut:
Ika tang dāna, tan bapa,
tan ibu, umukti phalanika, anghing ika wwang gumawayaken ikang dānapunya, ya
juga umukti phalaning dānapunya. (Sarasamuscaya, 169).
Terjemahan:
Itulah hakekat suatu dana, bukan si bapa, bukan si ibu yang akan
menikmati pahalanya, melainkan hanya orang yang melakukan kebajikan berdana punia itu, dia saja yang akan
menikmati pahala dari berbuat dana punia
itu. (Pudja, 1980: 95).
Nahan tang dāna ling sang
pandita, ikang sihaywa kimburu, ikang si jenek ri kagawayaning dharmasadhana,
apan yan langgeng ika, nitya katemwaning hayu, pada lawan phalaning tyāgadāna. (Sarasamuscaya, 170).
Terjemahan:
Inilah yang disebut dana, kata sang
pandita, yaitu, sifat tidak cemburu, yang selalu taat berbuat dharma sebagai jalannya, sebab bila hal
itu terus menerus demikian, selalu akan mendapatkan kebajikan, sama halnya
sebagai pahala dana yang diberikan. (Pudja,1980: 96).
Kuneng phalaning tyādāna,
yawat katemung bhogo-pabhogo ring paraloka dlāha, yapwan phalaning sewaka ring
wwang kabayan, katemung medhāguna, si yatnan kitatutur, kuneng phalaning
ahimsā, si tan pamatimati, kadīrghyayusan, mangkana ling sang pandita. (Sarasamuscaya, 171).
Terjemahan:
Adapun pahala pemberian dana punia, selamanya akan memperoleh
berbagai kenikmatan di akhirat dikemudian hari, akan tetapi, pahala seseorang
mengabdi kepada orang-orang tua, akan memperoleh hikmah kebijaksanaan, yaitu
tetap waspada dan sadar; adapun akibat dari ahimsa,
orang yang tidak merlakukan perbuatan bunuh-membunuh, umur panjanglah
(pahalanya), demikian sabda sang Pandita. (Pudja, 1980: 97).
Geguritan Dharma Prawretti menjelaskan
tentang Upeksa, sebagai berikut:
Ne kacatur lan bawosang,
solah upeksa pinuji, mingsinggih ring sesamannya, keto wirasannya jati, sang
upeksa kadi dacin, tukang timbang wyakti kasub, twara ngelah rasa bina,
arimbawa mirib patis, sahi adung, makta raga dahat wikan.
Sang upeksa wyakti wikan,
napi luwirne kakardi, yan sampun patut kerasa, wawu raris kamarginin, yan iwang
kerasayan hati, tan pisan pacing keanut, ring wong lian twara beda, kukuh
ngamong ane adil, dharma sadhu, manggeh kanggen sakan jagat.
Sang ngamong budhi upeksa,
sangkan sugat ledis sami,jani, wantah adung kemargiang, anake ring raga patis,
tan bina wantah asiki, tunggal sami jroning kalbu, pengaptine masih tunggal,
wantah rahayu ne kajudi, saling, dana punya kamargiyang.
Catur Paramita Utama,
nyandang agem sareng sami, anggen dasar paguyuban, marepe ring kulawargi,
jalanke patuhe alih, ento garap sinah
luwung, kancan karya bias pragat, nanging yan sugat pitindih, sinah lacur,
bantas pocol ane bakat. (Geguritan Dharma Prawretti, 25).
Berdasarkan uraian
di atas, hendaknyalah sebagai manusia, walaupun disinggung perasaannya oleh
orang lain, ia tetap tenang dan selalu berusaha membalas kejahatan dengan
kebaikan
Buku lain, Agama Hindu Sebuah Pengantar menyebutkan
etika dalam Mahābharata mengajarkan
supaya orang menaruh kasih sayang, rasa bersahabat, simpati dan beritikad baik
terhadap semua makhluk. Semuanya akan mengantarkan orang kepada kedamaian, dan dengan kedamaian
orang akan dapat mewujudkan kesejahteraan hidup, kebahagiaan, hidup sehat lahir
bathin. Kutipan berikut menunjukkan hal
ini.
Yadanyesam hitam nasyat
ātmanah karma purusam,
Srapatrapeta va yena na tat
kuryat katamcana (Mahābharata).
Terjemahan:
Perbuatan yang tidak mengantarkan orang
kepada kerahayuan, atau membawa malu kepada kita, janganlah itu dilakukan
kepada siapapun. (Sura, dkk, 1994: 41).
Sarve bhavantu sukhinah
Sarve santu nirmayah,
Sarve badrani pasyantu
Ma kascid dukhabag bhavet. (Mahābharata).
Terjemahan:
Semoga semua bahagia
Semoga semua sehat dan jujur
Semoga semua menjumpai kebahagiaan
Semoga tidak ada yang sengsara. (Sura, dkk, 1994:
41).
Berdasarkan kedua sloka
di atas menjelaskan bahwa keempat perbuatan luhur atau Catur Pāramitha
itu berdasarkan pada cinta kasih yang semata-mata membuat ketentraman,
kerukunan dan akhirnya kebahagiaan bagi umat manusia khususnya dan dunia kehidupan umumnya untuk
tercapainya suatu tata krama masyarakat yang sempurna dalam pergaulan di atas
segala garis-garis kebenaran untuk kesucian lahir dan bathin (Dharma tan kahanan mala).
Buku lain ada menyebutkan
bahwa etika itu adalah bentuk pengendalian diri dalam pergaulan hidup bersama.
Manusia adalah makhluk berteman, ia tidak dapat sendirian, ia selalu
bersama-sama dengan orang lain. Manusia hanya dapat hidup dengan sebaik-baiknya
dan manusia akan mempunyai arti, apabila ia hidup bersama-sama dengan manusia
lainnya di masyarakat. Tidak dapat dibayangkan adanya manusia yang hidup
menyendiri tanpa berhubungan dan tanpa bergaul dengan sesama manusia lainnya.
Hanya hidup bersama manusia dapat berkembang dengan wajar. Hal ini bahwa sejak
lahir sampai meninggal manusia memerlukan orang lain, untuk kesempurnaan
hidupnya. Bantuan ini tidak hanya bantuan untuk memenuhi kebutuhan rohani.
Manusia sangat memerlukan pengertian, kasih sayang, saling menghargai,
pengakuan dan tanggapan-tanggapan emosional yang sangat penting artinya bagi
pergaulan dan kelangsungan hidup.
Semua kebutuhan ini merupakan
kebutuhan rohani hanya dapat diperoleh dalam hubungannya dengan manusia lain di
masyarakat. Inilah kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Tak ada seorangpun
yang dapat mengingkari hal ini karena ternyata bahwa manusia baru disebut
manusia dalam hubungannya dengan orang lain, bukan dalam kesendirian. Dalam kehidupan bersama itu orang harus
mengatur dirinya bertingkah laku. Tak ada seorangpun yang boleh berbuat sekehendak
hatinya. Ia harus menyesuaikan dirinya dengan lingkungan, tunduk dengan aturan
bertingkah laku yang berlaku. Dengan demikian orang hanya bebas berbuat dalam
ikatan tingkah laku yang baik. Sehubungan dengan hal tersebut, Sarasamuscaya, menyebutkan sebagai berikut:
Matangnyan nihan kadāyakenaning wwang, tan
wāk, kāya, manah, kawarjanā, makolahang asubhakarma, ikang wwang
mulahaken ikang hayu, hayu tinemunya
yapwan hala pinakolahnya, hale dinemunya. (Sarasamuscaya,
156).
Terjemahan:
Oleh karena itu inilah yang harus diusahakan
orang, jangan (kau) biarkan kata-kata, laksana dan pikiran berbuat karma yang tidak baik sebab orang yang
mengusahakan yang baik, baik yang diperolehnya, jika jahat yang dilakukannya,
celaka yang diperolehnya. (Pudja, 1980: 88).
Berdasarkan kutipan di atas
menjelaskan bahwa manusia harus berbuat, berkata-kata dan berpikir yang baik
dan benar, sesuai dengan ketentuan yang sudah berlaku dalam ajaran agama. Baik
diperbuat maka hasilnya akan baik pula dan begitu sebaliknya jika berbuat yang
jelek atau salah maka hasilnya akan jelek pula diterimanya. Sehubungan dengan
uraian di atas maka dalam Lontar Tutur
Parakriya, menyebutkan mengenai larangan yang harus direnungkan sekaligus
dikerjakannya adalah sebagai berikut :
Ikanang sahalambana umidem, wastu tan ana
ikang pada; nira lambana umidem, wastu ana tambana; ikang kamangkana rwa, ya teka
aryakena denta. (Transkripsi
Lontar Tutur Parakriya, 13a).
Terjemahan:
Jika sahalambana
direnungkan, lalu tidak akan ada pada;
jika niralambana dipikirkan lalu akan
ada yang disebut dengan tambana, yang
keduanya itu tidak patut dikerjakan olehmu.
Berdasarkan kutipan di atas
menjelaskan tentang larangan-larangan yang tidak patut dikerjakannya atau
dilaksanakan oleh seseorang yang pada akhirnya akan menemui jalan buntu. Lontar
Tutur Parakriya menguatkan tentang peranan etik dalam usaha menuju alam
kebebasan, sebab perbuatan-perbuatan atau tata cara yang berpatokan pada etika
dapat mewujudkan ciri khas dari pelaksanaan bathin yang suci. Oleh karena itu
untuk berbuat etika oleh didukung oleh kesucian bathin, sehingga tindakan dalam
tingkah laku itu terjadi dengan kesungguhannya.
Selain itu juga untuk dapat
memahami ajaran Catur Pāramitha
tersebut, di bawah ini di sajikan beberapa bentuk larangan-larangan yang
pantang dilaksanakan oleh umat manuisa, sebagai berikut : 1) untuk dapat
berbuat Maitri, maka jangan
melakukan/ berbuat bencana yang bersifat maut (anta kabhaya) atau jangan membenci, 2) untuk dapat berbuat Karuna, maka pantang melakukan perbuatan
yang menyebabkan terjadinya penderitaan, tersiksa, kesengsaraan, atau jangan
bengis, 3) untuk dapat berbuat Mudita,
maka jangan melakukan perbuatan yang dapat menyebabkan orang lain susah, atau
jangan memiliki rasa irihati kepada orang lain, 4) untuk dapat berbuat Upekśā, maka pantang menghina orang
lain. Memandang rendah orang lain, menindas orang lain, atau selalu dapat
berusaha mengendalikan dorongan hawa nafsu jahat.
Kitab Sarasamuscaya menyebutkan sebagai
berikut :
Prawrtti rahayu kta sādhananing ramaksang
dharma, yapwan sang hyang aji, jnāna pageh ekstāna sādhana ri karaksanira,
kunang ikang rūpa, si radin pangraksa irika, yapwan kesujanman, kasuśīlan
sādhananing rumaksa ika. (Sarasamuscaya,
162).
Terjemahan:
Tingkah laku yang baik merupakan alat untuk menjaga dharma,
namun sastra suci, ilmu pengetahuan yang tetap dipegang teguh dan bulat
merupakan jalan untuk menjaganya, adapun rupa, kebersihanlah (cara)
pemeliharaannya, sedangkan kelahiran mulia, kesusilaan
juga sebagai sarananya unuk pemeliharaannya.
Pada
hakekatnya agama mempunyai makna yang sangat penting bagi manusia, agama
disebut dharma yang mempunyai tujuan
menuntun manusia untuk mencapai kesempurnaan hidup berupa kesucian bathin
laksana dan budhi pekerti serta kebahagiaan yang kekal abadi, yaitu sukha tanpawali duhka di dasarkan atas
nafsu duniawi yang dapat mengantarkan roh terbebas dari penjelmaan. Tujuan ini
sering diungkapkan dalam suatu kalimat dalam bahasa Sansekerta, yaitu “ Moksartham
Jagadhitaya ca iti Dharma” atau mencapai ”jagadhita” dan ”Moksa”. (Suhardana,
2007: 1). Jagadhita berarti
kesejahteraan jasmani dan Moksa berarti
ketentraman bathin atau kehidupan abadi dengan manunggalnya Ātman dengan Brahman. Dalam mengarungi bahtera kehidupan ini manusia sering
disesatkan oleh kabut kegelapan sebagai kebodohan dan ketidaksadaran yang
menimbulkan nafsu serakah, sering menjerumuskan mereka kelembah neraka. Membimbing
atau menuntun manusia agar tidak jatuh kelembah penderitaaan, Tuhan mewahyukan
ajaran kerohanian yang disebut dengan agama.
Agama mengajarkan kepada
umatnya untuk percaya dan menyembah Ida
Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa adalah satu-satunya jalan bagi
umat manusia untuk mencapai tujuan agama yaitu kesempurnaan hidup rohani maupun
jasmani. Tercapainya kesempurnaan tersebut maka pikiran kita harus mengarah
pada kesucian atau hal-hal utama dan mulia. Sehubungan dengan hal di atas, Lontar
Tutur Parakriya menyebutkan sebagai berikut :
Manah suniata, cita sunyata, yatat
suniata, ika kabeh ya ta kapangguh ikang parama niskala denta, ndia lwirnia
jnyana sunia nihan. (Transkripsi Lontar Tutur Parakriya,
12b).
Terjemahan:
pikiran utama, maksud utama, semuanya itu utama (sunya), jalan pikiran yang demikian itu,
dapat mencapai kesukaan lahir dan bathin olehnya.
Kutipan di atas menjelaskan
bahwa pikiran utama, maksud utama dan semuanya utama, jalan pikiran yang
demikian itu dapat tercapainya suatu kebahagiaan lahir dan bathin atau
kebahagiaan Jagadhita moksa.
Kebahagiaan Jagadhita yang
dimaksud adalah kesejahteraan duniawi yang merupakan salah satu aspek tujuan
dari dharma. Jadi dharma yang mengatur hidup dan kehidupan
manusia, itu bertujuan supaya manusia dapat mencapai kesejahteraan dunia.
Sedangkan untuk mencapai kebahagiaan rohani atau batin disebut dengan moksa atau kelepasan.
Sehubungan dengan hal
tersebut, kitab suci Sarasamuscaya menyebutkan sebagai berikut :
Anādi ketang janma ngaranya, tan
kinawruhan tembenya, luput kinalakaran, wilangning janmāntara, mewwiwut pwa
bapanta, ibunta, anakta, rabinta, ring sayugasayuga, paramārthanya, ndyang enak
katepetana sānu lawan ika, ndyang tuduhan anunta. (Sarasamuscaya,
486).
Terjemahan:
Tidak diketahui hubungan penjelmaan manusia itu
pada permulaannya, tidak dapat diperkirakan akan banyaknya penjelmaan yang
lain, beribu-ribu bapa, ibu, anak dan istri pada tiap-tiap yuga; pada hakekatnya, siapakah yang sebenarnya dapat mengatakan
dengan tepat keturunan mereka itu, dan yang mana dapat ditunjuk seketurunan
dengan engkau sendiri? (Pudja, 1980: 269).
Berdasarkan kutipan di atas
menjelaskan bahwa moksa adalah dimana
perasaan itu dilukiskan sebagai tingkat keadaan dimana rasa “akunya” tidak
dirasakan lagi adanya, demikian juga tidak adanya rasa senang atau duka
melainkan disadari sebagai satu tingkat kebahagiaan yang paling tinggi.
Berkenaan dengan kebahagiaan yang tinggi, maka Lontar Tutur Parakriya
ada menyebutkan kebenaran yang utama atau mulia, antara lain :
Ikang nada, nadanta, windu, ardacandra,
Ongkara pasamuhania, sedeng wisesaning mantra kabeh. Mangkana kamung Kumara.
Ikanang Ongkara pinakawakku kamung Kumara. Tan dadiana yan tan ana, Ongkara yan tan ana aku, ana aku ana Ongkara,ana
aku muwah ana ongkara, matangian ta ring aku magawe yoga. Ikanang windhu,
nada-nadanta, katiga pada suksmania, jawat wruhika tatelu, ya ta paramartawit;
wruh ring paramarta nga. (Transkripsi
Lontar Tutur Parakriya, 8a-8b).
Terjemahan:
Yang disebut nada,
windhu, ardacandra, itu ikut dalam Ongkara,
sebagai utamanya mantra semua. Begitu
halnya kamu Kumara! Tidak bisa jadi
itu ada, jika tidak ada Ongkara,
tidak ada aku, ada aku, ada Ongkara,
ada aku ada lagi Ongkara, itulah
sebabnya dari aku ada semua atau mengerjakannya. Itu windhu, nada-nada,
ketiganya sama-sama gaib, jika diketahui yang tiga tersebut, itulah keutamaan,
jadi mengetahui yang disebut dengan utama.
Berdasarkan kutipan di atas
menjelaskan yang disebut dengan nada,
windhu dan ardacandra itu ikut dalam Ongkara
sebagai utamanya mantra semua,
tidak ada Ongkara tidak ada Aku, jika
ada Ongkara ada Aku, dan itulah yang
menyebabkan semua ini ada, dan itu windhu,
nada dan ardacandra, ketiganya sama-sama gaib, apabila diketahui kesemua ini
itulah yang disebut dengan utama, dalam hal ini adalah simbul dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Demikianlah
keistimewaan dari Wijaksara Omkara itu,
yang jika dilukiskan dengan huruf latin nampaknya sangat sederhana, akan tetapi
mengandung makna filsafat ke-Tuhanan yang amat tinggi. Oleh karena demikian
tingginya filsafat itu, maka doa mantra (mantrātma) dan padma/ padmasana (baik
sebagai bangunan suci maupun sebagai perlengkapan upakara) itu selalu dijadikan media oleh umat Hindu pada umumnya,
untuk mengkongkritkan keyakinan (sradha)
terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan
Yang Maha Esa pada melakukan puja bhakti.
Bhakti artinya cinta
kasih. Dengan sujud bhakti,
menyucikan pikiran mengagungkan kebesaran-Nya dan menghindari diri dari segala
perbuatan tercela digunakan untuk
menyatakan cinta kepada sesuatu yang lebih tinggi atau dihormati. Bhakti dapat dibagi menjadi dua bagian
yaitu Aparabhakti dan Para bhakti. (Sukartha, dkk, 2003: 25).
Aparabhakti adalah
cinta kasih yang merupakan perwujudannya masih lebih rendah dan dipraktikkan
oleh mereka yang belum mempunyai tingkat kesucian yang tinggi. Sedangkan Para bhakti adalah cinta kasih dalam
perwujudannya yang lebih tinggi dan bisa dipraktikkan oleh orang yang jñananya tinggi dan kesuciannya sudah meningkat.
Ajaran bhakti adalah ajaran yang langsung dan riil mencari Tuhan, ajaran
alamiah, ajaran yang mudah diterima dan dilaksanakan oleh orang awam. Ajaran
yang sejak dari awal permulaan, pertengahan dan akhir tetap bergerak di dalam
getaran cinta kasih. Ajaran bhakti adalah
ajaran yang mudah dilaksanakan oleh segala tingkat dan sifat manusia. Baik
orang miskin, pedagang, orang kaya, pejabat pemerintahan, orang pandai maupun
kurang pengetahuan. Karena itu seorang bhakti
langsung menikmati buahnya agama, di mana
cinta sebagai alat dan cinta kasih, cinta kepada Tuhan, cinta kepada Alam
Semesta Tuhan ini.
Bagi seorang bhakta tidak perlu tahu apakah Tuhan itu
baik atau buruk, apakah Tuhan itu kecil atau besar, kuasa atau tidak kuasa,
yang penting bagi mereka Tuhan itu adalah yang dicintai. Seorang bhakta mencintai Tuhan bukan karena
ingin mendapat imbalan supaya masuk sorga ataupun moksa, karena bagi mereka kebahagiaan tertinggi itu adalah bercinta
dengan Tuhan. Bhakti/ bhakta marga menggunakan rasa sebagai sarana, rasa cinta yang alamiah
tetapi meluap-luap, rasa cinta yang mengalir seperti aliran sungai yang bergerak
dengan deras karena rindunya bertemu dengan lautan. Dapat pula diumpamakan pula
seperti tumbuh-tumbuhan merambat yang lemah melihat dengan setianya karya besar
dari bawah sampai ke puncak, begitu juga seorang bhakti yang melekatkan diri dengan Tuhan tidak pernah melepaskan
diri sekejappun. Walaupun sebagai manusia awam yang tidak tahu apa-apa tetapi
dengan bhakti mereka menyatukan diri
dengan Tuhan.
Sebagaimana diketahui bahwa
manusia adalah mahkluk ciptaaan Tuhan yang mampu menciptakan budaya yang berguna
untuk kelangsungan hidupnya. Pada dasarnya tujuan hidup manusia untuk mencapai
kelepasan. Hal itu hanya dapat dicapai melalui dengan rasa bhakti, bekerja keras atau berbuat kebajikan dalam hidup ini. Hanya
lahir sebagai manusia inilah kita dapat memperbaiki kadar hidupnya untuk menuju
taraf hidup yang diinginkan yaitu moksa. Tanpa melalui hidup atau kelahiran kita tidak bisa untuk mencapai
kesempurnaan. Maka untuk itu bersyukur lahir menjadi manusia mendapat
kesempatan baik untuk melakukan perbuatan yang baik sehingga pada suatu saat
dapat hidup secara kekal dan abadi. Dalam hidup ini, kita dapat menikmati
ajaran kesucian yang menuntun umat manusia agar berbuat sesuai dengan
norma-norma hukum dan norma-norma agama yang dianutnya. Jadi tujuan hidup adalah
berbuat kebajikan yang merupakan titik tolak untuk menuju kelepasan, Sarasamuscaya
menyebutkan sebagai
berikut:
Paramarthanya pengpenge ta pwa ka temwaniking
si dadi wwang durlabha wiya ta, sāksāt handaning mararing swarga ika,
sanimittaning tan tiba muwahta pwa damelakena. (Sarasamuscaya,
6).
Terjemahan:
Tujuan terpenting, pergunakanlah sebaik-baiknya
kesempatan lahir menjadi manusia ini, sungguh sulit untuk diperolehnya, laksana
tangga menuju ke surga, segala yang menyebabkan tidak akan jatuh lagi, itu
hendaknya supaya dipegang. ( Pudja, 1980: 12).
Berdasarkan kutipan di atas
menjelaskan, bahwa maksud dan tujuan menjalankan dharma selama hidup sebagai manusia karena hanya sebagai manusia
itulah seseorang akan dapat berbuat baik
karena manusia dapat membedakan hal yang baik dari yang buruk. Hidup ini
dianggap sebagai satu jembatan dan keberhasilan
seseorang memanfaatkan jembatan ini untuk dapat ia masuk ke surga
tergantung cara mengaplikasikan dharma.
Pernyataan ini mengandung arti perintah dengan segala konsekwensinya, yaitu
tidak dilaksanakan penderitaan akibatnya, dan sebaliknya dipatuhi, surga
pahalanya.
Ajaran suci agama yang
diwahyukan ke dunia dengan perantara para Rsi,
merupakan pembimbing manusia untuk mencapai kesempurnaan hidupnya. Di samping
itu ada pula orang-orang yang hidup
tentram, selama hidupnya selalu berbuat kebajikan, beramal dengan mengabdi
terhadap sesamanya mengenal prikemanusiaan dan prikeadilan. Selain itu ada pula
orang-orang yang hidup tenang, terlepas dari tekanan pasang surutnya gelombang
hidup duniawi yang menimbulkan nikmat dan duka. Dalam hal inilah dapat
dikatakan seseorang telah mencapai moksa.
Berdasarkan uraian di atas, mempelajari dan
menghayati serta nantinya dapat diaplikasikan,
karena semua manusia yang hidup yang ada di dunia (alam semesta) ini
menginginkan hidup yang harmonis antara manusia dengan Tuhan, antara manusia
dengan manusia dan antara manusia dengan alam semesta serta mengajarkan tentang
moksa atau kelepasan.
Mendalami Lontar Tutur Parakriya adalah suatu pedoman hidup di dalam
menunjang hidup dan kehidupan asalnya dari ciptaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/
Tuhan Yang Maha Esa, dimana hidup sebagai mahkluk utama tidak bisa lepas dari
pedoman dasar hidup manusia yakni ; a) bekerja artinya sebagai manusia harus
berkerja untuk mencukupi kebutuhan hidupnya
berlandaskan dharma sebagai
rambu-rambu hidup dalam kehidupan ini,
b) belajar dharma atau tattwa artinya sebagai manusia selalu
belajar karena belajar tidak akan pernah berakhir selama manusia hidup sehingga
bisa berwiweka, melaksanakan
perbuatan baik (śubhakarma) dan
menghindari perbuatan kurang baik (aśubhakarma),
c) mengabdi dan berbhakti artinya
sebagai manusia harus berbhakti
kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa/
Tuhan Yang Maha Esa, leluhur/ orang tua, dan sesama sehingga terjadi
keharmonisan, keserasian, keseimbangan dalam kehidupan agar tercipta suasana
yang aman, tentram, damai, d) bermasyarakat atau bergaul yang positif, artinya
pergaulan menentukan segalanya, salah bergaul misalnya bergaul dengan penjahat,
akan tertular tabiat tersebut, untuk itu pilih-pilihlah dalam pergaulan.(Wawancara,
Karang: 18 April 2008). Menurut Gautama wawancara tanggal 23 April 2008
menyatakan bahwa cara mengaplikasikan ajaran susila khususnya Catur
Pāramitha adalah dengan melakukan Dharma
Yajña. Dharma Yajña yang
dimaksudkan adalah segala sesuatu berbuatan harus berlandaskan dharma.
Selain itu dengan perbuatan
yang benar (susila), seseorang dapat
mencapai tujuan yang dicita-citakan. Terkait dengan penjelasan di atas, Manawa Dharmasastara menyebutkan sebagai berikut :
Tesu samyag warta mano
gacchatya mara lokatam,
yatha samkalpitamccena
sarwam kamansamaśnute. (Manawa
Dharmasastra II.5).
Terjemahan:
Ia yang tekun melakukan tugas-tugas yang telah
ditentukan ini cara-cara yang benar dengan mencapai keadaan yang abadi walaupun
dalam hidup ini sekalipun terpenuhi segala keinginan-keinginan yang mungkin
diidam-idamkannnya. ( Pudja dan Sudharta, 2003: 61).
Kutipan di atas menjelaskan tentang melakukan
tugas-tugas yang tidak lepas mengikuti atau menuruti cara-cara yang terdapat
dalam usaha untuk mencapi tujuan tertentu yang merupakan salah satu pencerminan
ajaran Agama Hindu.
Cara mengaplikasikan ajaran susila dalam masyarakat adalah menekuni
sesungguhnya hakikat menjadi manusia agar dapat membedakan mana yang baik dan
yang buruk, sebab dilahirkan menjadi manusia harus menjalankan ajaran
agama, sebab bilamana tidak demikian
tidak ada gunanya hidup di dunia ini. Hal ini tatkala Dukuh Wanasara memberikan wejangan kepada putranya, I Wayan Cita setelah melakukan kesalahan tidak menekuni ajaran agama dan
selalu mengikuti hawa nafsu, berjudi dengan I
Rajas, meminta-minta agar tidak bekerja dengan I Tamas dan akhirnya Dukuh
Wanasara menitipkan kepada I Satua
yang mempunyai budhi sadhu,
menjalankan ajaran dharma, belas
kasihan. Geguritan Dukuh Wanasara menyebutkan
seperti di bawah ini:
I
Dukuh mesaur nimbal
Pengampurane
sujati
Tongos
caine melajah
Matitisang
ne satuhu
Tuhuning
dadi manusa
Lekad
dini
Di
gumi sandang kenehang
(Geguritan
Dukuh Wanasara, lampiran 54a bait 6).
Terjemahan:
I Dukuh menyela
Yang dapat memaafkan kesungguhan
Adalah kesungguhan dirimu belajar
Menekuni apa yang sesungguhnya
Hakikat menjadi manusia
Lahir di sini
Di bumi ini adalah yang mesti dipikirkan (Medera, dkk,1986:
157).
Dugas
cai enu dibasang
Kabobotang
baan i bibi
Peteng
tuara nawang galang
Kutus
bulan suen ipun
Di
subane cai lekad
Maring
gumi
Yan
tan manut sastra gama
(Geguritan
Dukuh Wanasara, lampiran 54a bait 7).
Terjemahan:
Tatkala engkau masih di dalam perut
Dalam perut sang ibu
Gelap tidak melihat terang
Delapan bulan lamanya
Setelah engkau lahir
Di bumi
Kalau tidak menuruti ajaran agama. (Medera, dkk,
1986: 157).
Saurip
tuara nawang galang
Kapetengan
sai-sai
Nirdon
hidup ring jagat
Boya
mati boya idup
Boya
sato boya jadma
Keto
cai
Pineh-pineh
apang melah
(Geguritan
Dukuh Wanasara, lampiran 54a bait 8).
Terjemahan:
Seumur hidup engkau tidak mengetahui terang
Senantiasa kegelapan
Tidak ada gunanyua hidup di dunia
Karena bukan mati dan bukan hidup
Bukan binatang bukan pula manusia
Demikianlah supaya engkau
Memikirkan dengan baik. (Medera, dkk,1986: 157).
Menguasai ajaran-ajaran yang terdapat dalam Lontar Tutur Parakriya,
maka hendaknya memiliki sifat-sifat sattwam
dan mengendalikan sifat rajas dan tamas, seperti: tabah di dalam
menghadapi cobaan-cobaan hidup yang penuh dengan suka dan duka, tekun
mengerjakan suatu pekerjaan yang bermanfaat bagi dirinya dan orang banyak tanpa
memperhitungkan untung dan rugi, selalu melaksanakan dana-punya kepada orang lain yang memerlukannya, baik berupa materi
maupun spiritual, selalu taat mempelajari ilmu kesucian dan bhakti serta sifat-sifat mulia lainnya
yang sangat bermanfaat bagi dirinya maupun orang banyak.
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Sesuai
dengan uraian tentang “Ajaran Tattwa
dan Etika dalam Lontar Tutur Parakriya”
yang telah dipaparkan di atas, beberapa hal penting dapat penulis simpulkan
sebagai berikut:
5.1.1 Ajaran tattwa yaitu moksa adalah dapat tercapai bila seseorang di dalam
hidup dan kehidupannya selalu di landasi dengan perbuatan yang digolongkan pada
sifat kedewataan yakni perbuatan yang selalu menonjolkan sifat sattwam.
5.1.2 Ajaran
etika, yaitu dapat menuntun seseorang di dalam kehidupannya untuk selalu
berbuat yang luhur, melaksanakan kebajikan atas dasar Catur Pāramitha, yaitu: 1) untuk dapat berbuat Metri, maka jangan melakukan/ berbuat
bencana yang bersifat maut (anta kabhaya)
atau jangan membenci, 2) untuk dapat berbuat Karuna, maka pantang melakukan perbuatan yang menyebabkan
terjadinya penderitaan, tersiksa, kesengsaraan, atau jangan bengis, 3) untuk
dapat berbuat Mudita, maka jangan
melakukan perbuatan yang dapat menyebabkan orang lain susah, atau jangan
memiliki rasa irihati kepada orang lain, 4) untuk dapat berbuat Upekśā, maka pantang menghina orang
lain. Memandang rendah orang lain, menindas orang lain, atau selalu dapat
berusaha mengendalikan dorongan hawa nafsu jahat. Tuntunan susila yang mulia dan luhur itu harus diaplikasikan sehingga
terjadi keharmonisan antar sesama dan selalu berbuat Śubhakarma dan menjauhi perbuatan yang Aśubhakarma karena jalan itulah sesuai dengan tentunya ajaran Agama
Hindu.
5.2 Saran
Penelitian yang dilakukan
terhadap Lontar Tutur Parakriya ini
masih belum sempurna dengan keterbatasan pengetahuan dan pengalaman sehingga
masih memungkinkan ada ajaran-ajaran yang belum tersentuh. Sehubungan dengan
hal tersebut, disarankan:
5.2.1 Bagi
pemerintah agar lebih memperhatikan kajian teks tradisi semacam ini, karena di
samping merupakan warisan dari leluhur
juga di dalamnya terkandung ajaran-ajaran budi pakerti luhur yang
berguna bagi masyarakat khususnya generasi muda untuk dapat menjalani
kehidupan sehingga dalam mengambil
keputusan atau kebijakan atau pembinaan moralitas generasi muda di masa
mendatang lebih fokus dan tepat sasaran.
5.2.2 Bagi masyarakat, agar tidak pernah melupakan
ajaran-ajaran yang terkandung dalam
susastra Hindu sebagai bentuk ajaran agama yang dapat diterapkan atau
diaplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari.
5.2.3 Bagi lembaga pendidikan yang bernafaskan
Hindu, agar lebih memperhatikan kajian teks semacam ini karena ajaran-ajaan
yang terdapat di dalamnya dapat diterapkan
sehingga umat Hindu pada khususnya dapat mengetahui dan memahami
ajaran-ajaran yang terdapat di dalam Agama Hindu.
5.2.4 Bagi peneliti selanjutnya agar dapat mengambil obyek kajian yang lebih
komprehensif dan tulisan sebagai jembatan informasi dalam mengkaji lontar yang mempunyai pembahasan serupa.
ABSTRAK
Agama Hindu adalah bersumber kepada wahyu Tuhan
yang terhimpun dalam kitab Catur Veda yaitu
Reg Veda, Sama Veda, Yajur Veda dan Atharwa Veda. Mengakui Veda
sebagai kitab suci, berarti harus percaya memberi petunjuk tentang wujud Agama
Hindu, baik itu tata laksananya, pokok-pokok keimanan dan lain sebagainya yang
merupakan penerangan atau obor bagi manusia di dalam mengarungi bahtera
kehidupan di dunia atau alam semesta ini, yang penuh suka dan duka. Agama
merupakan bagian yang hakiki dari kehidupan manusia, ternyata dapat memberi
andil yang besar dalam menuntun manusia untuk menghadapi gelombang kehidupan. Memasuki
era modernisasi, satu aspek tersebut tercermin pada tata masyarakat dan
hubungan sosial. Ajaran-ajaran Agama Hindu banyak tertulis pada daun lontar yang perlu dilestarikan dengan jalan
menggali dan mendalami isinya untuk segera disampaikan kepada umat sehingga
dapat membias dikalangan masyarakat, sesuai dengan perkembangan jaman dewasa
ini. Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat dirumuskan dua masalah yakni:
1) Bagaimana Ajaran Tattwa dalam Lontar Tutur Parakriya?, 2) Bagaimana Ajaran Etika dalam Lontar Tutur Parakriya?. Sesuai dengan
rumusan masalah yang dikemukakan, ada dua tujuan penulisan, yaitu tujuan umum
dan tujuan khusus. Penelitian ini tentunya memerlukan data yang dipakai dalam
pembahasan. Data ini diperoleh menggunakan metode, dan metode ini juga harus
tepat agar data yang didapatkan bisa akurat dan mendukung hasil penelitian.
Jenis penelitian ini adalah kualitatif karena merupakan penelitian teks atau
penelitian pustaka (library research)
yang sumber data primernya adalah berupa Lontar
Tutur Parakriya yang telah ditranskrip ke dalam bentuk naskah/ teks. Studi
kepustakaan dan wawancara digunakan sebagai metode pengumpulan data dan
selanjutnya dilakukan pengolahan data deskriptif
kualitatif.
Sepengetahuan peneliti belum ada yang meneliti Lontar Tutur Parakriya
sehingga hanya berdasarkan pada
transkrip naskah/ teksnya saja sebagai tinjauan
pustaka. Mengkaji lontar ini juga
digunakan landasan konsep
untuk menggambarkan permasalahan yang akan dibahas. Di samping itu teori yang
digunakan dalam membedah permasalahan ini adalah teori Hermeneutik untuk
mencari makna atau ajaran yang terkandung di dalamnya.
Hasil penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan Lontar
Tutur Parakriya, isi
ringkas Lontar Tutur Parakriya,
isi pokok Lontar Tutur Parakriya yaitu: Ketuhanan, yoga, Tri Guna dan
hubungan bhuana agung dengan bhuana alit dalam lontar ini. Sedangkan ajaran yang diteliti adalah 1) ajaran tattwa merupakan petuah-petuah atau nasehat-nasehat
untuk mengajarkan umat Hindu agar bisa mendapatkan kesempurnaan lahir maupun
bathin yang kekal abadi (Moksa atau
Kenirwanaan) dan 2) ajaran etika adalah menuntun seseorang di dalam
kehidupan ini untuk selalu berbuat yang mulia dan luhur, melaksanakan kebajikan
atas dasar Catur Pāramitha, terdiri
dari: Maitri, Karuna, Mudhita, Upeksā sehingga
terjadi keselarasan, keharmonisan, dan keserasian baik terhadap sesama manusia
dan berbhakti kepada Sang Pencipta yaitu Ida Sang Hyang Widhi Wasa/
Tuhan Yang Maha Esa.
DAFTAR PUSTAKA
LONTAR : Transkrip Lontar Tutur Para Kriya, Koleksi
Gedong Kirtya Singaraja No.
IIIB.601/1.
BUKU :
Astra, Semadi I Gede, G. Sura, Ida Bagus
Gde Agastya, Wayan Musna, Luh Suiti, Wayan Cika, I Gusti Ketut Dalem, 2001, Kamus Sansekerta-Indonesia, Milik
Pemerintah Propinsi Bali.
Bungin, Burhan, 2001, Metodologi Penelitian Sosial Format-format Kuantitatif
dan Kualitatif, Surabaya: Airlangga University Press.
Cudamani, 1993, Pengantar Agama Hindu untuk Perguruan Tinggi, Jakarta: Hanuman
Sakti.
Djarwanto, Djamarah, 1984, Pokok-pokok
Metode Reset dan Bimbingan Teknis Penulisan Skripsi, Yogyakarta: Liberty.
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 2001, Kamus Besar Bahasa Indonesia
Edisi Kedua Jakarta: Balai Pustaka.
Gulö W, 2002, Metodologi
Penelitian, Jakarta:
Graznido.
Iqbal Hasan, M, 2002, Pokok-pokok
Materi Metodologi Penelitian Dan Aplikasinya, Jakarta:
Ghalia Indonesia.
Kemenuh, Ida Pedanda Putra, 1983, Geguritan Dharma Prawretti, Singaraja,
Kantor Departemen Kabupaten Buleleng.
Kleden, Ignas, 1996, Pergeseran Nilai Moral. Perkembangan Seni dan Perubahan Sosial, Jakarta: Pustaka Grafiti.
Oka, Ida Bagus, 1984, Panca Sradha, Denpasar: Parisada Hindu Dharma Pusat.
Oka, Agung I Gusti, 1992, Slokantara, Jakarta: Hanuman Sakti.
Mantra, Ida Bagus, 1997, Tata Susila Hindu Dharma, Denpasar:
Upada Sastra.
Mardiwarsito, L, 1981, Kamus Jawa Kuno-Indonesia, Flores: Nusa
Indah.
Medera, dkk, 1986, Terjemahan Dan Kajian Nilai Astadasaparwa, Proyek Penelitian Dan
Pengkajian Kebudayaan Bali, Direktorat Jendral Kebudayaan Departemen Pendidikan
Dan Kebudayaan.
Moleong, Lexy J., 2001, Metodologi
Penelitian Kualitatif, Bandung:
PT Remaja Rosdakarya.
Muhadjir, 1990, Metodologi Penelitian, Singaraja: Tod FKIP. UNUD.
Ndraha, Taliduhu, 1987, Research Teori Metodologi Administrasi,
Jakarta: Bima Akasa.
Proyek Penyuluhan Agama dan Penerbitan
Buku Agama, 1988, Upadesa tentang
Ajaran-ajaran Agama Hindu, tp.
Pudja, G, 1980, Sarasamuscaya,
tp.
Pudja, G, K. Wiana, Ida Bagus Kade Sindhu, 1983, Tattwa Darsana untuk Kelas II PGA Hindu Cetakan
I, Jakarta:
Proyek Pembinaan Mutu Pendidikan Agama Hindu Dan Budha Departemen Agama.
Pudja, I Gede, 1985, Pengantar
Agama Hindu Jilid I untuk Perguruan Tinggi, Jakarta: Mayasari.
Pudja, G, Sudharta, Rai Tjokorda, 2003, Manawa Dharmasastra, Jakarta:
Pustaka Mitra Jaya.
Pudja, G, 2005, Bhagawadgita,
Surabaya: Paramita.
Redana, Made, 2004, Metodologi Penelitian, Denpasar: Sekolah Tinggi Agama Hindu.
Redana, Made, 2006, Panduan Praktis Penulisan Karya Ilmiah Dan Proposal Riset dilengkapi Contoh Proposal Riset, Denpasar: IHDN.
Simpen, AB W, 1985, Kamus Bahasa Bali, Denpasar: PT. Mabhakti.
Śivānanda, Śrī Swāmī, 2003, Intisari Agama Hindu, Surabaya: Paramita.
Soelaeman, Munandar M, 1995, Ilmu Sosal Dasar, Bandung: PT Eresco.
Somvir, 2003, Niti Sataka, Denpasar: PT. Mabhakti.
Sudirga, Ida Bagus, I Wayan Sumawa, I
Nengah Mudana, Ida Bagus Ngurah, Ni Wayan Suratmini, 2004, Widya Dharma Agama Hindu untuk SMA Kelas X, Jakarta: Ganeca Exact.
Sudirga, Ida Bagus, I Nengah Mudana, Ni
Wayan Suratmini, I Made Arya, 2007, Widya
Dharma Agama Hindu untuk SMA Kelas XII, Jakarta: Ganeca Exact.
Sugiono, 2005, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: CV. Alfabeta.
Suhardana, K.M, 2007, Tri Kaya Parisuda, Surabaya: Penerbit Paramita.
Supartha, Gusti Agung Made, 2003, Geguritan Pandawa Seda, Ketugtug, Loloan
Barat, Jembrana untuk keperluan sendiri.
Sukartha, Ketut, Nyoman Sudha Supartha, I
Made Sandiarta, Ni Wayan Wiryani, Agama
Hindu untuk SLTP Kelas 2, Jakarta: Ganeca Exact.
Sura, I Gde, Ida Bagus Kade Sindhu, Ida
Bagus Gde Agastya, 1981, Pengantar Tattwa
Darsana Filsafat Jilid I untuk Kelas I PGAH Negeri Denpasar.
Sura, I Gede, Ida Bagus Kade Sindhu, I
Gusti Ketut Dalem, 1994, Agama Hindu
Sebuah Pengantar, Denpasar: CV. Kayumas Agung.
Sura, I Gede, 2001, Pengendalian Diri dan Etika Dalam Ajaran Agama Hindu, Jakarta: Hanuman Sakti.
Syaifudin, Aswar, 1998, Metode Penelitian, Jakarta: Rineka
Cipta.
Titib, I Made, 1994, Untaian Ratna Sari Upanisad, Denpasar: Yayasan Dharma Naradha.
Triguna IB Gde Yudha, 2000, Teori Tentang Simbol, Denpasar: Widya
Dharma Universitas Hindu Indonesia.
Wiryamartana, 1990, Arjunawiwaha, Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Wojowasito, S, 1977, Kamus Kawi-Indonesia, CV. Pengarang.
Zoetmulder, PJ, 1994, Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang, Penerbit Djambatan.
Zoetmulder, PJ, 1995, Kamus Jawa Kuno-Indonesia,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
DAFTAR INFORMAN
1. Nama : I Wayan Budha Gautama
Umur : 68 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pendidikan : Diploma
Pekerjaan : Penulis Lontar dan Tembaga
Alamat : Banjar Mantring Petak, Gianyar
2. Nama :
I Made Karang
Umur :
58 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pendidikan : S2
Pekerjaan : Tokoh masyarakat/ Kepala Sekolah
Alamat : Banjar Belatung, Desa
Batusesa, Rendang, Karangasem
3. Nama :
I Gusti Bagus Sudiasta
Umur :
55 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pendidikan :
Sarjana Muda
Pekerjaan :
Staf Museum Gedong Kirtya, Singaraja
Alamat :
Banjar Jero Gusti, Desa Bungkulan, Singaraja.
4. Nama :
I Ketut Sideyadnya
Umur :
40 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pendidikan : S1
Pekerjaan :
Guru Agama Hindu
Alamat :
Banjar Undisan Kelod, Desa Undisan, Tembuku, Bangli
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 01.
No. IIIB.601/1
Verzameld door: Kirtya
Uit: Tampaksiring (Gianyar)
Ontvangen: 14 Mei 1929
Getikt: 25 November 1941
Door: I Gde Sudira
Nagekeken door: I Gusti Bagus Jelantik
Tutur Parakriya
1b. Ong
Nama Siwaya.
Parakriya sastrakayajnyah,
nistayoga nilasini,
vinayo mohayopresni,
saputra Siva mangravit.
Batari Uma mawuwus: Pradana
sastra kabeh tan ana mungguh nira ring aji. Ndan dana tan nistayoga nga. wenang
tamtamana mangdadiaken kamoksan ya tika tapwan aweruh nira tinakwan anaknira
Bhatara Iswara. Rowang nira atakwan Sang
Hyang Kumara, ndan sahopancopacarasara, ikang ling nira patakwan ring Bhatara.
Manasande apurvatat,
savice visakaranam,
mahtapitar srejet srestat,
sarva vastu brevamhime.
Kasihana ranak Batara, warahen sangkaning dadi Batara, apan Batara Jagatkanta gumawe ikang buwana,
nguniweh ikang watek dewata kabeh, sakari
punggung ingulun, ri sangkan Batara-batari gumawe ngulun,
2a. matangian warahania ngulun. Nahan ling Sang
Kumara, Dewa Uwaca.
Ujar batara, lingnira:
Evam putram mahapresnam,
sarva sande ladasanam,
sande tvanging satataga,
vaksiami sranu evidih.
Ngke takwanta kamung Kumara, tan paingania mulana, tan papadan sresnanta
ring kadi kami, away sangsaya warahangkwi kita anaku, prayatna ta kita
rumangrwa wuwus kami mwang Ki Batari.
Na besmi, na jagenam puy,
na tejo, na camarutah,
na surya, candra, sarvepi,
nata sidantaram bavet.
Tan ana lemah, tan
anangjala, tan anang teja muwah angin lawan candra, ditya muwah akasa, tan ana
wintang, tan ana kabeh.
na gora, na mega, na geni,
na ratri, na dinantata,
na marma lan avidiutneva,
ati suksman gavet sada.
Tan ana sabda, tan anang mega,
tan anang dina ratri, tan angin, tan udan,
2b. tan ana kilap, tan ana kabeh. Yatika sunya
nga. nitya tan kahilangan. Ngkana ta sangkaning mami purwa. Nahan
sangkaningdadi.
Niskala jayate matrah,
matratna danta jayate,
nadanta jayate nadah,
nada vindu samudbavah.
Sakari niskala, ana tan matra, mijil sangkeriya, sakeng nadanta, ana
ta nada mijil sangkeriya, sakeng nada, ana windu mijil sangkeriya.
Vindoh, candrah, samudbavah,
candradiswah samudbavah,
visva triaksara jayantu,
triaksara Brahmajayate.
Brahmapancaksaram buta,
sarva aksara dvarivije,
pancaksara dvaram devam,
vianjana mantra mutamam.
Sakeng windu ana ta ardacandra,
mijil sakengriya, sakeng ardacandra ana awiswa mijil sakengriya, sangke wiswa,
ana ta triaksara mijil sangkeriya, sakeng triaksara ana ta pancabrahma
mijil sakengriya,
3a. sakeng pancabrahma ana ta pancaksara mijil
sakengriya, sakeng pancaksara ana ta
swara aksara mijil sakengriya, ana ta swara wianjana nga. ya ta mantrotama nga.
Nahan ta kramania kamung Kumara.
Svara
vianjana tojnyeyah,
sarva
de ina digine,
paso
de sesu sang yuktah,
deva
murti pratistitah.
Ikanang
swara lawan wianjana kawruhananta ya, an pinaka
wak de batara wuwah dewa kabeh, ya ta
gelarakenanten ring sodasa desa,
awakakena Sang Hiang, kawruhana
ta anaku.
Samantra
savidikramah,
svarupam Devatah Smaret,
hrediptamtoladijnyeyah,
prayatna
ya Panditasada.
Deyanta
wruh irikang dewata kabeh kamung Kumara, samantra-mantra
kabeh
nahan taryanta, kembangn wija, dupa-dipa, gandaksata, idepan taru
3b. Sang Hiang atinta, prayatna sadanitia ta
kita ring deya.
Mang
purva kon asta,
ang
daksina kon asta,
ung
utara kon asta.
Ika
ongkara, Dewatania ardacandra Mahadewa Dewatania, windu Siwa Dewatania, mantra Dewa Guru Dewatania.
Nahan deya Sang Yogiswara magawe yoga, ya ta margining-pada moksah
ika.
Ong,
cong, jong, bang, nyang
pinakawakning
pancawara, wruhanta Kumara.
Wang,
tang, dang, dang, gang, yang, lang,
nahan
ta mantra pinakwaning saptawara.
Tang, tang,dang, dang, bang, bang,
nahan nahan
ta mantra pinaka sadwara.
Tang, sang, mang,
nahan ta mantra awakning pitara.
Pang, pritivi saniasia.
Gong, akasasta Devaca,
surya, candra, pratistena.
Rong, cong, manantrena caniaset.
Ika mantra pinaka pritiwi. Gong
pinakakasa, rong pinaka ditia, cong pinakacandra ika.
4a. Deva
Guru pratistanam,
klong mantram sahavarnakam.
Ikang mantra klong pinaka ikang guru pada ika.
Nandisvara Mahakala
dvaradimo pratistanam,
kong nong mantrana sayuktam,
sanditeh suprayatnatah.
Ikang mantra kong
pinakanandiswara, nyong pinaka mahakala. Nahan ta deya Sang Pandita,
sumangsipta sira, prayatna ta kamung Kumara.
Ngaisah purwa wijnyeyah,
agne jetu Maheswarah,
Brahma midaksinejnyeyah,
neriti Rudra evaca.
Pascimantu Mahadevah,
vayabiam Sangkarastata,
Visnu utara vijnyeyah,
airsaniam Samburevaca.
Adohara itijnyeyah,
madiancapi Sadasivah,
arda Paramasiva,
itiam Dewa prastititah.
Varmakalanca mretiunca,
trotavisva kamastata,
Pasupatisca satiasca,
pratista marato vudah.
4b. Ika ta magawe idep ring ati, Iswara ring
Purwa,
Maheswara agneya, Brahma daksina, Rdra neriti, Mahadewa pascima, Sangkara
wayabia, Wisnu utara, Sambhu airsania, Siwatma ring arda, sadasiwa ring madia,
Paramasiwa ring arda, Dharma Hiang karuniang purwa lawan gneya, Kala
wiantaraning agneya lawan daksina, Mreteyu wiantaraning daksina lawan neriti,
Krodha wiantaraning neriti lawan pascima, Wisma wiantaraning pascima lawan
wayabia, kama wiantaraning wayabia lawan utara, Pasupati wiantaraning uttara
lawan airsania, Satia wiantaraning airsania lawan purwa.
Evam Devo susatkarma,
anta etuh yasa kramam,
sarva Devata tistena,
sodana sadesastitah.
A a purvantu sakatah,
i i daksina evaca,
u u pascima tojnyeyah,
ro ro utara saniaset.
Rva mantreti sayuktah,
vidaji vatu lan ukam.
5a. Deyanta pratista Dewata, kamung Kumara.
Ong ang Isanaya namah svaha,
pur;
ong ang Mahesvaraya
namah svaha, a;
ong ing Brahmane namah
svaha, da;
ong ing Rudraya namah
svaha, ne;
u u pascima tejnyeyah,
ro ro utara saniaset,
eva mantrena sang yuktah,
Vidi satvatu sang
nemukam;
ong ung Mahadevaya
namah svaha, pa;
ong ung Sangkaraya
namah svaha, ba;
ong reng Vescave namah
svaha, u;
ong reng Sambave namah
svaha, e;
nahan ta mantra kamung
Kumara.
Le le antara saniasia,
agneya daksine tata;
e e antarania asia,
daksina pascima bavet;
o o mantrena sayuktah,
utare pascime niaset;
ah ah utare sang yuktam,
utare purva saniaset;
ong leng darmaya namah svaha,
pur gneya antara;
ong leng kalaya namah svaha,
agneya daksina antara;
ong eng Mretiuve namah svaha,
5b. daksina
neriti antara;
ong aing krodaya namah
svaha,
neriti pascima antara;
ong ong visvaya namah svaha,
pascima vayabia antara,
ong ong kamaya namah svaha,
vayabia utara antaram,
ong ang Pasupatiya namah
svaha,
utaresania antara;
ong ah satiaya namah svaha,
airsania purva antara.
Madianglongkara sayuktah,
Sadasiva stati-stati,
eva mantreta sayuktah,
Deva antarantu Panditah.
Ong hlong Sadasivaya
namah svaha, ma.
nahan ta Sang Pandita
deya mahawesmarana, kamung Kumara.
Isavarnanca svatanggam,
mahesanumrani tata,
Brahmavarnanta raktana,
Rudraloha dravantata.
Pitavarnanca madevah,
Sangkarakana kadravah,
Kresna Visnusca
sajnyeyah,
Sambu andavarnarakam.
Megavarnanca raktanam,
Mretiuvarnanca
kresnata,
kroda magiscavarnakah,
darma santavarnanikah.
Visvabana puspavarna,
ngkamavarnasca kicakam,
6a. Pasupatisca candrasca,
satia dumrencavarnakam.
Sivam apatikavarnanca,
madie yogah pratistatah,
evavarnanca Devanam,
bruhi putra sasanukam.
De yan ta magawe yoga
kamung Kumara, rupa Batara Sangkara kadi mas, rupan Batara Pasupati kadi ulam, rupan Batara
Satia kadi kukus, rupan Batara sadasiwa kadi spatika, rupan Batara Iswara kadi
ira, rupan Batara Parameswara kadi pila, rupa Batara Brahma rakta, rupa Batara
Rudra siama. Nahan ta de yan ta magawe yoga kamung Kumara.
Purvam ongkara
vijnyenam,
namasuhanta yojitah,
vijantu carana
mantram,
hrasva dirgaplutantata.
De yan ta manguniaken mantra raswa dirgapluta,
ong adinia.
Kumara swahan kania uwaca.
Matakwan Sang Kumara lingnira:
Namapate
videh karma.
Sivavresada karanam,
sarva sandeya asanam,
Sivajnyanam prabavanam.
6b.
Raksananingulun akakarma Widi, pawarah batara ring ulun, ika sandeyaningulun, lah ilangakena de batara
tekaping Siwajnyanam pawarah batara ring ulun.
Ujar Batara lingira;
sranu putra mahedevam,
punahamantra saniaset,
atakramavi Devaksie,
pancaksarantuye jitah.
Nahan mantra pancaksara pawarah kwa ring kita
kamung Kumara muwah kita Batari
sakrama-laksanania.
Purva daksinania sia,
samantrena savarnatam,
madie Pandita yogajnya,
pancaksarantuyo stitah.
Gelaraken ta lima:
pur.da.pa.u.ma lawan warnania.
Nakaro Bhagavan Sivah,
makaro Brahma evaca,
sikaro Mahadevasca,
vakaro Visnu rucate,
yakaro Sivavijnyeyah,
pudarike puti stitah,
Devaniastam Sadasivah,
moksa pada mavapenoyat.
7a. De yan ta magawe yoga, wehanta umunggweng
padma,
ong nang Iswaraya namah svaha,
ong mang Brahmane namah svaha,
ong sang Mahadevaya namah svaha,
ong vang Visnuye namah svaha,
ong yang Sivaya namah svaha,
nang, pur, mang, da, sing, pa, vang, u,
yang, ma.
Mangkana Sang Yogiswara magawe yoga.
Punah mantrena sang yuktah,
madiapun darita stitah,
amava iti sajnyeyam,
srana putra pvayatnatah.
Nahan ta mantra waneh rengenta, tiga
lwirnia: ang ung mang, umunggwing padma katiga ya.
Pundarita trikonasta,
mang mantra purva sang titah,
ong mantrenaca utara,
ang daksinasia saktitah.
Ikang mantra mang, purwa kon asta,
ikang mantra ang, daksina kon asta, ikang mantra ung, utara kon asta.
Mang devasca Mahadevah,
ang Rudra Devatasmaret,
ung Sangkarasca Devasca,
trayo Deva savarnakam.
De yan ta magawe smarana.
Ong mang Mahadevaya namah svaha,
pita warnanira,
7b. ong
ang Rudraya namah svaha,
anta rakta warnanira,
ong ung Sangkaraya namah svaha,
kanakadrawa warnania.
Nihan ta gawe yoga ring tengah saking hredaya.
Mulakante satatvajnya,
trinadiyo jitam bavet,
sahretam tirta mevanca,
adi angga mahamretam.
Ikanang tunduk
kapitakep, trinadi tatwanika, ya tirta Gangga nga. Brahma, Wisnu, Iswara tatwanira.
Sarva aksaranteta devah,
pancaksara mudahretam,
pancaksaram, triaksaram,
triaksaranam, tuyaksaram.
Ekaksara mudahretiyu,
triaksaro iyamotamam,
ongkara paramojnyeyah,
nyaranamokse mapnuyat.
Pira kari wisesaning
aksara kabeh, pancaksara pinakawisesania, wisesaning pancaksara, triaksara; wisesaning triaksara,
ongkara; ikang ongkara ya marganing anemwaken kamoksan kamung Kumara.
8a. Ardacandrasca
vindusca,
nada-nadanca
mevaca,
vindu
matramayam devam,
saevo
vija mutamam.
Ikang nada, nadanta, windu, ardacandra,
ongkara pasamuhania, sedeng wisesaning
mantra kabeh. Mangkana kamung Kumara.
Evam ongkara tatvaham,
pancadeva sarvanakam,
sasabda ongkarojnyeyah,
Deva srenoti sanmukam.
Ikang nadanta, nada,
windu, ardacandra, ongkara, pada masabda tikang kelima, ya ta rengwaken kamung Kumara.
Ongkara laksanam tatvam,
vijnyeyah mahamevaca.
Ikanang Ongkara pinakawakku kamung Kumara.
Ongkara tinabavam,
mangkaro ivinamaya.
Tan dadi ane yan tan ana, Ongkara yan tan
ana aku, ana aku ana Ongkara, matangian ta ring aku magawe yoga.
Ongkaraksara murtinam,
nada-nadanta vindukam,
suksma ta ya midam jnyatva,
saeva paramartavit.
8b. Ikanang windhu, nada-nadanta, katiga pada
suksmania, jawat wruhika tatelu, ya ta paramartawit; wruh ring paramarta nga.
Netrena milviatnena,
valarka saba besvaram,
hredayantam gatam dresta,
atmanam Vidi sanmukam.
Netra pramakena prayatna tonta, teja kadi rupa
Sang Hiang Aditia lwirnira; sira ta atma ngaranira ingidopen ring antahredayanta.
Anggulastaya tarudam,
vidiayudam prabasvaram,
dresta lalata ngarneca,
natantam vijivesvaram.
Nayana tutupi ring anggula, ton tang teja kadi
kilat lawan wangkawa lwirnia, karange ta sabdaning nadanta
kamung Kumara.
Nasagranam itadrestam,
nirmalo dunca vaksiate,
amreta joti sadrestam,
vindu Dewanggi
sanmukam.
9a. Ikang teja kaja katon ing granasika, ya ta
windu Dewa, amreta joti satananika.
Tanetra tusampidia,
sasabdo jvalano matam,
visruyate mahanadah,
ganta sabdanta akasah.
Kadi sabda ganta
sabdania, karengen ing akasa, ikang nadanta kadi sabdaning ampuhan gorantara tan pegat.
Nadanta siavadetasmin,
suksma-suksma taram padam,
sunia-sunia taram padam,
vindu devam varanane.
Ikang ongkara Rudra dewatania, Ardhacandra Mahadewa Dewatania, mantra dewa guru dewatania, nahan Sang
Yogiswara magawe yoga, ya margining pada moksa ika.
Devaguru svavarnanca,
akasa meva darmata,
parama varna devanca,
varakasia mahaprabam.
Sadasiwa sia varnanca,
palarkasa tadasvarah,
Siva spatika varnanca,
lohadravasia sudrakam.
9b. Batara
Guru kadi apa lwirnira. Tan pawarna sira. Batara Paramasiwa kadi rumaning anak-anakaning aksi. Batara Sadasiwa
rupanira kadi Sang Hiang Raditia wahu mijil lwirnira. Batara Rudra kadi wesi
drawa rupanira.
Punah mantrena sang yuktah,
pancaksara stusania set,
pancaksara vijijnyeyah,
sranuputra prayatnatah.
Ong, reng, jong, bang, nyang.
Nahan ta mantra lima,
pinakawakning pancawara, wruhanta kamung Kumara.
Saptavarasia sanasia,
samantram savidi sranu.
Tang, tang, dang,
vang, nang, yang, lang,
nahan ta mantra pawakning
saptawara.
Sadvara mantra sanasia,
sahavijenate sranu,
tang, tang, dang,
bang, nang, bang;
nahan ta mantra sadwara,
pitra mindinia set mantram,
vang, sang, tang,
nahan ta mantra pawakning pitara.
Pitra prasivi caniasia,
ong akasa statevaca,
surya candra pratistena,
rong cong mantrena caniacet.
10a. Ikang
mantra wang pinakapretiwi, ikang mantra gong pinakakasa, ikang mantra
rong pinakaraditia, ikang mantra cong pinaka candra ika.
Devaguru pratistanam,
klong mantram sahavarnakam.
Ikang mantra klong
pinakagurupada ika.
Nadmisvara mahakalo,
dvaradi motra tistatah,
kong gong mantrana sayuktah,
panditeh prayatnatah.
Ikang mantra kong pinakanandaswara, ika mantra gong pinakamahakala, nahan ta deya Sang Pandita sumangsipta sira,
prayatna ta kamung Kumara.
Epam buvana sang siptam,
samantrena vadih sranu,
Devatah sacaran dadiat,
Pandite paragopitam.
Samangkana lwir kang mantra, karengen denta kamung Kumara, sahawidi mantra carunia, gopitantaya de Sang Pandita.
Uptistitilinantam,
sarva Deva pralinakam,
10b. ika ta
kabeh kamung Kumara, yeka pangawak uptistiti praline kramania.
Evancanmani sarvani,
maksistavara janggamah,
agrehia teve sarvatam,
sarva karma drata mretah.
Sakweh nikang sarwa janma, yatika ilang ring temuning antiapralaya, kamung Kumara.
Anitianci vitam loke,
anitia drevia sancayah,
anitia priya sayogah,
anitia janma masanam.
Ikang urip mwang drejanma
tantan lana, tan ananing lok, priya sayoga ikang janma,
yeka tan lana swabawania.
Pritivi codake linam,
udakam teja silinam,
teja linan tatan bayu,
bayu linantuke piva.
Ikang lemah matemahan we, we ilang matemahan teja, teja ilang
matemahan bayu, bayu ilang matemahan akasa.
Kama
visvanca linanca,
visva linanca krodatah,
krodam kananca mretiunca,
mretiu linantu kalate,
kala linanca darmeda,
11a. darma linantu satiake,
satia linanca sangkare,
sangkaro pasupatike,
pasupatisca brahmanam,
brahma visnu salihate,
iswara rudra linanca,
rudra linanca devake,
devasca muru meliye,
muru masca sivegavet,
sivarcanam bayelinam,
nirbananca anamake.
Ana makanca suksmatve,
pada moksancaye vidi,
sarva sangkara nasante,
nasan nasandeyan tusmakam.
Batara
Kama ilang matemahan wiswa, Batara Iswara ilang atemahan kroda, Batara Kroda ilang atemahan mretiu, Batara
Mretiu ilang matemahan kala, Batara Kala
ilang matemahan darma, Batara Darma
ilang matemahan satia, Batara
Satia ilang matemahan sangkara, Batara Sangkara ilang atemahan pasupati, Batara Pasupati ilang atemahan
brahma, Batara Brahma ilang
11b. matemahan
wisnu, Batara Wisnu ilang matemahan
iswara, Batara Iswara ilang matemahan
rudra, Batara Rudra ilang matemahan mahadewa, Batara Mahadewa ilang
matemahan purusa, Batara Purusa ilang matemahan Siwa, Batara Siwa ilang
matemahan nirbana, Batara Nirbana ilang matemahanira sraya, samangkana lwirnia la laksana kamung Kumara.
Yan sampun wruh irika nista tumemwing kanirbanan nga.
Kumara ewaca, matakwan Sang
Kumara ring Batara, lingnira:
Siva pada mahasuksmah,
Acintia maneda budinih,
nugrahianca majesanam,
adrestanca bravihime.
Atianta mahasuksmanam nganasraya, ling pada Batara ring kami,
ndah tumungaha ulun irika, nugrahia tan
pamramana, ya ta matangian warahulun ring
drestanta, margania tan pangguha de ranak Batara. Mangkana ling Sang
Kumara.
Iswara ewaca, sumahur Batara
lingnira:
Na durana pastam,
12a. nantarana
vahistata,
nadah nodam sadatapi,
viapakam veti putratah.
Ikang inapada kamung Kumara, tar madoh, tan maparek, tar ri eng, tar ning anda, tar ring jero, tar ning sor, tar
ning luhur. Nihan kalingania sadawia pakaringanda kabeh kamung Kumara.
Pinaka sunia ning sunia,
pinakasuksma ning suksma, lwih tan papada
kalingania.
Matakwan Sang Kumara,
lingnira:
Sarva jnyana mahesanah,
sarva tatvanca bavitah,
inajnyanantu suksmatva,
ati suksmam aci titam.
Ikang jnyana kabeh lawan tatwa, Batara majaraken ndia ikanang
nirbanan- pada wekasning jnyana, suksmaning suksma ya, acin titing, tan kaucap
dening ulun.
Mati suksma mahajnyanam,
bruhi tatvanca evadoh,
Siva prasadasuksmatvam,
na grehitama sanggata.
Ika
mahajnyana suksma ya, ndan Batara
wruh i kalingania, matangian
12b. sangsayan
ulun, apan ta kapangguh pawarah Batari ring ulun, tan kahidep dening ulun.
Maheswara ewaca, majar Batara ring Sang Kumara, lingnira:
Eh putra, eh Devi-deva,
sarva sandeya nasanam,
vaksiami sranu suksmancah,
mohita kiati paniate.
Ikanang sandehanta, irika jnyana tan katemunia, suniata suniata
sarva tatatvam, sahevamara mascivam. Manah suniata, cita sunyata, yatat suniata, ika
kabeh ya ta kapangguh ikang parama niskala denta, ndia lwirnia jnyana sunia
nihan. Na cinta-cinta na atma, na cinta-cinta karmani, na cinta-cinta sah
tatvam. Kalingania ikang cita tania cetana ika, sadanitia karma, ya ta ajnyana
sunia nga.
Nopta drestih rateh
ruda,
cendriya navi pascatah,
sivasca rabina datva,
tasmat moksa kamuciate.
13a. Ikang aksi karwa, grana karwa, tutuk manah tan
wineh, umidep siwisayania, ya tika yoga nidra nga. kapangguhaning Siwa
kridandon ika kamung Kumara.
Sang Kumara ewaca,
matakwan mwah Sang Kumara, lingnira:
Yoginayena muktantat,
mahasangkara sang
smaret,
virakta sarva bogepu,
siva santi pravodakah.
Ika Sang Resi winarah
de Batara irikang jnyanasti, ya ta matangian kapangguh ikang kamoksan denira, mari masarira. Wenang yan
tininggalaken boga kabeh, dumeh nihan mangkana, sangkania asih Batara.
Iriya etunia Iswara
uwaca, muwah lingnira:
Sahalambang nayogasca,
nira lambana suniatam,
dvaye dosanti moksatam,
satiejet pandito sada.
Ikanang sahalambana
umidem, wastu tan ana ikang pada; nira lambana umidem, wastu ana tambana; ikang
kamangkana rwa, ya teka aryakena denta.
13b. Yogijnyana siamoksatah,
sarva baveh vinasiatah,
moksam bavani Pandita,
ditiam suksmayam
tincitah.
Ikang jnyana suksma
cintiaya, ya nosesena, ati suksma bavet
divam vasesatah. Ikang patakwanta ring kami kamung Kumara mwang kita
Batari. Wus tan pasesa ikang jnyana kabeh, ya ta sampun kawarah den mami ring
kita mahasuksma kabeh.
Kumara waca, lingnira:
Sarva Deva pralinani,
sarva sastra vinasatah,
ati suksma bavet
Diviam,
niratsaran tiratmakam.
Ikanang ati suksma
jnyana pawarah Batari ring ulunira aksaraya, ya ta kalinaning Dewata kabeh, ya
ta sinangguh wekasning parama suksma, niratmaja, luput sakari atma.
Siva nugraha
suksmatvam,
ta vasande anasanam,
sarva tatvana sandeham,
Siva nugraha karanam.
Ikanang jnyana anugraha Batara ring
ulun, mahasuksmaya, ilang
14a. sandeyaning ulun ring sarwa tatwa kabeh, de
pawarah Batara, sang karya nugraha Batara etunia.
Dewa uwaca, mawarah
Bataramu:
Lokatah saptadvipanca,
sarvatah sagara satata,
andasiante tataloke,
etat buvana laksanam.
Ikanang saptaloka,
saptapatala, saptasagara, ya aneda laksana nga. kamu Kumara
Bur bvah svah mahalokam,
svah loketapa satiakam,
jana lokenca saptake,
lokeste parikirtitah.
Buh loka nga. Nabi. Manusa
loka nga. Bwah.loka nga. weteng, ya candra ditya nga. Swah loka nga. Ati
Wisnuloka ya. Mahaloka nga. mulakanti ya Brahmaloka. Janaloka nga. Cangkem;
Rudraloka, tampoloka nga. Irung, ya Mahadewaloka. Satyaloka nga. sirah, ya
Siwaloka nga. Nihan sinangguh saptaloka
ring sarira nga. kamung Kumara.
14b. Talam sutalar nitalam,
santalam totate vacah,
atalam clovatalam,
tala talani saptata.
Tala nga. tlapakaning
suku, ya Mahaniraya nga. sultala nga. walakang tlapakaning suku; ya Niraya nga.
pogeloganing tlapakaning suku; ya ta aweci nga. santala nga. wisia maharorawa
ngarania atala nga. jejengku, ya rorawa arania. Wetala nga. pupu ya, Yamaloka
ngarania; tala-tala nga. let, ya kumbaka ngarania. Nahan ta Saptapatala ring
sarira kramania.
Jambudvipanca sangkanca,
kusakronca tatevacah,
salmalice gomevanca,
puskaradvipa saptada.
Tumpuk sangkadwipa nga. ungsilan; kusadwipa nga.
ampru; kroncadwipa nga. limpa; salmadwipa nga. paru-paru; gomedadwipa nga.
pusuh-pusuh; puskaradwipa nga. ati. Nahan tang saptadwipa aneng sarira kamung
Kumara.
Jambudvipa Mahadeva,
sangkadvipa
svarabavet,
kusadvipasca sangkaro,
kroncadvipastu Rudrakah.
15a. Salmalisca bavet Brahma,
gomedah Visnu rasiate,
paskaranca Sivojnyeyah,
etadvipasia laksanam.
Ikang jambudwipa Mahadewa Hiangnia; sangkadwipa
Iswara Hiangnia; kroncadwipa Rudra Hiangnia; salmalidwipa Brahma Hiangnia;
gomedadwipa Wisnu Hiangnia; puaskaradwipa Siwa Hiangnia. Nahan ta
saptadwipaneng sarira malih Hiangnia.
Kururania iranieva,
ari kirana muciate,
nara nasteva saptastu,
parvatatah parititah.
Kuruparwata nga. lambung, Satia Hiangnia. Rasiaparwata
nga. susu Sambu Hiangnia. Iraniaparwata, susukiwa, Pasupati Hiangnia.
Ndalaparwata nga. bahu tengen, Kala Hiangnia. Ariparwata nga. bahu kiwa, Mretiyu
Hiangnia. Kiranaparwata nga. irung, Kama hilangnia. Bhataraparwata nga. ulu, Siwa
Hiangnia. Nahan tang Saptaparwata aneng sarira.
Lavanat sira dadisca,
sapinet surasah tatah,
ikava dusta itietah, samudrah sapakirtitah.
15b. Lawana samudra nga. aringeting muka. Swadong samudra nga. slesma.
Nahan tang saptasamudra aneng sarira kamung Kumara.
Madanacar narmada tirtam,
budi sinduh tatevaca,
kanta males mreta gangga,
jiwayanca Saraswati.
Caksu sarira tatitam,
srot rusvesta dadi tata,
Siva nandismreta pano,
saptatirta pratistitah.
Narmada tirta nga. manah: Sindhu tirta nga. budi;
Gangga tirta ngaran kanta mula; Saraswati tirta nga. jiwa. Ndarawati tirta nga. talinga; Siwanadi tirta nga. wunwunan;
Siwaprasta nadi nga. tungtunging rambut. Nahan ta Sapta tirta aneng sarira
kamung Kumara.
Kadaling puspa sang yuktah,
isano vetisa tirtah,
darma madie satistitam,
Isvarostantati stitah.
Mulaning pusuh-pusuh,
Isa Hiangnia; Mudita wetunia; ring tengah,
Dharma Hiangnia; Metri wetunia; ring tutuk, Iswara Hiangnia; Karuna
wetunia.
Brahmahandavahanadi,
Visnurasavahastata,
Pranavandamahadevah,
Triodevasamantitah.
16a. Iti ana wahanadi, Brahma Hiangnia, panasning
ambek wetunia. Ikang rasa wahanadi, Wisnu Hiangnia, ing ambek wetunia. Ikang
prana wahanadi, Mahadewa Hiangnia, Upeksa wetunia. Nahan Dewatania kamung
Kumara.
Bayu tribeya vijnyeyah,
ana bayu Sivasmretah,
pranabayu stitah,
Deva Paramasiva stitah.
Bayuning ana wahanadi,
Siwa Hiangnia, santusti wetunia. Bayunira sawahanadi, Sadasiwa Hiangnia,
niwiapara wetunia. Bayuning prawahanadi, Paramasiwa Hiangnia, ning wikalpa
wetunia, kamung Kumara.
Bayutram
anggatojnyeyah,
Devaguru samanvitam,
sanggatam
purusajnyeyah,
sarva mva pisama
stitah.
Patemuning bayu telu, Dewaguru Hiangnia, sira ta
mahapurusa, pinakatmaning sarwa atma kabeh kamung Kumara.
Hreditah Rudrah,
Sangkaram hreda madiagah,
anta hredistu kamastah,
tridevastah hredi stitah.
16b. Ikang witning ati, Rudra Hiangnia, ica wetunia; i tengah Sangkara
Hiangnia, sama wetunia; tungtung Smara Hiangnia, ragan wetunia. Nahan ta
Hiangning ati.
Visva stitobavet santah,
kroda petabavet stitah,
samudrano sakalancah,
mretiu runastitobavet.
Ikang paru-paru, Wiswa Hiangnia, santa wetunia.
Ikang ampru, Kroda Hiangnia, sahastita wetunia. Ring ususta Kala Hiangnia,
rajasa wetunia. Ring pangelen, Mretiu Hiangnia, tamaya wetunia.
Hredi mulestitodevah,
Uma Durga dayostitah,
daksine grehande satah,
Devi Dvaya samagatah.
Nahan Devah stita nayuh,
sarva sandi ganastitah,
pitah mangsa Mahadevah,
veta mangsa titah Devah.
Tvik Visnu ri tisar matah,
Nandisvara mahakalam,
pada dvayo samastitah,
candra ditia cacak suso.
Deha Deva sarira bret,
Pinakasumsum, Siwa. Pinakakatawulan, Iswara. Pinakadaging, Brahma;
17a. pinakarah, Rudra; pinaka otot, Basukih; pinakasandi, naga; pinakalamad-lamad,
Sambu; pinakawaduk, Mahadewa; pinakakulit, Wisnu; pinakasuku ro, Nandiswara
Mahakala; pinakasiku rwa, Candraditia. Nahan ta dewata ring sarira kamung
Kumara.
Pretivi manggavajnyeyah,
apah Rudira evaca,
tejo rasmibavet jnyatva,
bayu prana sarira bret.
Akasa mevata dvaram,
pancabuta saman vitam,
saptavara stata romah,
sadvara pitata bavet.
Pertiwi pinaka daging, apah pinakarah, teja pinaka
rasmi, bayu pinakaprana, akasa pinakadwara, Saptawara ring Sadwara pinakarambut
mwang ulu.
Babayuvah pancadaproktah,
prana pana samanatrah,
udanabiana kedveca, sastitah sarva de isu.
Muke prano gune pano,
samane hredi sang stitah,
unano murdi vijnyeyah,
biana sarva
nggasandisu.
17b. Lima kwehning bayu, lwirnira: prana, apana, udana, biana, samana.
Nahan ta bayu munggwing sarira. Ikang bayu prana munggwing let, sisapana
metwing ati, saudana metu ring siwadwara, sibiana metu ring sarwa sandi. Nahan
ta bayu metwing sarwa sandining sarira.
Jagram Brahmanta ring saptam,
padam svapenantu danavah,
susupenanca padam Rudrah,
padam turya Mahesvaram.
Pinaka jagra Brahma, pinakasupta Rudra,
pinakaturya Maheswara.
Angga ratata Brahma,
mano Visnu tatevacah,
irota budi vijnyeyah.
Iti triantasia laksanam.
Brahmana kaangkaran, Wisnu pinakamanah, Iswara
pinakabudi. Nahan tang trianta karana.
Rajo Rudra mitikiatam,
tamo Sangkara evaca,
satva mava Mahadeva.
Iti triguna laksanam.
Rudra pinakarajah,
Sangkara pinakatamah, Mahadewa pinakasatwa. Nahan ta Dewataning Triguna.
18a. Cita jnyana Sivojnyeyah,
kevaganca Sadasivah,
parah-parah makevaliam.
Iti triakevalia muliateh.
Siwa pinakacita,
kewalia suniata Sadasiwa, sunia tara kewalia, Paramasiwa. Nahan ta triloka
kewalia nga.
Etad buvana sang
siptan,
sarva tatva samar
pitam,
karanam svarga
moksisiat,
jnyana sarasa masatah.
Yeki Bhuana sang sipta
nga. ika ta kabeh margan Sang Yogiswara manemwakan kamoksan mwang swarga lewih.
Yan sampun wruh ring tatwania mwang ring sang gaweyah.
Jnyana vitatva vitiogi,
svarga moksa palarcana,
sarva sastra visesana,
janasia dipa utamam.
Wruh pwa Sang
Yogiswara ring jnyana tatwa, ya marganing
anemuwaken kamoksan. Mangkana palaning pangwruhaken ring swa tatwa, wenang
mangdadiaken swarga kamoksanan.
Tungleh na pungsakam
jnyeyah,
arya vastri nigadiate,
18b. urukung capumanitiam,
panirvan pandurevaca.
Vas pumana ulastrica.
Itiete sadvaratrat.
Ikang tungleh kedi
katatwania, ikang aryang anakbi katatwania, ikang urukung laki katatwania.
Paniron wandu katatwania, was laki katatwania, maulu istri katatwania. Nahan
katatwaning sadwara. Urukung, maulu, brahma, tungleh, paniron, wisnu, was,
aryang, mahadewa katatwania.
Sukro,
sanistriojnyeyah,
divangkaro ravipuman,
klivam saniacarejcatam,
brahmacari bavet budah.
Sukra coma, stri
Hiangnia, wrespati, anggara lakia, buda sukla Hiangnia.
Aditiasca lere raktam,
sveta, sukrona,
sangkarah,
budanca mika varnancah,
pitavarna vrespatinca,
kresnam sanam
scerojnyeyah,
saptavarasca vanakah.
Aditia, anggara, sukra, soma, petak rupanira; buda
sami ika warnanira; wrespati kuning warnanira. Nahan lwirning ulu tatwania.
Sram vat sangkusa minasca,
sangkasca pada astata,
cakra, dvayasca, suryasca,
padma manie pratistitah.
19a. Gunung, purwa; angkus, agneya; mina, daksina; sangka, neriti;
tahag, pascima; cakra, wayabia; dwaya, utara; aditia, airsania; padma, madia;
sahawahana, yeka postika nga.
Bajragni danda moksalam,
pasangkusastata,
gada, trisulasta pita sada,
padma madie pratistitam.
Bajra, purwa; geni, gneya; danda, daksina;
moksala, neriti; pasa, pascima; angkus, wayabia; gada, utara; trisula,
airsania; padma, madia; yeka raksana nga.
Dvaya angkusa tata cakram,
sangkastra pataahstata,
trivaksa ardacandrasca,
bajrasca svatito ciate.
Dwaya, purwa; angkusa, gneya; cakra, daksina; sangka,
neriti; pataah, pascima; gunung, wayabia, ardacandra, utara; bajra, airsania;
padma, madia;
19b. sahawahana yasanta nga.
Purva candra tata ditia.
Dvajasca kala sangkuso,
svascino lendi vahakam,
tula padmasca moksakam.
Soma, purwa; aditia, gneya; dwaja, daksina; diu, neriti;
angkus, pascima; curiga, wayabia; dupa, utara; itala, airsania; padma, madia;
iwaka, gneya; yeka moksaka nga.
Bajra angkus angkava kurma,
nagaceva tata katam,
vraksa sangka trisulasca,
padmasca vaalibavet.
Bajra, purwa; angkus, agneya; masa, daksina; naga, neriti;
talaga, pascima; waringin, wayabia; sangka, utara; trisula, airsania; padma
ring madia, sahawahana ya bijaruna nga. Iti buwana sepa.
Nihan kawruhaning raga sarira, ma. Ong sabda guru, ong sabda
Batara, ujar Dewa Batara Siwa nga. ya aku sarining rat buwana kabeh, ya wisesa ring
20a. rat buwana, ya aku anugraning rat buwana, u u ong ong nama svaha,
ong labdawara sawuwusku, ulun sang Hiang
Labdawara, ulun Sang Hiang Waralabda, ulun Sang Hiang Cintiamanik, ulun Sang
Hiang Mandiswara amunpuning rat buwana kabeh. Nahan t pamandiswara nga.
Ana geni ring jeroning toya, sajeroning geni awasta prenah,
o mangko aneka tulis tan ana papane, mangko papanta tan patulis neki, darma
muruk mangko dadi ta sira asmi, awas surupaning surya, surupaning candra
mangko, surupaning sagara lawan danu ika, awas pawananing pati, tambanganing
urip. Si Dukuh alon angucap: ”Punapi
winulatan tresna?” Dukuh Wisesa sumahur: ”Punapi sawaning geni muwah
sawaning toya?” ”ta mangko ikang pritiwi timbangan, akasa mangko timbangan kakayoneki, samalih sawanin
20b. angin mangko.” Sumahur Dukuh Wisesa: ”Duk tan ana gumi ika, punapi
bakale neki?” ”Toya dadi nyanyad ika, nyanyade dadi pretiwi mangko, nging tan
pasumbuta punika. Cawuningjo tan pawarsa, tunjung tan patalaga neki, macan
petak tan punika lawan be julit putih mangko, sagara tan patepi ta punika, ana Dukuh Dekih
arane punika, rame dadi Dukuh mngko, ikang ina dadi mulia, dadia sari, ana
sugih dadi nista, ana nista dadi sugih. Punapi karsane mangko Dukuh Dekih.
Sumahur Dukuh Wisesa: ”Wenten kuda ngerap neki ring panedengan mangko”, Ana
kayu aywan, ikang kayu neki aji Dukuh iku maletik ta mangko ikang kayu
matemahan magerit dadi geni. Iti arsa timbangan.
Ong astutiya namah svaha.
Telas.
tambah lagi lontar2 yang dikaji, biar masyarakat mengetahui
BalasHapusmatur suksma
Bener ini
BalasHapus